The Fire Of Love



Kecintaanku—telah mendarah daging. Tidak ada yang membendung keteguhannya, sebab kunyatakan, “Teguhkan hatiku untuk menyerahkan pada-Mu. Biarkan hatiku menyandarkan diri pada-Mu,” Karena, telah kuyakini dengan sangat bahwa rintangan itu datang bagai meruntuhkan hati, bahkan telah digamblangkan rintangan-rintangan yang menghadang dan seakan-akan meruntuhkan teguh rasaku. Kataku, “Orang-orang yang memperolokku adalah sebagai tambahan api kecintaanku,”

Itulah keanehan yang terjadi. Sebuah dukungan dari kebalikan: itulah yang terjadi. Tepatnya, mereka mendukungku dengan cara sebaliknya. Maka, kataku, “Kuatkanlah diriku bersama mereka, dan perlihatkanlah keanehan-anehanku padanya.”

Ya, dari keanehanku, malah membuat mereka mempunyai bahan untuk memperoloki. Mereka semakin kuat dengan argumen-argumen memadamkan kecintaanku.

Mungkin,

Sejauh ini mereka tidak mengetahui bahwa yang kucintai adalah Allah. Yakni segala macam yang kulakukan adalah upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Ya, mungkin mereka tidak mengetahui itu. Apalagi tema-tema yang dibahaskan adalah tema yang berkaitan dengan keduniaan: Bagiku, dunia adalah alat untuk keakhirat. Dan islam adalah sandaran untuk menuju kesana, dengan cara berinteraksi dengan manusia. Itulah agama bagiku, dan itu baru dinilai dari disisi sosial.

Soal hati, “Cukuplah aku dan Tuhan yang mengetahui,” dan yang pasti, orang menilai bukan karena kehebatan teori, tapi praktek dari teori. Itulah yang sedang kupraktekkan hari-hari ini, yakni mempraktekkan teori kitab suci—dan itu sudah tentu dengan cara perlahan-lahan.

Kataku, “Jangan kau kira seratus persen praktek tentang kitab suci. Sungguh aku masih belajar untuk praktek. Yakni, perlahan-lahan melaksanakannya.”

Bukan saja dari kitab suci, tapi dari hadist juga,

Imbuhku, “Jangan kau kira 100 % praktek hadist. Sungguh aku pun maih belajar untuk praktek hadist. Yakni, perlahan-lahan melaksanakannya.”

Kupikir, melaksanakan perintah-perintah tersebut tidak semudah kata-kata; tidak semuada apa yang dikaji, dan yang pasti butuh waktu untuk melanyahkan praktek-praktek tersebut.

Katamu, “siapa mereka?”

Meraka adalah dari sedarah-dagingku. Ya, mereka adalah saudara-saudaraku. Ya, merekalah bendungan yang sulit diratakan. Merekalah yang kurang sepakat dengan kecintaanku. Bahkan benar-benar sulit percaya: Adalah memang sesuatu yang sulit ditaklukan adalah tentang keluarga. Tapi, sekarang, apa perdulinya tentang kecintaanku . Tetaplah kukibarkan bendera kecintaanku, yakni mendekatkan diriku kepada-Mu, melalui huruf demi huruf: ya, akulah bagian dari penulis. Seorang yang berkesibukan menulis. Ya, aku hendak membuat buku. Ya, hendak mengarang kitab.

Tapi mereka masih tidak percaya dengan kepenulisanku. Mereka membutuhkan bukti yang nyata. Padahal telah papar dan tunjukan bukti yang nyata, tetap saja, mereka kurang percaya.

Padahal telah kuceritakan penuh dengan kejujuran, bahkan prospek jauh kedepan yang berkaitan dengan kedunian; tetap saja mereka tidak percaya. Mereka menganggap dan berkata, “Bekerjalah secara nyata! Dan menulis itu untuk sampiran saja,” hampir selalu kata-kata itu yang keluar dari bibir mereka. Padahal telah kujelaskan bahwa menulis pun pekerjaan nyata, tapi mereka tetap tidak percaya juga. Mereka juga berkata, “Menulis mana hasilnya (uangnya)!” selalu itu yang mereka tanyakan.

Mereka terlalu mencintaiku. Terlalu mencintai supaya kelak bisa bekerja. Dan mereka tetap saja tidak percaya, bahwa menulis pun menjadi mata pencarian. Dan seakan-akan mereka telah mengetahui hidupku masa depan, agaknya mereka kurang percaya, “Allah maha pemberi rezeki. Allah bisa saja mencabut kepunyaan manusia kapan saja.”

Dari kebencian mereka—ya, agaknya patut dikatakan demikian, karena terlalu mencintaiku—malah membuatku api yang nyalanya kian menyala. Sekali lagi kukatakan, “Mereka itu mendukungku dengan cara memporolokku.”

Imbuhku, “Sebab mereka mencintaiku, maka timbuhlah rasa khawatir padaku. Dan Allah menguji dengan keluargaku, yakni saudara-saudaraku, yang sebelumnya telah menguji diriku sendiri. Ya, pernah suatu ketika aku bagai—maaf—Nabi Ibrahim, yang seakan-akan selalu mencari Tuhan. Dan itu terbukti dari melekatnya sebuah pertanyaan yang mendasar, yakni, “Adakah tujuan tunggal Allah menciptakan?” Walau secara sadar telah kudapati sebuah jawaban, yang setidaknya semacam ini,

“Ada, yakni, Allah ingin menunjukan kebesarannya.’

Namun, ketika sampai jawaban itu, maka pertanyaan itu selalu larut dalam pertanyaan yang baru, seperti, ‘Mengapa ia menujukan kebesarannya?” dan seterusnya. Apabila mendapati jawaban, selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Sungguh, waktu itu dalam keadaan yang ragu. Artinya, tidak mempunyai tujuan sama sekali, seperti pejalan yang terus berjalan tapi tidak mempunyai tujuan: berjalan kemana pun kaki akan melangkah. Bagai mengikuti angin berhembus, bagai mengikuti arus mengalir,”

“Tapi sekarang,” kataku lega.

“Telah kutemui langkah yang menenangkan, alhamdulilah. Telah kurasakan benar cobaan yang menimpa, alhamdulilah—semoga Allah menambahkan ketabahan buatku. Dan dari itulah, babak baru dimulai, yang rupanya, jauh lebih rumit daripada apa yang telah terjadi, yakni keluarga.”

“Namun,” imbuhku.

“Janganlah berbangga diri, bisa jadi Allah mengembalikan kejadian yang pernah kamu alami: yakni, melawan dirimu sendiri—dan allah lebih mengetahui tentang semuanya.”

“Tapi sekarang,” kataku

“Api cinta adalah bisa membakarkan diriku sendiri, bagai lilin yang habis sebab ia menerangi kegelapan. dan permintaanku, tentu, tidak seperti itu, yakni:

Dan segala apa yang bakal terjadi adalah kuasa-Nya, yang tidak bisa ditentang siapapun, soal keberadaan dunia, maafku, biarkanlah aku bersama api cintaku menyala menuju-Mu, entah apa yang kuinginkan selalu ingin bersamamu. Sungguh, adalah bagiku, dunia telah menjadi alat yang menakutkan bagiku, itulah sisi lainku. Dilain sisi, kupasrahkan bahwa ketakutan itu tidak ada membawakan pada damainya. Maka biarkanlah hamba mematuhi apa-apa yang menjadi perintah-Mu: biarkanlah hamba melakukan tanpa ada perhitungan. Sungguh, tidaklah pantas kukatakan bahwa hamba perhitungan. Kuakui kebenarannya, bahwwa dalam ilmu perhitunganku, tidak memapu menghitungan berepa kenikmatan yang telah engkau berikan padaku, engkau turunkan hujan, engkau hidupkan tanah yang kering, ‘Dan kepadamu aku menyerahkan diri sepenuhnya,’ itulah secara lisanku, ‘Semoga itulah kebenaran yang terwujud dari seluruh diriku—amin’ dan kebenaran akan menang. Kebaikan akan selalu menang pada akhirnya: begitulah ceritanya, manusia menginginkan hal tersebut.”

Maret 2013

Belum ada Komentar untuk "The Fire Of Love"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel