KETAKJUBAN WARTAWAN




Sudah tidak diragukan bagaimana dengan Kampung Abu Nurikhasf. Kampung Seni yang menyandarkan islam. Pokoknya, ketika orang-orang membicarakan Kampung Abu Nurikhasf adalah bagai tidak percaya, setengahnya kagum dan benar-benar ingin tahu. Ya, ingin mengecek kebenarannya. Sayangnya, berita tentang kampung Abu Nurikhasf telah meroket. Banyak siaran. Banyak pemberitaan tentang kampungnya. Kampung Abu Nurikhasf menjadi artis. Orang-orang sepakat sekali dengan apa yang dilakukan oleh Kampung Abu Nurikhasf. Kata salah satu wartawan, “Pokoknya disini, hidupnya menikmati sekali.” Suatu ketika ada seorang yang ingin mengabarkan, dan berkata, “Negara kita adalah kebanyakan orang muslim. Bisakah bila diterapkan seperti kampung di sini?”

“Di dunia apa yang tidak bisa, Mas.”

“Tapi aku melihat, disini indah sekali. Kampung keahlian dan islam sebagai pembatas keahlian tersebut.”

Sang Pemimpin hanya tersenyum gembira. Sementara wartawan melanjutkan, “Kalau seluruh orang-orang menerapkan, pasti bisa. Pasti iri dengan hidup di sini. Apakah diam anda adalah ingin mengatakan bahwa negara kita sulit untuk menjadikan tempat keahlian yang bersandarkan agama?”

“Insyaallah, besok saya memberi jawaban, Mas.”

Dengan gembira sang wartawan menundukan kepala. Menikmati kampung Abu Nurikhasf. Menikmati kehidupan kampung abu nurikhasf. Jeprat-jepret tentang apa-apa yang dilakukan Abu Nurikhasf. Dan selalu ingat tentang nasihat yang diberikan tamu, ‘yang pasti ingat waktu. Dan taati peraturan di sini.’ Sang wartawan itu tersenyum mengingat nasihat yang selalu mengikat otaknya. Batinnya berkata, ‘dapat dikatakan, disini adalah orang-orangnya disiplin waktu. Tapi rupa-rupanya, hal ini tidak bisa dikatakan disiplin, sebab inilah kebiasaan. Salat jamaah adalah tiangnya kepemerintahan di sini. Aku, harus mengikuti peraturannya. Temannku juga, yang bukan agama islam. Tetap dianjurkan mengikuti ibadah mereka: kami dijelaskan:

Kami tidak mengusik tentang agamamu. Tapi kami berusaha merukunkan orang-orang kami. Dan kami, mengharuskan, untuk pergi ke Masjid. Masjid adalah tempat ibadah. Masjid adalah tempat yang dimulaikan. Begitulah makna dari Masjid. Dan di sini, Masjid tidak diperuntuk untuk orang-orang islam saja, tapi untuk orang selain islam dipersilahkan. Dan ketahuilah, bahwa warga kami seluruhnya islam. Tapi, kalau ada tamu yang tidak islam pemimpin kami menerangkan:

Masjid adalah tempat ibadah. Maka, mereka harus berkumpul di sini, setidaknya ikut apa yang kami lakukan. Tapi, kami tetap menyembah tuhan masing-masing. Ketahuilah, ketika kamu berdiri, maka kamu bisa berdoa sesuka hatimu, rukuk pun demikian, sujud pun demikian, dan seterusnya. Karena secara makna, salat artinya doa. Sungguh, di tempat kami bukanlah tempat yang suka berdebat tentang akidah. Kami lebih mengutamakan tentang kebersamaan. Itulah tendensi kami. Itulah patokan kami. Kami bersama, karena kami manusia. Itulah acuan kami.

Bagi kami, kalau kami dihina atau dicemooh tentang agama kami. Maka dengan lapang kami menerima. Intinya, di sini, agama adalah sebagai jalan menuju bahagia. Kebetulan, di sini orang-orangnya adalah berstatus agama islam, dan kukira islam adalah jalan menuju disiplin, artinya menyelenggarakan waktu yang sepadan yakni salat.

Sungguh, kalau kami dinilai seperti islam yang ngawur. Pemimpin kami selalu berkata, ‘aku berlindung kepada Allah tentang apa-apa yang kuputuskan. Sungguh, menjadi pemimpin itu berat. Karena aku berusaha mensejahterkan rakyatku. Dan agama adalah batasannya. Kalau ada yang menggembor-gemborkan tentang keislaman kami. Aku menantang: urusilah lingkunganmu, bagaimana dengan agama di lingkunganmu? Mengapa kamu uprek sekali dengan lingkunganku?”

Begitulah, pemimpin kami berceramah. Tujuannya memang besar, berusaha mensejahterakan rakyat mendapati kebahagiaan dunia juga kebahagiaan akhirat. Dapat dikatakan begitu. Kalau dikatakan apakah islam salah dan aneh-aneh—kalau kamu lihat orang-orang yang berdiri salat itu, apakah kamu melihatnya seperti alim-ulama? Sungguh, dia, Abu Nurikhasf, dibentengi para alim-ulama. Dia memang cerdas, sekolahnya tinggi, tapi tetap menyerahkan persoalan kepada pihak yang berahli, sekali pun sebenarnya dia mempunyai keputusan. Itulah hebatnya pemimpin kami.” Begitulah penjelasan Suhada, ketika awal-awal kami hendak masuk. Tapi sehari di sini, memang terasa damai. Damai sekali. Aku tinggal menunggu esok pagi, bertemu dengan lurahnya. Bertemu dengan orang nomer satu di kampung, Abu Nurikhasf.

Ketika fajar menjelang. Ketika salat subuh dilaksanakan. Ketika pengajian telah diberlangsungkan. Ketika kami berjalan pulang bersama. Oh gembiranya menikmati udara pagi hari. Dingin yang sejuk. Mata yang dimanjai bagai berada ditaman yang indah. Taman yang didesaki oleh tanaman yang bermanfaat. Sebab di sini juga ada ahli pertumbuhan. Maklum, di sini adalah orang-orang ahli. Wal-hasil, orang-orang di sini adalah serat dengan keahlian. Bahkan sampah menjadi sesuatu yang menawan. Aku teringat. Tatkala setelah pengajian. Sang Lurah mendatangiku. Memberikan kertas kepadaku.

“Apa ini?” tanyaku.

“Bacalah.”

Aku membaca. Tertegun bukan main.

“Oh inilah alasannya,” balasku tersenyum gembira.

Aku melangkah dengan riang. Aku betah berada disini. Tapi, aku tugas, yang harus pergi ke tempat lain. Tapi sungguh, berada di sini membuat betah dan ingin sekali lagi. Sekali lagi, terus. Entah. Apakah aku kelak bisa ke sini. Aku berharap bisa. Setidaknya di pimpin oleh orang seperti Abu Nurikhasf. Tapi dia telah memberikan kertas. Sembari berjalan, aku diam membisu membaca catatan. Aku membaca basmalah dengan gembira.

Jika kamu menginginkan tempat yang sejahtera. Doronglah para seniman untuk memimpin tempatmu. Sungguh, para seniman hatinya lembut. Dia sangat perhatian terhadap lingkungan. Gayanya saja kadang sembrawut. Tapi ketahuilah, hati para seniman adalah lembut, sungguh dalam hatinya serat akan cinta. Maka dukunglah para seniman untuk menjadi pemimpin.

Wahai seluruh seniman, kutahu kelembutan jiwamu, aku sangat tahu bahwa hatimu serat akan cinta, terlebih lagi engkau, wahai pujangga, yang serat akan cinta. Jadilah pemimpin untuk kampungmu. Bukankah kita menyadari menjadi pemimpin adalah berat. Tapi ketahuilah, sudah semestinya setiap pemimpin adalah seniman, jika kamu melihat tempatku, Kampung Abu Nurikhasf, yang kerap dibicarakan. Bukankah mengembirakan? Aku rasa, kamu bisa melaksanakan itu.

Aku berharap, wahai seluruh seniman, wahai pujangga yang serat dengan bunga-bunga, serat akan cinta—kita kerahkan kampung kita indah dan serat akan kebahagiaan. Dan batasilah hal itu dengan agama. Agama adalah pembatas, supaya mereka, rakyat-rakyat kita, tidak terjebak dalam kemilaunya dunia. Bukankah kita sepakat, bahwa dunia adalah sekadar nama tapi bukan sekedar nama?

Wahai yang bukan golongan seniman. Yang bukan golongan pujangga. Doronglah mereka (para seniman) supaya menjadi pemimpin. Sebab, sejauh aku melihat, pada akhirnya puisi terindah adalah tentang gerak-tubuh. Jasad ini menjadi puisi.

Ingatlah wahai kawanku, kita perbaiki tingkah laku kita, kemudian, tata keluarga, kemudian barulah masyarakat. Agaknya, buat para pujangga tidak penting dikatakan untuk menasihati dirinya sendiri. Sebab pada pujangga selalu membicarakan dirinya sendiri. Hampir begitu yang kerap terjadi.

Aku sekedar ingin mengatakan, mengapa Sastra diberi penghargaan Nobel? Karena sastra serat akan kemanusiaan. Sebab sastra membicarakan tentang kemanusiaan. Serat akan kecintaan.

Jika kalian terpusingkan memikirkan bagaimana mensejahterakan, pungutlah apa yang bisa kamu pungut tentang caranya.

Yang sempurna memang Penguasa seluruh alam semesta. Manusia sekedar merencankan. Tuhanlah yang memutuskan.

Tertanda, Abu Nurikhasf

Aku gembira membaca. Aku ulangi sekali lagi. Aku gembira yang entah. Dibayangi bahwa karakterku adalah pemimpin, sebab aku pun termasuk pujangga, yang merangkai kata-kata, yang perduli terhadap lingkungannya. Aku memang menyembunyikan kepenyairanku: tapi aku merangkai kata-kata. Dan aku tidak pernah mengetahui, apakah layak aku menjadi pemimpin besar semacam beliau.

“Ah intinya memimpin. Sekali pun memimpin redaksi, bisa jadi kan?”

Aku tersenyum. Membayangkan jadi orang nomer satu, di sini, di kantor ini. Hehehe. Entah. Esok adalah rahasia Ilahi.

Belum ada Komentar untuk "KETAKJUBAN WARTAWAN "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel