Masa Lalu
Sabtu, 21 Januari 2017
Tambah Komentar
“Jangan ungkit masa lalu.”
“Tidak bisa, tetap diungkit masa lalu.”
“Bukalah lembaran baru.”
“Iya. Tapi tetap mengungkit masa lalu.”
“Biarkan masa lalu berlalu.”
“Tidak bisa. Kita hidup dari masa lalu.”
“Tapi jangan ungkit masa lalu.”
“Bagaimana bisa menyingkirkan masa lalu dalam pikiran? Bagaimana? Bagaimana? Zaman moderen adalah sebab dari masa lalu,” tutupku menegaskan.
Model Zuhud bagaimana untuk Zaman modern macam ini? Adakah orang-orang yang benar-benar melepaskan keduniaan dan mengembara dari tempat ke tempat lain. Meninggalkan syahwatnya. Berkeras hati meninggalkan hal-hal yang mendatangkan syahwat. Seperti menjauhi wanita untuk dinikahi, untuk dikumpuli. Atau, menjauhi wanita untuk tidak terjerambab dalam hak cinta kepada perempuan. Bukannya telah ditakdirkan bahwa tatkala bertemu perempuan, maka ada saja keinginan untuk mendapatkan anak. Taruklah buah hati. Era modern, mungkin ada KB sebagai rencana anak, dan setiap pekan, sebelum berhubungan selalu menggunakan KB supaya tidak terjadi kedatangan anak. Atau, tetap saja mengembara dan sesekali memasuki goa perempuan.
Tanpa ada pernikahan. Sekedar melepaskan syahwat berahi. Dan kemudian berlalu pergi. Sekedar bersinggah di tempat, yang sekiranya ada perempuan yang memikat lalu dikumpuli. Atau menyingahi para janda: bukannya sebagian janda membutuhkan belaian kasih sayang? Ah berapa dosa telah ditabur. Tatkala semua itu terlaksana.
Berjalan lagi. Mengampiri goa lagi. Terus begitu yang terjadi. Ya, ya: berapa banyak dosa telah berlalu lalang. Dosa adalah pembatas agama, supaya tidak melampaui batas kemanusiaanya. Toh, orang-orang paling-paling sekedar mengatakan, “kamu berdosa.” Akan tetapi tidak. Toh, kalau dilakukan sama-sama melakukan, tidak ada paksaan tidak ada hukum yang mengena. Paling-paling diusir pergi dari kampung halaman.
Merantau lagi, mengembara lagi. Tatkala perempuan tidur. Dia mengatakan,
“Aku meninggalkanmu, wahai perempuan,” sembari bibirnya mengecup keningnya. Pergi jauh. Jauh. Tanpa ada pemberitahuan. Tanpa ada kabar.
Mengembara dari tempat ke tempat lain. Bila dipertanya. Katanya, “Mencari Allah. Mencari rido-Nya. Mendekatkan diri pada-Nya.”
Jadi.
Model Zuhud yang bagaimana untuk zaman modern ini. Tahun milineum ini. Sudah. Kiamat telah dekat. Sangat dekat. Orang mau ngapaian-ngapain serasa kiamat telah dekat. Selalu bersinggungan dengan keinginan keduniaan. Tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa. Tidak bisa.
Tapi kita bisa memilih. Memilih dalam hal-hal kebaikan. Dan bersikap zuhud. Meninggalkan sanak keluarga. Membentuk keluarga baru. Menjauhi keluarga. Mencari tempat yang keluarganya. Bermodel zuhud. Yakni, model masa lalu. Mengabaikan teknologi, mengabaikan permesinan.
Hidup dalam masa-lalu.
Meninggalkan listrik. Memaknai malam sebagai gelap gulita. Apabila matahari telah tenggelam. Orang-orang berkumpul dalam rumahnya. Orang-orang bersinggah dalam rumahnya. Menunggu matahari terbit untuk melakukan aktifitas. Untuk mengurusi tanamannya. Menjenguk padi dan sayur mayur yang ditanam. Pakaian kami adalah pakaian sederhana dari pelepah kulit. Atau anyaman kapas.
Kembali ke masa lalu.
Rumah difungsikan sebagai tempat singgah. Atap difungsikan melindungi dari sengatan matahari dan hujan. Makanan difungsikan sebgai pengganjal perut. Dan air difungsikan menjadi teman makan. Supaya pencernaan lancar. Penyakit timbul sebab makanan. Akan tetapi, apabila manusia tidak makan maka akan sakit karena makanan. Mau tidak mau, tetap makan.
Rumah sakit adalah apa-apa yang ada disekitar kita. Yakni, tumbuh-tumbuhan. Pun obat-obat yang beredar dalam rumah sakit adalah dari tumbuh-tumbuhan yang dikemas menjadi kapsul. Toh, para ilmuan (dokter) meneliti dari pohon a ke pohon b, dan setersunya sampai pohon Z. Hingga menjadikan obat a sampai z.
Tidak bisa kita terjerembab dalam kemahalan biaya yang mahal. Tidak bisa. biaya mahal adalah khusus buat orang-orang yang pinter dan pandai. Orang-orang yang berilmu untuk zaman sekarang. Selain itu, adalah mahal. Sangat mahal.
“Jangan runtuhkan kehormatan kita pada manusia. Kita tidak boleh mengemis pada manusia.”
“Tapi mau bagaimana lagi. Sekarang aku telah terjerembab dalam kemoderenan. Tidak bisa menghindar. Tidak bisa.”
“Bisa. Kalau ada keinginan.” Balasku. “Bumi Allah luas,” tutupku.
“Jadi bagaimana? Membentuk kepemerintahan baru.”
Aku mengaguk.
“Bagaimana bila ada preman yang berusaha mengancurkan rumah kita?”
“Kita mempunyai Allah yang maha melindungi. Yang pasti kita usaha.”
“Maksudnya, kita melawannya.”
Aku mengaguk.
“Bagaimana kalau anak-anak kita digagahi mereka? Bagaimana kalau keluarga kita dibunuh para premanisme.”
“Ketahuilah, preman mempunyai tujuan kepremanannya.”
“Bagaimana bila dia ingin menguasai.”
“Menguasai,” balasku. “Tubuhmu masih disini. Kamu telah dikuasi oleh dugaan-dugaan ketidak benaran.”
Dia berusaha mengejar sekuat pikirnya, “Bagaimana bila dugaan itu benar?”
“Sudah berapa kali kamu membuat rencana?” tanyaku enteng.
“Berkali-kali. Agaknya, aku hampir hafal asam-garam kehidupan.”
“Mengapa kamu resah tentang pikiranmu. Tentang rencanamu? Dan apakah setiap rencana yang kamu buat selalu tepat?”
Dia menunduk. Mengelengkan kepala. Wajahnya lesu. Masih mempertimbangkan dirinya, bila bermukim ke tempat yang jauh dari kumpulan manusia.
“Adakah cara lain?” imbuhnya lirih.
“Tentu ada.”
“Apa?”
“Pergilah ke kota.”
“Ke kota.”
“Ya.”
“ke kota!” balasnya lagi.
“Ajaklah seluruh keluargamu ke sana. Di sana. Kalian akan dituntut untuk bekerja. Kalau tidak. Siap-siaplah kelaparan dan menjadi gelandangan.”
“Lantas, bagaimana dengan zuhudnya?”
“Kau bertanya Zuhud.”
“Iya.”
“Zuhud!” tegasku.
Dia menjawab rintih dan terpatah-patah, “iya.”
“Dengan mudah kamu zuhud di sana. Kalau kamu berniat zuhud di sana. Pokoknya, kamu makan karena lapar. Rumah sebagai tempat teduh. Dan begitu seterusnya.”
“Bisakah diperjelas? Supaya aku lebih memahami.”
“Yang penting bisa makan. Yang penting bisa kenyang.”
“Bagaimana dengan sekolah?”
“kamu bertanya sekolah!”
“Iya..”
“Kalau ada dana, silahkan disekolahkan. Supaya anak-anakmu pandai. Kalau tidak, maka ajaklah dia bekerja. Supaya kalau lapar menjadi kenyang. Kalau ngantuk, ada tempat untuk tidur. Kamu tidak harus menjadi gelandangan.”
“Tapi aku... aku tanpa ijazah.”
“Lihatlah dirimu, Pak. Sempurna fisiknya. Kamu punya akal. Gunakanlah.”
“Bagaimana kalau menjadi kuli?’
Aku menggukkan kepala. Batinku mengimbuhi. Sesunguhnya apa-apa adalah kuli. Di dunia semuanya adalah kuli. Para penulis adalah kuli dari kata-kata, kuli dari fakta. Para guru kuli bagi murid, untuk mencerdaskan murid. Dan seterusnya. perbedaannya, adalah terletak pada bahasa. Terletak pada istilah. Sebenaranya, masa lalu adalah masa depan yang belum jelas. Dan sekarang adalah masa lalu yang jelas.
**
Belum ada Komentar untuk "Masa Lalu"
Posting Komentar