Bahasa Ibu


Abu Nurikhasf yakin benar, bahwa tidak bisa mengubur budaya bahasa di alihkan menjadi bahasa arab. Sekali pun banyak yang mengetahui tentang keindahan dan kebagusan Islam, tetap Abu Nurikhasf tidak bisa memaksakan kehendak menjadi bahasa arab. Katanya, “Hanya bisa lebih mengakrabkan bahasa arab di ranah non arab (a’jam)”

Kepemimpinan Abu Nurikhasf memang jempolan. Sangat layak dijadikan pemimpin. Tak ayal menggaet para ahli datang memenuhi kampung halamannya. Demi mempertahankan kelentikan islam, dan mendapati surga dunia dan berharap mendapati surga akhirat.

Digadang-gadang, Indonesia, adalah memiliki syarat menjadi surga dunia, sebab hampir-hampir segala macam tentang yang berkaitan dengan keduniaan; tentang pemanjaan manusia. Perut, maksudnya. Bisa teradakan.

Maklum dahulu banyak yang tertarik dengan Indonesia: para cedekiawan telah mengatuhi, sebab utama penjajahan adalah rempah-rempah. Kasarnya, demi perut. Tepatnya, makanan.

“Jadi, orang-orang ingin menjajah negara karena demi makanan?” kata Sahal kepada Maful.

Dengan cepat Maful mengaggukkan kepala.

“Tidakkah adakah alasan lain selain demi perut?”

Maful menggeleng.

“Jadi, kepentingan utama adalah tentang perut?”

Maful memanggut kembali. Kemudian berkata, “Manusia ditakdirkan untuk lapar, itulah ketepatan alasan, namun tujuan utama adalah demi bahagia.”

“Demi bahagia!”

“Ya...”

“Kenyang adalah syarat bertahan hidup. Tapi intinya untuk membahagiakan hidup.”

“Jadi, bagaimana dengan orang timur-tengah yang didatangkan Pak Lurah?” tanya Sahal mulai kritis.

“Tetap sama, demi mendapati bahagia.”

“Apakah mereka juga demi mendapati kenyang?”

“Bisa jadi...”

“Bukan hanya kenyang, tapi ingin mengenyangkan kita semua. Itulah alasan orang timur tengah datang ke sini. Bukankah mereka semua ke sini ditugasi untuk membelajari orang-orang tentang agama?”

“Sebenarnya aku masih heran, Ul. Mengapa meraka rela datang ke mari, padahal... di Timur Tengah dekat dengan Mekah?”

“Allah telah menakdirkannya, Hal.”

“Ah jawabmu simpel seperti itu,” kata sahal agak manyun. Membuang asap rokoknya cepat sekali. Bus...

“Mereka datang kemari tentu mempunyai alasan: tidakkah kamu mengerti alasan yang telah jelas benderang?”

Sahal tersenyum haru. Mengenang wajah Abu Nurikhasf dan mengucapkan tasbih. Sebab, sudah pasti alasan orang-orang timur-tengah datang kemari demi mengokohkan tentang keislaman. Mereka para hafid, mengajari tentang quran, tentang tajwid kepada orang-orang yang sekiranya lanyah kepada quran. Sehingga kelak, bakal di kirim ke Timur-tengah. Menjadi, dialog kebahasan untuk memperkuat lafad-lafad Quran. Jadi, mereka, tidak perlu menekankan belajar bahasa indonesia.

Abu Nurikhasf, yang pernah kuliah di Timur Tengah. Begitu elegan menyampaikan tentang islamnya. Begitu hebat bisa menarik orang timur-tengah. Katanya, “Semua ya karena Allah. Allah telah menakdirkan begitu adanya. Aku ya terima.”



Bahasa memang penting. Arab memang penting. Tapi manusia tidak bisa meninggalkan kecintaan bahasa-ibunya. Selalu seperti itu kenyataannya. Sekali pun, orang itu telah belajar banyak bahasa, sejauh pengamatan Abu Nurikhasf, tetap bahasa yang begitu dicintai adalah bahasa ibunya. Hal itu diumpamakan dengan Hijrah Nabi Muhammad ke Yastrib (madinah), “Sekali pun Beliau dan rombongannya hijrah ke Madinah. Tetap saja, mereka mencintai Mekah tiada gantinya.”



Orang-orang Timur-Tengah diberikan rumah dan diberikan upah atas biaya hidupnya. Hidup ala zuhud. Ya, selalu itu yang ditekankan Abu Nurikhasf. Dia, Abu Nurikhasf, seakan-akan telah dipahamkan karakter manusia tentang orang-orang yang zuhud. Dia mencari orang-orang yang ahli agama yang serat dengan zuhud: yang tendesi utama mereka adalah zuhud. Sehingga, dalam realitasnya, dalam penyediannya tidak terlalu megah. Sehingga, tercipta kampung yang zuhud-modern kental nuasa islami berbasis keahlian.

Titik tekan kedatangan mereka adalah mengajari tentang agama pada orang-orang yang pandai beragama.

Suatu kelebihan lagi, di kampung Abu Nurikhasf, berseliweran orang-orang Timur Tengah. Sehingga, orang-orang yang ingin mendakwa keislaman kampung Abu Nurikhasf semakin minder untuk mendebat islam yang bagaimana.



Tak ayal, Masjid utama adalah gudang ilmu dan serat dengan nuansa islami. Sementara tempat salat yang lain, adalah tempat yang kerap diseleweri para penggede islami. Termasuk sang lurah, yang terlihat selalu mempunyai daya untuk menjenguki rakyatnya.



Lagi...



Tak ayal, bahwa kampung Abu Nurikhasf menjadi kampung inspirasi kampung-kampung seberang. Mulai dari apa-pun. Selalu menjadi inspirasi.

“Jadi Kampung Abu Nurikhasf di datangi orang-orang timur tengah?”

“Hus! Bukan didatangi, tapi mereka di ajak untuk datang.”

“Kok bisa?” kata yang lain.

“Jadi, mereka didatangkan!” tegas penanya pertama.

“Benar,” balas Hobir. “Ya, bisa saja. Lha wong Abu Nurikhasf kuliah di sana.”

“Jadi, benar bahwa Abu Nurikhasf kuliah di Timur-tengah?”

“Ah ketinggalan zaman kamu.”

“Hus, bukan ketinggalan zaman, kurang informasi. Bahkan, dia juga pernah mengelilingi eropa.”

“Eropa!”

“Benar.”

“Halah-halah,”

“Dia memang layak dijadikan pemimpin era modern ini, yang lebih mengagumkan, kok ya mau menjadi lurah. Hal seperti itulah yang mesti ditiru. Tidak harus muluk-muluk memimpin yang besar. Yang kecil, tapi bahagia itu kan senang. Tapi kitakan juga senang, bukan?”

“Benar. Benar. Kita juga bahagia.”

“Tapi, harus diingat juga: Lurah di kampung kita, itu adalah saran dari Abu Nurikhasf.”

Ya, kampung-kampung sebelah mulai meniru gaya Abu Nurikhasf, mereka sowan ke tempat Abu Nurikhasf. Mereka meminta saran baiknya bagaimana? Jawaban Abu Nurikhasf selalu simpel. “Kalian pasti mengetahui orang-orang yang berjiwa pemimpin?”

“Maksudnya?”

“Setingkat desa, tidak harus rebutan menjadi lurah. Tapi, bagaimana bisa menyatukan gagasan menjadi sebuah kesimpulan. Hal itulah yang dipentingkan. Tidakkah kamu melihat di tempatku? Aku memang pemimpin, tapi aku pelayan buat mereka. Aku membentuk organisasi. Aku percaya kepada orang-orang yang memimpin organisasi tersebut. Memang, keputusan ada ditanganku, tapi aku selalu menyerahkan tugasnya kepadanya. Aku sekedar pemegang keputusan.”

Kampung inspirasi, memang menjadi sorotan. Orang-orang berusaha menirunya. Orang-orang benar-benar tertarik dengan gayanya. Tentang agamanya. Tentang islamnya.

“Islam di tempat kami lentur, tapi bila semakin mengerti maka islam di tempat kami adalah benar-benar islam: islam yang tegas.”

Bahasa di sini, secara penampakan memang bahasa indonesia, tapi semakin dimengerti, di sini serat dengan nuasa arab. Memang, dari dulu, bahasa indonesia telah akrab dengan bahasa arab. Sayangnya, banyak orang yang kurang menyadari.

“Dekatnya bahasa arab di indonesia, terkadang membuat orang buta bahwa bahasa arab dekat sekali, akrab sekali di indonesia. Bukti nyata adalah tentang nama manusia. Perbedaan yang mencolok memang tentang simbol. Tentang aksara. Itulah perbedaannya.”

Sesungguhnya, Indonesia adalah negara islami. Kental dengan nuansa islami. Dan di tempat Abu Nurikhasf bakal lebih mencolok tentang keislaman tersebut. Yakni, setiap tulisan yang beredar, di bawahnya selalu ditulisi dengan akrasa arab.

“Sebenarnya, hal itu sudah biasa. Sayangnya, orang-orang kurang menyadari tentang keberadaan tersebut. Bukannya, banyak aksara di tanah indonesia: ingatlah,” kata Abu Nurikhasf waktu dulu.



“Jadi, indonesia adalah negara islam,” kata Sahal kepada Hobair.

“Dari dulu indonesia adalah islam,” jawabnya ringkas.

“Benarkah indonesia negara islam?” tandas Sahal sekali lagi.

“Coba kamu amat-amati: bukannya islam begitu akrab di negara kita? Sayangnya,”

“Apa?” kejar Sahal penasaran.

“Perlu lurah seperti Abu Nurikhasf, lebih banyak.”

“Ah kamu bergurau, Abu Nurikhasf adalah Abu Nurikhasf.”

“Intinya seperti itu: perlu lurah seperti Abu Nurikhasf,” tutup Hobair sembari tersenyum. Membayangkan wajah sang lurah tersenyum, menyapa rakyatnya, mendengar rakyatnya. berjalan sembari wajahnya menengok dengan pelan-pelan. Kanan, kiri, kanan kiri. Mendekap anak-anak. Membenahkan rambutnya. Mengusap pipinya. Mencium keningnya. “Andai, lurahku adalah Abu Nurikhasf. Ah tidak, aku harus menerima kenyataan. Lurahku bukan Abu Nurikhasf, aku harus menerima lurahku. Aku harus mendukungnya. Harus. Insyallah.”

Belum ada Komentar untuk "Bahasa Ibu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel