Sang Pengembara: Satu Kubah

Kita adalah orang-orang yang merdeka, kawan. Kita adalah orang-orang yang disepelehkan oleh orang-orang. Banyak orang-orang yang hatinya gegap gempita karena tidak tenang, sebab memikirkan banyak hal. Tapi kita, bagi kita tidak penting untuk memikirkan tentang apa-apa selain apa yang kita punya. Kita akan terus berkelana, kemana pun tempat dan tujuan kita adalah mengembara sampai ke mekah. kita adalah penyair. Yang telah didedikasikan untuk mengemabara dari lembah ke lembah. Tidakkah engkau lihat kebenaran dari quran, seperti lalat sebagai perumpaan diyat, dan rupanya serta katanya, disana adalah banyak lalat-lalat yang dekat dengan manusia. Saya mendengar itu dari dua orang saksi selepas dari haji.

Jadi, kita akan pergi ke mekah.

“Benar: jika kamu tidak mau maka, ya, silahkan. Itulah pilihanmu. Itulah kehendakmu. Bukannya kita disini adalah demi mencari makan saja bukan?”

“Iya. Tapi mengapa harus ke Mekah? bukannya kita tidak tahu tentang agama bahkan kita tidak beragama.”

“Tidakkah kamu mengerti bahwa dilingkungan orang beragama, islam, dengan mudah kita mendapatkan makanan, dengan dasar membantu kegiatan mereka sambil bermodal kejujuran?”

“Benar. Tapi, mekah itu jauh.”

“Lantas, di sini kita hidup untuk apa? demi makan saja bukan. Atau kamu ingin berkumpul dipanti asuhan? Atau kita hidup untuk apa? kita mengikuti zaman teknologi. Sementara kita, kita adalah seorang pengembara. Pengembara yang turun ke bumi. Dan selalu begitulah yang terjadi.”

“Aku ikuti sajalah apa kemauannya.”

Sambil mendekatkan kepalanya dengan lirih nurikhasf berkata, “Percayalah kawan. Kita berjalan terus mengarah ke tenggelamnya matahari.”

“Kearah tenggelamnya matahari?”

“Ya. Mekah ada di sana. Lihatlah, keindahan matahari di ufuk sana. alangkah indahnya bukan? itulah tujuan kita. soal bagaimana jalannya. Pokoknya kita mengarah ke sana, sembari membawa peta dunia.”

“Hah! Peta dunia?”

“Ya, kita membutuhkan peta. Supaya kita bisa sampai ke sana, dan tidak tersesat arah tujuan kita.”

“Bukannya peta kita adalah matahari?”

“Ah kamu. Ketahuilah, bahwasanya matahari adalah patok tujuan kita. Tapi kita dunia tidak semuanya daratan. Tapi ada juga lautan. Maka adalah penting buat kita untuk memilih jalan menuju daratan ke daratan. Supaya kita bila menyebrang jalan tidak terlalu berada di laut.”

“Jadi mana peta-nya?”

Mendengar pertanyaan Akhi, Nurisaf tersenyum dan berkata, “Yang kita punya adalah apa yang ada pada kita, kawan. Termasuk apa yang ada pada kepala kita.”

“Pikiran!” balasnya sembari meletakkan jarinya di tepi keningnya.

“Benar. Kita dikarunia akal supaya berpikir. Supaya mempunyai peta. Aku pernah melihat sebuah globe, peta yang melingkar, ukurannya kecil. Mungkin kita akan membeli itu. Supaya lebih hemat, maka kita bisa membeli di toko loak.”

“Jadi kita bakal membeli peta?”

“Ya, begitulah rencana kita yang terdekat. Maka adalah penting sore ini kita mencari nafkah untuk diri kita sendiri. dengan cara apa-pun, pokoknya kita tidak harus mengemis.”

“Bukannya kamu tahu, kebiasaanku adalah mengemis, di lampu merah atau dimana-mana.”

“Pokoknya, kita tidak harus mengemis. Kita gunakan kekuatan kita untuk mecari nafkah. Ketahuilah, mengemis itu perbuatan yang hina. Perbuatan seorang pemalas yang mengerakkan tubuhnya. bukannya begitu?”

“Mari, kita lamar pekerjaan sesaat, yakni melamar di rumah makan. Sambil bermodal kejujuran, yakni bahwa kita memang lapar.”

Mereka menuju rumah makan. Mereka berjalan sendiri-sendiri. dengan jasa mencuci piring atau memunguti piring-gelas selama beberapa jam, atau menunggu sampai magrib tiba. Pokoknya menjadi pelayan di rumah makan. Begitulah rencana yang telah dituturkan Nurikhasf kepada Akhi. Katanya, “Jika kita mendatangi warung makan secara berdua, maka pekerjaan kita tentu akan lebih ringan, karena kita mendatangi warung makan yang posisinya tidak terlalu besar. tapi sedang, atau bahkan warung makan kecil. dan nanti kita bertemu, di kubah itu. Ingat, sebelum isya kita bertemu di masjid itu. oke.” sambil menujukan jarinya ke kubah yang mengarah ke barat. Mengarah ke tenggelamnya matahari.

Tapi yang terjadi dan seperti biasa, melamar pekerjaan tidak dugaannya. Tidak semulus kelihatannya. Tujuan mereka adalah demi makan. Dengan cara bekerja. Mereka berdua berpencar pada dua gang yang berbeda. Nurisaf sebelah kiri, dan Akhi sebelah kanan. Walau berbeda tujuan mereka adalah satu. yakni, kubah masjid yang jauh di sana. Tapi perjalanan mereka adalah berupaya untuk ke kubah. Katanya lagi, Nurisaf berkata, “Pokoknya jikalau diantara kita tidak mendapatkan tempat untuk bekerja, maka tujuan kita adalah mengarah ke kubah. Maka terus saja kita berjalan ke sana. terus saja. mudah-mudahan sang pencipta menolong kita.” wal-hasil, tatkala meraka masuk warung pertama, keduanya di tolak secara mentah-mentah. Warung kedua, akhi telah disediakan untuk bekerja. Akhi telah berkata ini-itu tentang tujuannya. Tentang kemauannya. Bahkan tentang upahnya. Sementara Nurisaf masih berjalan mencari warung ke dua. Ia tidak juga menemukan warung didatanginya. Namun ia tetap saja berjalan menuju arah masjid. Sampai kubah terlihat mulai jelas, mulai terlihat besarnya kubah. Tetap saja belum melihat ada warung makan. Namun, kemruyuk perut tidak bisa ditolaknya. Terus menyisanya, yang membuat dirinya lemah. Tatkala semakin melanjutkan perjalanan. semakinlah tubuhnya lemah. Dan ia melihat pohon, maka bersinggahlah disana. sembari berdoa, “Ya Allah kuserahkanlah diriku kepadamu, berilah rezeki untukku.”

Dan perempuan separuh baya melihat kejadian tersebut. maka disambangilah sembari dipertanya, mengapa dan kenapa, dan bagaimana. Belum sempat ia menjawab, kemruyuk perut telah menjawabnya. Digiringlah ia ke tempatnya. Sambil menjawab pertanyaan yang dilontarkan, bahkan tentang tujuannya. Maka dengan rela hati sang perempuan tersebut merelakan untuk bekerja. Tatkala azan telah memuhi langit. ya, masjid berada dimana-mana, tapi Masjid kubah adalah masjid besar yang telihat oleh mata nurisaf dan akhi. Yang bakal menjadi tujuannya. Nurisaf telah keluar dari tempatnya. Nurisaf telah melangkah menuju masjid. diemper masjid. Ia berwudu, juga lain sebagainya. Alangkah beruntungnya Nurisaf hari sore ini, bekerja tidak lama, ia mendapatkan makan serta di beri hadiah sebesar 10 ribu rupiah. Katanya, “Alhamdulilahirabbil ‘alamin.” Entah bagaimana dengan Akhir. Kini Nurisaf menunggu Akhi di dalam masjid. atau katanya, nanti, ia akan keluar di emper majid. Menungguh akhi yang mungkin, dugannya adalah sedang melakukan perjalanan menuju masjid.
Pikirnya, “Aku menuggumu, karena kita telah mengadakan perjanjian.”

Selepas magrib, tatkala nurisaf berjalan menuju pintu, terlihatlah Akhi berjalan di halaman masjid, tersenyumlah keduanya. Sembari melangkah, menghampirinya. Dan akhi membawa bungkusan makan untuk malam hari. Sembari mengangkatnya, mengisyaratkan makanan untuk kita berdua di dalam plastik yang dibawanya. Dan mereka berbicara sedikit tentang kejadian. Tapi Nurisaf menyuruh untuk lekas mendirikan solat. katanya, “aku tidak bisa solat.”

“Ikutlah orang-orang yang akan solat.”

“Bagaimana saya ikut, apakah kamu sudah solat.”

“Saya sudah. tapi ikutilah orang-orang yang akan wudu itu.” jawabnya sembari menudingkan tangannya. “Ikutilah apa-apa yang mereka kerjakan, dan itu kalau kamu mau.”

“Tapi, untuk apa aku solat?”

“Ya, sudah: basuhlah wajahmu terlebih dulu, supaya kamu lebih bersih. Lihatlah dirimu begitu lusuh dan kumal.”

Tatkala akhi telah bersih tubuhnya. Mereka berbicara lagi, tentang pendapatan yang mereka dapat. Tentang cerita yang mereka alami, serta perjalanan mengarah ke tujuannya. Dan pembicaraan tentang malam hari. Ya, hari ini mereka akan tidur di mana. Tapi jawab keduanya, “Kami telah terbiasa tidur dimana saja. Prinsip kami, dimana ada tempat disana kami bisa tidur. toh, apa yang kami khawatirkan. Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali apa-apa yang kami bawa.”

Patok kami adalah matahari. Dan sekarang matahari telah mati. jadi, tujuan kami pun mati. kami berhenti sampai di sini. dan entah esok hari. Kami pasrah kepada sang ilahi: apakah Dia menghidupkan kami esok pagi atau tidak. pokoknya, malam ini, kami mati dalam segala hal. Malam adalah untuk istirahat. Karena, pernah kudengar dari guru ngaji dari jawa membacakan, “Ma: barang, Lam: ora ono opo ma.” Di lain sisi, tubuh kami memang lelah, karena seharian sedikit sekali istirahat.

25 MEI 2013

Belum ada Komentar untuk " Sang Pengembara: Satu Kubah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel