Jaulak

Hampir terjadilah kebenaran mimpi ibu. Tentang jaulak. Dan mungkin, akan benar bahwa aku akan menjadi jaulak: yang berjalan menuju masjid ke masjid. Ya, tinggal menunggu waktu, diusir. Bila pun diusir, maka akan kukatakan tentang mimpi ibu. Dengan menegaskan, “Saya seorang pemuda. yang tidak terbebankan apa-apa untuk melakukan perjalanan. Dan tujuan saya adalah menemui Bapak, di Mekah. Entah kapan tibanya, aku tidak tahu. Tapi adalah keinginanku untuk terus melangkah mengarah ke tempat bapak. Mekah. yang mana adalah tempat yang dimuliakan Tuhan, Allah, pencipta seluruh alam semesta. Yang telah diketahui, bahwa disana adalah orang-orang yang memohon, berdoa, dan berserah kepada-Nya.

Aku pun pernah bermimpi berada di sana. solat di masjidil Haram. Yang hatiku adalah betapa senangnya berada di sana. betapa bahagianya berada disana. yang kemudian, ingin melanjutkan perjalanan ke Masjid Nabawai, sembari membayangkan raudhah makam Nabi Muhammad. duh betapa bahagianya dalam mimpiku. Hingga kemudian, aku disambangi, atau bertemu dengan H. Tumbali. maka diajaaklah aku ke sana. sementara itu, dalam keadaan sebelum melihat H. Tumbali, aku melihat ada H. Ikhsan, serta H. Paino. Tapi pertemuanku dengan H. Tumbali yang kemudian ia berkata, “Mampirlah ke maktabku.”

“Baiklah.” Jawabku.

Dalam perjalanan. kulihat hamparan pasir yang bertanaman tandus. Aku melihat kaktus, serta hijau daunnya Kurma. Serta rerumputan yang berada di antara tanah tandus tersebut. hingga kemudia ia mempertanya, “Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?”

Jawabku, “aku jalan-jalan ke sini.”

Aku jadi teringat tentang kronologi perjalananku yakni, “tatkala aku turun dari pesawat tebang. Rupanya, jarak antara bandara dan masjidl Haram adalah sebentar. Tatkala aku menurun tangga, aku telah tihamparkan dengan tang-tanga besar menunju masjidl haram. Yang tepinya adalah dihiasi dengan tanaman-tanaman hijau kecil. aku melihat marmer-marmer yang menawan mata. tapi surut pandangku adalah masjidl haram. Masjidl haram begitu mempesonakan hatiku. sehingga seakan-akan lupa tentang perjlanannku. Tentang lelahku. Mataku selalu mengarah kesana. Aku tidak melihat langkahan kakiku. Sekali lagi, “matakau selalu mengarah ke sana,-- masjidll haram.” Sekan-akan hatiku bedesakn akan cinta. Dan lupa segalanya. Bahkan aku lupa menggunakan pakaian apa. aku seperti musafir yang tidak berbekal apa-apa. seolah-olah aku seperti tidak membutuhkan apa-apa.

Maktab H. Tumbali. tempat dan desainnya seperti tempat kost. Yakni, setiap ruang berkamar, dan kebetulan di sini banyak ruangan kamar. Ranjang tempat tidur adalah ranjang tingkat. Ia pun berkemas-kemas. Mengemasi ranjang tempat tidur. dan kulihat di dapurnya tentang, ada panci kotor selepas membuat makanan. Yakni bubur hijau. Ya. kulihat bubur kental hijau. Atau orang-orang jawa mengatakan, “Bubur jenang ijo.”

Biasanya.bubur kental hijau tersebut. dibuat tatkala selepas orang mempunyai hajat. Yakni, katanya untuk menyembuhkan rasa lelah karena memanbu rewang. Tapi yang kulihat adalah sisa-sisa bubur hijau. Yang kemudian aku terbangun.

Tatkala hujan turun di sore hari. Kami, berada di serambi masjid. sembari membuka payung di tangan kami. ia menggunakan payung yang dibawa cucunya untuk berangkat ngaji. sementara aku telah menyediakan payung sebelum hujan turun lagi. karena benar, sebelum berangkat ke masjid, hujan telah turun. Tatkala aku berangkat, hujan reda. tapi aku tetap memegang payung sembari menjadi teman jalanku.

Ya, sore ini, kusengajakan selepas solat asyar bakal mampir tempat H. Tumbali. yang rupanya lumayan lama tidak mengunjunginya, atau sekedar mendengar ceritanya. Atau lebih tepatnya, ingin menceritakan mimpiku kepadanya.

Pembicaraan langsung kuajuhkan tatkala kami berada di dapur untuk meracik kopi. Ia merespon dengan baik. Yang bahakan menceritakan bahwa, katanya, “aku pun sebelum berangkat ke mekah. telah bermimpi tentang mekah, yang alhamdulilah, tidak sedikit terkejut tatkala melihatnya.”

Dan pembicaraan kami terus mengalir bagai air. bahkan membicarakan tentang yang pernah ia bicarakan. Aku pun merima saja tentang apa yang ia bicarakan, tapi kali ini, sekali lagi ia membicarakan tentang perjalanannya. Yakni, tatkala ia merantau. Ia bercerita, “Itu merantau selepas lulus sekolah rakyat. Dapat dkatakan masih kecil. tapi dulu sekolah, tidak seperti sekarang, ada yang masuk sekitar 15 tahun. tapi kira-kira begitulah umurku. Dapat dikatakan masih anak-anak.”

Sebelum ia berceita lebih larut. Aku pun menerbos, “Jadi, dulu pergi sekedar membawa apa yang dikenakan.”

“Iya. Tapi juga membawa uang. uang itu sebagai alat.” Jawabnya sembari tersenyum mesra.

“Kalau tidur.” timpalku.

Jawabnya. “Yaitu, di masjid. Masjid.”

Kataku, “Jadi memang sejak dari dulu suka dengan Masjid.”

“Lho, bahkan sejak kecil, aku lebih suka tidur di Masjid. karena memang masjid dekat dengan rumahku.”

Balasku, “Nah, dari itulah kedatanganku kemari. Berupaya belajar taat salat jamaah.”

“Tapi,” imbuhku kemudian, yang meneruskan, “Kadang baik juga pelancongan simbah waktu muda. Yang memenuhi, bahwa hidup adalah untuk bertahan hidup itu sendiri. artinya, siang hari simbah bekerja, yang kemudian bisa untuk makan. Bukannya seorang pemuda hidupnya selalu seperti itu?”

Mendadak ekpresi wajahnya berubah. Ia pun berkata lirih, “Tapi akhirnya aku kasihan terhadap ibu. ia kurus kering karena memikirkanku.”

Pembicaraan kami pun terselingi dengan minum kopi. Hingga kemudian, magrib telah tiba. Ya, televisi telah mengumandangkan azan magrib. Walau memang azan itu bukan untuk daerah kami, akan tetapi azan tersebut telah menandakan bahwa azan magrib di tempat kami segerakan tiba. maka kulanjutkan perjalanan. Yakni, mengarahkan kepadanya sembari menyodorkan tangan untuk menaruh ktangannya dikeningku, serta simbah putri. Ia pun mendoakan, “Barakallah. Semoga tercapai apa yang diinginkan.” Ya, aku pun tatakala datang selalu membicarakan tentang diriku, tentang keinginanku.

Sementara sore hari, hujan telah reda. Kulipatlah payung pelangiku. Menuju matahari tenggalam. Yang bakal, tak lama berselang, aku bakal mensujudkan diriku mengarah matahari. Bukan sujud untuknya, tapi untuk yang menciptakan matahari. Hingga kemudian aku teringat tentang pertanyaan yang kuajuhkan kepada mamak, yakni, “Ceritakan tentang mimpi mamak tentang aku yang menjadi jaulak?”

Jawabnya, “Mimpi itu kembang tidur. Jangan dibesar-besarkan.”

Maka kubalas dengan kisah dalam Quran yang berkaitan dengan mimpi, yakni kisah Nabi Yusuf, serta Nabi Ibrahim.

Jawabnya lagi, “Itu para nabi. Jangan samakan kita dengan para nabi.”

Aku hanya membatin, “Aku tidak menyamakan, tapi kisah tersebut sebagai acuan. Ya, untuk apa kisah tersebut dipaparkan dalam Quran, jika bukan untuk sebagai bahan acuan? Aku tidak menyamakan kedudukan orang-orang dengan nabi, tapi jika Quran menjadi petunjuk, maka setiap mimpi bisa jadi bahan petunjuk. Dan itu dengan syarat yang telah ditetapkan perihal mimpi. syaratnya tentu berada dalam quran hadist: dalam quran, seenggak-enggaknya adalah mengetahui tentang bagaimana dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf. Salah satunya, adalah sabar.

Jika quran sebagai petunjuk. Tentunya, kisah tersebut menjadi acuan. Jangan malah dikatakan atau dibalas “jangan samakan kita dengan nabi,” sesunguhnya siapa yang memakan dengan nabi. Toh, orang-orang telah mengetahui secara ilmiah bahwa sudah berakhirnya masa ke-nabi-an.

Jika quran sebagai petunjuk. Maka kisah tersebut adalah kebenaran kisah masa lalu, untuk menjadi landasan cermin. Bayangkan. Betapa kuatnya iman ibrahim, yang bahkan jauh terlepas dari logika: yang rela membunuh anak yang padahal telah lama ia menanti kelahirannya, melalui mimpi.”

02 Juni 2013

Belum ada Komentar untuk "Jaulak"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel