Jiwa Pujangga



“Lebih menakjubkan lagi, tuduhan sebagai penyair (pujangga). Jika dipikir-pikir, mengapa dituduhkan sebagai pujangga? Yang notabenenya adalah orang yang penuh cinta, selalu memikirkan tentang alam semesta, dan memperhatikan hal-hal kecil. Namun, yang lebih jauh menakjubkan lagi adalah Nabi mengajari bukan dengan kata-kata namun dengan perilaku (akhlak). Bahkan ada sebuah hadist yang mengisyaratkan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Quran.”

**

Aku selalu ingin tahu tentang Nabi Muhammad, yang diutus Allah menyempurnakan penjelasan-Nya: yang mendirikan negara islam dan menjadi pemimpinnya. Dan yang jadi pertanyaan: mengapa banyak negara islam yang tidak mengikuti tatanan keagamaan sebagai landasan hukum negara? Padahal mereka beragama!

Tiba-tiba ada yang bertanya seolah-olah menyentak atau menggertak, “Lha memangnya engkau siapa, wahai pemuda?”

Dengan bangga pemuda itu berkata, “Saya pujangga.”

“Alasan apa engkau mengaku sebagai pujangga.”

“Saya menulis puisi,” jawabnya singkat.

“Bukannya dengan menulis puisi, saya sudah termasuk pujangga? Walau dengan beberapa hal, misal, puisi saya tidak pernah dibaca seorang pun. Bukannya saya tetap menjadi seorang pujangga? Untuk diri saya,” imbuhnya kemudian.

Ia malah kembali bertanya,“Alasan apa engkau ingin mengetahui Nabi Muhammad, wahai pemuda?”

“Saya pikir engkau terlalu curiga kepadaku. Seperti mengisyaratkan tidak boleh mengetahui tentang Nabi Muhammad. Alasan apa engkau melakukan begitu?”

“Perlu diketahui, wahai pemuda yang berkobar semangatnya. Itu ilmu sejarah yang larut. Itu membutuhkan disiplin waktu mengerti tentang Nabi Muhammad. Tidak bisa diterka-terka begitu saja!”

“Oh, jadi anda menuduhku menerka-nerka tentang Nabi Muhammad! Sekarang, tidak bolehkah saya menerka-nerka Nabi Muhammad?”

“Jawablah dengan bijak!” Imbuhnya segera.

Ia berhenti mendadak. Ia membisu begitu saja. Seolah-olah mengakui kebenaran yang didengarnya. Yakni, kebenaran bahwa setiap umat boleh-boleh saja menerka-nerka Nabi Muhammad. Dengan kata lain, itu adalah kehendak individu bahwa: siapa yang mengenal “nama” Nabi Muhammad, maka bisa saja menerka-nerka tentang Nabi Muhammad. Ia telah menyiapkan jawaban bahwa “Setiap orang bisa dilarang untuk tidak menerka-nerka Nabi Muhammad, tapi siapa yang bisa melarang setiap orang untuk tidak memikirkan Nabi Muhammad. Dan siapa yang mengetahui kalau di dalam pikirannya sedang memikirkannya?”

“Mengapa engkau diam?” Kini ia kembali ditanya.

“Kamu boleh menerka-nerka Nabi Muhammad!” Jawabnya segera.

Diringi senyum, pemuda itu berkata,“Sekarang. Alasan apa engkau membolehkan saya?”

“Sebab nanti kamu akan mengetahui yang benar dan salah,” jawabnya singkat.

“Maksudnya? Benar dan salah!” Kagetnya.

Dalam hatinya, pemuda itu berkata, “Apa hubungannya menerka-nerka Nabi dengan benar dan salah?” Mendadak pula pemuda itu teringat suatu masa. Dimana ia sedang membayangkan tentang Nabi Muhammad. Sambil membaringkan tubuh, menatap langit kamarnya. Ia dapati satu lampu yang menyala. Menerangi kamar. Ia menggandaikan lampu adalah bulan untuk malam hari, tapi kurang pas. Ia ganti dengan matahari.

“Matahari dunia! Hah!” Ia tersenyum. “Aneh! Setiap mendengar atau membaca istilah “Matahari dunia,” saya selalu teringat dengan Qasidah Grub Nasida Ria, yang berjudul ‘Nabi muhammad Mataharinya dunia,’ selalu itu yang terselip dipikiranku.”

Kemudian, ia malah membuka laptopnya, mendengarkan dengan tenang. Mengamati benar-benar liriknya.

Di langit ada matahari, bersinar menerangi bumi.
Cahaya yang tajam, menembus kegelapan, menerangi seluruh alam.

Di bumi ada para Nabi, utusan Rabbulizzati.
Membawa kebenaran, mencegah kedholiman, petunjuk jalan keselamatan.

Nabi Muhammad, nabi akhiruzzamman. Rahmat bagi umat di seluruh alam.
Nabi Muhammad mataharinya dunia, yang bersinar, abadi sepanjang zaman.

Nabi Muhammad bagai purnama di tengah malam gelap gulita.
Nabi Muhammad bagai pelita, cahayanya di atas cahaya.

Wahai kaum muslimin-muslimat sampaikan salam untuknya.

Ia tersenyum-senyum. Ia membayangkan betapa wah-nya, dan hanya bisa mengatakan, “Allahumma soli‘ala muhammad. Subhanallah.”

“Entahlah, lagu itu bagai membiusku untuk melakukan sesuatu. Bukan berarti aku menolak akan lirik lagu itu, tapi kedamaian yang ditimbulkan buatku. Meruntuhkan tentang apa yang kuinginkan. Yakni, menggambarkan tentang kepemimpinan Nabi Muhammad.”

“Bahkan kebaikan pun bisa menjadi semacam iblis yang meruntuhkan,” imbuhnya.

“Bahkan iblis dengan lembut menyusup di dalam diriku,” lanjutnya.

Sontak pemuda itu keluar dari kamarnya. Menatap langit sungguhan. Melihat rembulan bersinar lagi. Ia tersenyum. Kemudian memejamkan mata. Merentangkan tangannya, meresapi belaian udara dan melantunkan kata-kata yang ia kenali, “Akhirnya semua akan tiba, di suatu hari yang biasa, di suatu ketika yang telah lama kita ketahui …” Namun dengan segera ia kembali ke kamarnya. Membaringkan lagi tubuhnya, menatapi langit kamar dan memejamkan matanya. Menggambarkan tentang Nabi Muhammad, dan sontak ia teringat tentang bunyi Al-Quran yang mengisyaratkan penuduhan orang-orang bahwa Nabi Muhammad adalah penyair (pujangga). Bahkan dituduh gila. Namun, bersamaan dengan itu ia teringat juga dengan ayat Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa puisi tidaklah pantas untuk tingkatan Al-Quran.

Ia teringat bahwa konon keberadaan (turunnya) Al-Qur’an bersamaan dengan masa bersyair, gencar-gencarnya menyair. Dengan kata lain, ia berpendapat, “Setidaknya Al-Quran adalah puisi yang indah dan paling indah. Dengan kata lain, gabungan elemen puisi yang ada di masanya, yang tidak ada tandingannya. Dan itu lebih hebatnya bahwa Nabi Muhammad adalah seorang ummi (Tidak tahu baca-tulis).”

“Bahkan untuk mengatakatan bahwa Nabi Muhammad adalah Ummi, saya harus mencari refensi panjang: benarkah Nabi Muhammad adalah Ummi. Atau saya harus menyakini bahwa Nabi Muhammad adalah seorang ummi, padahal belum terjelaskan benar darimana sumber mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah Ummi.”

Ia melanjutkan, “Namun, jika dipikir-pikir dari sebab itu: menjadi kukuhlah bahwa itu benar-benar ayat-Allah, yang diutus untuk Nabi Muhammad. Seandainya Nabi Muhammad pandai menulis dan membaca, pasti orang akan curiga bahwa Al-Quran adalah karangannya. Itulah pendapat yang sering kali saya tangkap untuk alasan bahwa Nabi Muhammad adalah ummi. Dan lebih jelasnya lagi, Nabi Muhammad dimurnikan dari masanya. Artinya tidak belajar dari syair ini-itu. Dan kasarnya, hanya mengetahui tentang bunyian Al-Quran, hanya Al-Quran yang Nabi ketahui. Lebih menakjubkan lagi, tuduhan sebagai penyair (pujangga). Jika dipikir-pikir, mengapa dituduhkan sebagai pujangga? Yang notabenenya adalah orang yang penuh cinta, selalu memikirkan tentang alam semesta, dan memperhatikan hal-hal kecil. Namun, yang lebih jauh menakjubkan lagi adalah Nabi mengajari bukan dengan kata-kata namun dengan perilaku (akhlak). Bahkan ada sebuah hadist yang mengisyaratkan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Quran.”

“Apakah kamu mendengarkan apa yang telah saya jelaskan?” Tanya lelaki itu yang membuyarkan lamunan si pemuda.

“Bisakah diulangi lagi?” Lirihnya.

“Maaf,” lanjutnya dengan suara terpatah-patah.

Agak geram lelaki itu, “Hhmmm,” sambil mengelus dadanya, serta tertawa dalam hati dan berkata, “ Dengarkan! Inilah alasannya:

Sebab banyak orang yang telah mengurai tentang Quran; ajaran yang dibawa Quran. Dengan kata lain meneliti isi dari Quran. Sehingga, jika kamu menerka-terka tentang Nabi Muhammad, dan itu dikeluarkan secara umum (banyak orang yang mengetahui) maka orang-orang yang meneliti itulah yang akan mengoreksi terkaanmu. Dan akan membenarkan tentang terkaanmu, bahkan akan menghardikmu jika terkaanmu itu melesat jauh. Jadi, kebenaran pasti akan berpihak. Itupun jika terkaanmu di publikasikan.

Sekarang. Jika terkaanmu masih tersimpan dalam dirimu: pikiranmu, itulah hak kamu sepenuhnya. Dan kamu boleh saja mengatakan bahwa terkaanmu itu benar, dan kamu boleh saja mengatakan bahwa terkaanmu salah. Yang jelas, aku menduga bahwa kamu akan mencari kebenaran tentang terkaan dalam pikiranmu. Dengan cara mencari data yang bersumber. Dan itu untuk meyakinkan dirimu sendiri, apakah terkaanmu salah atau benar. Dan ingatlah, jika terkaanmu terkait kebenaran data secara realitas, maka kamu belum merasa yakin jika belum dapat data dari realitas. Intinya, salah dan benar ada batasnya.”

“Jika boleh tahu, apa pendapatmu tentang kepemimpinan Nabi Muhammad, yang mendirikan Negara Islam, yang berpatokan dengan hukum islam? Mengapa jika banyak yang sepakat dengan islam, tidak mengadakan peraturan yang sama. Yakni mendirikan Negara Islam, yang berpatokan dengan hukum islam?”

“Apakah kamu ingin negara kita menjadi negara yang berpatokan dengan hukum islam, wahai pemuda yang berkobar isi dadanya?”

“Kamu diam karena bingung. Apa masih memikirkan jika hukum islam diterapkan di Negara kita?” Imbuhnya.

“Allah itu maha pinter, wahai pemuda… Jika kebanyakan negara menggunakan hukum islam, berpatokan dengan hukum islam. Bisa jadi Agama Islam menjadi bahan pelanggaran. Itulah satu misalnya. Oleh karena itu, Allah mengampuni supaya mereka membuat peraturan sendiri. Dan ini mungkin adalah pertanda bahwa Allah menjaga kemurnian Agama Islam. Tapi ya, nyatanya masih mengembel-embeli nama “Tuhan.”

Lha wong …, banyak orang yang mengaku islam, tapi tingkahnya bejat, ya pirang-pirang. Kalau-kalau Allah mengizinkan seluruh negera yang mempercayai islam dan menggunakan hukum islam untuk berpatokan. Saya kok khawatir, setiap orang selalu memikirkan akhirat, selalu ibadah, dan siapa nanti yang mengisi neraka? Hehehe. Tapi, yang perlu diketahui: Nabi Muhammad memberikan contoh yang dahsyat tentang kepemimpinanya, yang paling mengena adalah menggunakan hukum islam di ranah Negara. Sekarang. Tidak usah jauh-jauh memikirkan negara yang luas dan banyak orangnya. Lekaslah rencanakan Desa Seni yang berpatokan Islam. Ya, tidak islami banget, tapi yang pasti berpatokan islam. Islam itu mengajarkan yang keren untuk sosialis. Contoh gambalangnya adalah silaturihim sesama warga, yakni dengan cara solat. Dan banyak hal-hal lain yang berkaitan sosialis. Lha, memang islam itu diadakan untuk sosialis warga. Bukti jelasnya, Nabi Muhammad pernah menjadi lurah. Hehehe… Jadi, agama itu tidak hanya untuk kepentingan Tuhan juga, tapi juga kepentingan manusia. Kalau tidak percaya, mengapa dianjurkan solat berjamaah? Hayo…”

“Jadi, mesti merencanakan desa seni yang berpatokan islam?”

Dengan begitu lampu kamar turut padam. Orang itu sudah tidak bisa lagi melihat cermin. Namun, orang itu tetap berkata-kata: membayangkan desa seni yang berpatokan islam. Khususnya sedang mempertanya lagi merencanakan seni apa yang diwujudkan.

Ditulis November 2012 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk " Jiwa Pujangga"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel