Sinar Kampung Abu Nurikhasf
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Siapa yang tidak mengagumi kampung Abu Nurikhasf? Sejauh mereka tahu, pasti akan terkagum dengan Kampung Abu Nurikhasf. Kampung yang inspiratif, teguh pendiriannya. Alasannya, disana ada pemimpin yang di layak dijadikan pemimpin. Karakter kuat menjadi pemimpin. Pemimpin yang ditunggu-tunggu oleh khalayak umum. Jujur, amanah, cerdas dan menyampaikan: itulah karakter dari pemimpinnya, Abu Nurikhasf.
Sangking uniknya kampung ini terkenal dengan Kampung Tauhid. Orang-orang berbondong-bondong berharap bisa dipimpinnya. Berbondong-bondong kampung-kampung lain meniru gayanya. Pokoknya, kalau ada setiap orang yang mengetahui kabar kampung Abu Nurikhasf, pasti mereka bakal ketagihan dan betah di sini. Walau pada dasarnya, sangat mengejek, bahkan tidak percaya. Katanya, “Itu bagai negeri dongeng.”
“Memang,” balas Suhada. “Tapi itu bukan negeri dongeng, kelihatannya saja seperti dongeng. Aku juga dahulu tidak percaya. Sangat tidak percaya,” tambahnya sembari teringat bagaimana dengan Abu Nurikhasf, yang suatu ketika pernah didatanginya.
“Apakah itu benar?”
“Silahkan cari data tentang kampung Abu Nurikhasf, pasti kamu percaya. Sangat percaya. Di sana, ilmu tauhid sangat menyala. Sangat terasa sekali. Nuansa yang kental sekali,” tambah Mas’ud seketika. Sembari membuang asap rokoknya ke angkasa. Pikiran juga terbayang tak kala bertemu dengan Abu Nurikhasf.
“Di era modern seperti ini, aku kurang tidak percaya,” kata si penasaran sembari menggelengkan kepala.
“Kamu kok tidak percaya, pada dasarnya aku pun tidak percaya,” Suhada berkata sesaat.
“Bagaimana aku bisa percaya. Bagiku, kepercayaan adalah disertai dengan penelitian yang konkrit.”
“Saran saya,” kata Mas’ud menyala. “Baiknya kamu datangi ke tempatnya.”
Sungguh. Pembicaraan tentang Abu Nurikhasf di antara orang-orang, perkumpulan adalah macam angin yang berudar-udar dan biasa. Abu Nurikhasf menjadi tembang bibir di mana-mana. Pokoknya, menjadi tempat patokan tatkala membicarakan pemerintahan. Menjadikan orientasi pembicaraan tatkala dibicarakan tentang pemerintahan.
Suatu ketika. Ada politisi penasaran dengan Kampung Abu Nurikhasf. Ia datangi kampung tersebut dengan bangga. Di sambutlah biasa di kampung ini. Sayangnya, sang politisi tersebut, hanya terkagum sendiri ketika menginjakkan kakinya sampai di kampung Abu Nurikhasf.
Dia tersenyum-senyum sendiri. Bibirnya menyedet tidak berhenti. Kata sang Satpam, “Kalau masuk, silahkan kendaraan di parkir di sini,” tangannya sembari menyediakan ruangan parkir.
Melihat area parkiran sang politisi hatinya telah riang gembira. Batinnya berkata, “Subhanallah, pemimpin ini benar-benar berusaha melindungi rakyatnya. Bahkan dia merenovasi jalan. Artinya, menutup jalan dan menganti jalan ke arah lain. Sehingga, ketika masuk kampung, maka jalan itu khusus untuk kampung tersebut. Jalan utama menuju kampung lain, di rancang berputar, yakni, di sudut kampung. Aku pernah membaca bahwa dulu terjadi gemboran yang luar biasa tatkala sang pemimpin menutup jalan dan mendirikan jalan lain. Gemboran itu datang bukan dari rakyatnya, tapi dari rakyat lain. Rakyatnya sudah seratus persen percaya padanya. Sungguh, hal seperti ini sangat mengagumkan.”
Ketika turun dari kendaraan. Sang politisi hanya tersenyum melihat pemandangan yang unik. Dia melihat tanah-tanah seolah-olah melayang di udara. Melihat tanaman teduh. Sesekali melihat gugur daun. Di jenguk apa itu yang melayang. Di dapati, brambang yang ditanam. Dia tersenyum. Matanya liar ke kanan ke kiri. Dia tersenyum riang. Seakan-akan berada di pasar tradisional. Juga serasa berada di taman yang menyenangkan. Ada brambang, bawang, ada juga cabai.
“Ini seperti kaum primitif. Persis seperti kaum primitif. Tapi tidak, ini ruangan yang berseni, taman yang berseni.”
Taman-taman ini didirikan adalah dia yang ahli pertamanan. Ahli pertanian. Sungguh sangat mengagumkan. Dia juga menyelaraskan tetang pepohanan, mengurus pepohanan. Dia langkahkan kakinya ke tepi. Ke arah jalan-air, talut, yang kecil. Dia tersenyum.
“Air yang mengalir,” katanya tersenyum. “Subhanallah, era modern ini, aku seperti berada di ruang imajinasi. Seperti tenggelam di dalam novel-imajinasi. Tapi ini realitas, tapi ini kenyataan,” katanya terkagum-kagum sendiri.
Sang satpam pun menyambanginya. Dia tersenyum lebat. Mereka berjabat tangan.
“Jadi ini tempat yang digembor-gemborkan,” kata politisi membuka.
“Benar,” kata sang satpam sembari menjulurkan tangannya. Seluruh tangannya menyilahkan sang politisi. Sang politisi percaya, sudah tidak ada pertanyaan mau di giring kemana. Tujuan semula adalah mengecek kampung, sekarang berubah, hatinya telah lega. Bertemu dan menatap sang satpam hatinya telah berdesak bahagia.
Sang satpam pun wajahnya dingin, tidak menyeramkan. Seakan-akan tergambar bahwa sang satpam imannya kuat. Sang satpam tidak banyak kata, kerap mantuk-mantuk.
Ya, sang politisi berjalan sembari berkata penuh ketakjuban. Seperti,
“Jadi seperti ini kampungnmu.”
“Kampungmu menarik,” tambahnya.
“Kampungmu mempesona.”
“Kampungmu membuatmu gembira,” katanya benar-benar memuji. Sang satpam pun berjalan dengan biasa, mantuk-mantuk juga tersenyum gembira. Dia telah menyadari bahwa perkataan seperti itu, pujian semacam itu adalah biasa. Hatinya hanya berkata, “Segala puji dikembalikan kepada Allah yang mengatur segalanya.”
Mereka berjalan menuju ruangan satpam. Tepatnya, berjalan menuju gubuk satpam. Gubuk yang disediakan untuk para tamu. Orang-orang kampung, telah sepakat mendirikan gubuk persinggahan buat para tamu. Mereka telah sepakat kampungnya bakal dikunjungi banyak orang-orang. Sang Pemimpin, Abu Nurikhasf, menerima itu dengan sungguh sembari berkata, “Aku berharap kita tidak tergoda karena pujian yang melimpah datang dari manusia. Sungguh, hal seperti itu godaan buat kita. Kita harus berusaha kuat terhadap iman kita. Ingatlah, semakin kita dikenal banyak orang, maka kita menjadi incaran banyak orang. Sekali pun, kata mereka ‘kita orang menginspirasi.’ Sungguh, godaan itu datang darimana saja. Bukannya begitu, Pak Hajjar?” katanya mengembalikan kepada Pak Hajjar, yang terkenal dengan hafal banyak hadist Nabi. Dengan rela Pak Hajjar membacakan sebuah hadist, lengkap dengan sanatnya.
Dalam perjalananya, sang politisi hanya berdesak-desakan akan keterkaguman. Hatinya mengudar-udarkan kebesaran ilahi. Benar-benar berada di taman-taman yang bermanfaat. Tanganya melambai-lambaikan daun-daun yang kena. Bibirnya selalu tersenyum. Dia melihat tangkirangan yang berisi tanaman. Dibuat bertingkat-tingkat. Dia menuju sebuah ruangan gubuk sederhana.
Rumah joglo, yang dindingnya tidak terlalu tinggi. Panggung yang menawan.
“Jadi, kalian tidak pernah beli sayur-sayuran,” kata sang politisi. Dan terus merendetkan sebuah kata, antara pertanyaan dan pernyataan. Sang satpam pun hanya tersenyum mendengarnya. Batinnya, “La haulawalaquata illa billah...” sang satpam menyadari pujian yang diudarkan adalah candu-candu datangnya bala-godaan.
Sang politisi melepas sepatu hitam yang mengkilap. Menaiki tangga gubuk. Disuruhlah duduk. Disuruhlah, tunggu sebentar. Sang satpam, melangkah menuju kamar kecil di gubuk. Yakni, dapur gubuk. Berisi gelas dan air yang panas. Sang satpam keluar membaca air-minum. Mengeluarkan teh, buat sang politisi. Sayangnya, sang politisi terlanjur kagum dengan apa-apa yang terjadi. Dia saksikan hal-hal disekitar penuh dengan penikmatan. Dia mengamat-amati tanaman yang ada.
“Subhanallah, tanaman yang ada adalah sangat bermanfaat. Sangat bermanfaat. Digunakan seluruhnya untuk manusia.”
Dia melihat pohon kopi menjajar di seluruh jalan. Dia tersenyum. Dia mengamati, suatu pohon yang dikiranya aneh. Sangat aneh. Dia mengincar-incar dan bertanya-tanya, ketika sang satpam di dekatnya. Ditanyakan, “Tanaman apa itu?”
“Oh itu teh.”
“Mengapa harus dialing-alingi seperti itu?”
“Kata ahli pertanian, teh membutuhkan suasana yang dingin. Maka dia mencarikan cara supaya bisa mendapati kedinginan,” jawab sang satpam ceria.
“Silahkan di minum airnya,” tambah sang satpam cepat.
“Masyallah,” kata sang politisi terkejut. Melihat teh yang dibuat. Sang politisi mendadak teringat waktu dia berada di cina. Seakan-akan telah terasa benar bahwa dia berada di cina. Dalam kedai teh. Dia terkagum dengan apa yang dilihatnya. Gelas yang terbuat dari tanah. Teko dari tanah. Kepulan air yang panas, serta gula batu. Padahal, dia belum menyeruput tehnya. Belum memegang cangkirnya.
“Bagaimana kalian bisa seperti ini?” tambah sang politisi terkagum. Menggoblokkan diri seketika. Seakan-akan lupa dengan apa-apa yang pernah dibacanya. Tentang kampung kami.Tentang prinsip kami. Jangankan tentang prinsip kami, dia lupa akan tujuan sebenarnya ke sini. Tujuannya sekarang adalah rasa ketakjuban belaka.
Dengan renyah, Sang Satpam pun berkata. “Bisa jadi, kelak, kalau kita bertemu dengan Tuhan juga seperi anda, Tuan.”
“Maksudnya?”
“Lupa tujuan apa sebenarnya, karena telah tepuaskan tatkala berada di lingkungan-Nya. Walau sebenarnya masih ingin bertemu dengan-Nya.”
Sang politisi hanya tersenyum. Menelan lidah dengan susah. Sang satpam mengetahui, bahwa kata-katanya menyentak dalam dada. Menusuk sampai hatinya.
“Tapi anda masih ingat tujuan utama anda ‘kan?” kata sang satpam ceria.
Sang politisi mengaguk. Menganggakat gelas dari tanah. Mengendus uapan teh. Memejamkan mata. Beranggapan seakan-akan di kedai teh cina. Menyeruput dengan perasaan cinta. Lepaslah tentang bahwa dirinya sang politisi, yang serat akan masalah tentang rakyatnya. Jauh dalam batinnya, “Betah saja berada di sini.
Belum ada Komentar untuk "Sinar Kampung Abu Nurikhasf"
Posting Komentar