Kampung Abu Nurikhasf


Era maju memang benar-benar menawarkan gemerlapnya dunia. Kemilau dunia bisa ditangkap dengan mudah. Manusia dimanjakan serba mesin: hampir-hampir dunia bakal dikuasai oleh mesin. Film Transfomer benar-benar menawarkan, setidaknya mengambarkan tentang masa depan yang diliputi mesin. Dan sekarang, di kota, uang adalah pengabulan tentang surga. Surga dunia yang benar-benar memanjakan tentang dunia. Dengan uang orang bisa dengan mudah berleha-leha dan ditawari oleh mesin. Tapi mereka juga rupanya, jauh di lubuk hatinya, risau dengan era-teknologi yang meraja lela. Namun mau bagaimana lagi? Manusia tidak bisa menghindar dari zamannya. Sehebat apapun manusia tidak bakal bisa menghindar dari zamannya. Akan tetapi, tidak di tempat Abu nurikhasf. Seketika orang-orang memandang memang terkesan kaum primitif, akan tetapi, tatkala orang-orang semakin menyelami maka orang-orang tersebut sangat-sangat iri terhadap Kampung yang diperkasai oleh Abu Nurishaf.

Orang-orang pandai, orang-orang yang rajin membaca, pasti mengetahui kampung Abu nurikhaf. Sebab kampung Abu Nurikhaf mendapatkan penghargaan kampung terpuji. Sebab disana serat akan pujian.

Sebenarnya tidak serat akan pujian. Tapi, kerukunan dan kesejahteraan. Orang-orang di luar sana, gegap gempita mengabarkan tentang kampung Abu Nuriskhaf. Kampung seni yang berlandaskan islam. Itulah acuan dari kampung Abu Nurikhasf. Nilai-nilai islami berpadu dengan budaya yang menjadi satu. Ada yang menuliskan seperti ini:

Kata pemimpinnya, Abu Nurikhasf, di sini memang manut terhadap pemerintahan pusat. Segala apa yang dilakukan pemerintahan pusat dipatuhi. Uniknya lagi, tatkala ada acara bulanan, maka disini pembayannya ada yang mengetui. Pembayaran listrik, umpamanya. Disini hanya seorang yang memegang keuangan tentang listrik. Seorang itulah yang dipasrahi mengurusi keperluan listrik. Mereka belajar dari waktu ke waktu. Maksudnya, penyetoran dana adalah berpatokan dari bulan kemarin. Sehingga bulan kedepannya adalah menyetor dengan dana yang sama. Tidak boleh dilebihkan. Itulah syarat utama. Dan tatkala setoran merasa kurang, maka akan ditambahi oleh pemimpin tersebut dengan dana tabungan Kampung. Tabung kampung adalah infak suka-rela. dan kekurangan tersebut, nantinya bakal dituntut kepada pihak yang kurang, dengan cara menyetorkan kwintansi pembayaran.

Jadi, untuk mengupayakan hal tersebut, mengumpulkan orang-orang tersebut, disini adalah sangat gampang. Sebab mereka benar-benar merealisaskan fungsi agama. Yang salat. sebagai kendaraan tukang-kumpul dan pembicaran. Maksudnya, begini. Kalau sekiranya adalah kepentingan bulanan. Maka orang-orang bakal tertahan di masjid. Yakni, selepas isya, demi mendapatkan kesepakatan tentang pembayaran.

Di lain tempat ini, bakal menyangkal kalau-kalau ada argumen seperti: “Jadi, sebelum shalat orang harus mengantong uang, dan itu bakal disetorkan tatkala selepas isya. Jadi, shalat adalah terpikirkan oleh uang. Masyaallah.”

Jawabnya sang pemimpin keuangan seperti ini, “Di sini bukanlah tempat untuk berdebat tentang akidah, Bung. Kalau anda merasa ingin depat tentang akidah, bukan ditempat ini. Tapi di sekolahan-sekolah. Di sini masyarakat, Bung. Ingat, masyarakat, Bung. Tidak seluruh manusia kuat tentang agama. Intinya, di sini, Bung: berusaha kerasa merealisasikan agama. Akan tetapi, kalau anda ingin mendapatkan jawaban yang lebih puas sang pemipin kami, Abu Nurikhasf berkata, “Kamu mempersoalkan kami, Tuan. Tapi silahkan persoalkan orang-orang yang salat mengantongi Hp. Persoalkan orang-orang yang salat dengan mengantongi dompet. Sungguh, jika anda berwawasan luas: pasti anda menemukan hal-hal yang serat tentang keduniaan banget.”

Kembali tentang listrik. Ketika kami menyadari bahwa pembayaran listrik kami adalah tidak sepadan pembayarannya. Maka kami membuat keputusan kepada pihak listrik untuk menyama-ratakan jatuhnya pembayaran listrik sembari memberi alasan. Hitunglah hari-hari keterlambatan, intinya, sama-ratakan tentang waktu pembayaran, nanti kami bayar. Ketahuilah, kami berusaha membayar tepat waktu. Yakni, awal bulan jatah kami membayar. Insyaallah kami berusaha keras memegang janji.

Begitulah potongan tulisan dari seorang esais mengagumi Kampung Abu Nurikhasf. Sangking tertariknya. Dia menuliskan banyak hal tentang Kampung Abu Nurikhasf. Tatkala dia, esais, berusaha mewancarai Abu Nurikhasf, dengan rencana ingin mengetahui lebih jauh tentang kampungnya. Dengan enteng Abu Nurikhasf berkata.

“Tidak usahlah kamu banyak tanya, tinggallah beberapa waktu di sini. Nikmatilah hidup di sini sebagai musafir, kelak kamu akan dapati apa yang kamu ingini. Kamu bisa tuliskan apa yang ingin kamu tuliskan. Dengan syarat, kamu harus mematahui peraturan di sini. Kalau tidak, segeralah kumpul bersama orang-orang yang tidak taat. Ketahuilah, disini adalah kumpulan orang-orang yang taat. Bisakah kamu pahami?”

Dia mengaguk. Menelan lidah dengan pelan. Mengalihkan pandangannya dari mata Abu Nurikhaf. Sang esais tersebut merasakan betapa kukuhnya tatapan Abu Nurikhaf. Betapa galaknya tatapan Abu Nurikhaf. Seakan-akan benar-benar menembus kalbunya, mengoyak-moyak tentang jiwanya, seakan-akan dirinya diserba goblokan tentang dunia. Seakan-akan dituntut untuk kembali kepada Latif, sang juru bicara kami. Seakan-akan betapa menyesalnya berhadapan langsung dengan Abu Nurikhasf.

“Maaf,” katanya lirih.

Abu Nurikhasf mengangguk pelan dan tersenyum, kemudian berkata, “Silahkan temui Latif, insyaallah akan dijelaskan lebih rinci tentang aturannya. Lebih tepatnya, di sana kamu akan dilayani. Silahkan.”

Dengan cepat sang esais melangkahkan kaki mencari Latif. Setelah bertemu, dengan lembut Latif menerangkan. Dengan lembut latif menuntukan ke tempat para musafir. Selang beberapa hari dia menuliskan.

Orang-orang menginginkan tempat seperti ini, yakni mendapati kebahagian tertinggi. Yang mengacu pada agama. Islam adalah tendensi kuat, jalan kuat menuju kebahagian tertinggi. Pokoknya, tatkala orang berada di sini, maka akan mengerti Islam yang lunak sekali. Tidak kaku. Tidak ada paksaan. Sang Pemimpin yang cerdas lagi cerlang betapa lihai mengaplikasikan agama. Tidak ada paksaan. Tidak ada perdebatan tentang agama. Yang ada adalah agama permusyawaratan. Pokoknya, hal-hal yang berbau tentang kefikihan dibuat serapi mungkin. Jika dikatakan ini aliran apa. Kata orang-orang disini, ini adalah agama Islam. Kalau dikatakan, ini menggunakan madzhab apa-jawab mereka, “Madhab kami, Islam realitas.” Maksudnya, di sini adalah tidak merebutkan tentang Madzhab, tapi mengalir. Tidak ada kengkangan harus madzhab ini, atau itu. Uniknya, “Kalau ada yang berusaha mendebat, mereka pasti akan berkata, ‘kalau mau debat jangan di sini, Mas. Anggap saja, kami adalah orang-orang bodoh tentang agama, tapi kami berusaha mengetahui agama. Atau, mengapa kamu sibuk mengurusi kami, sibuklah mengurusi bagaimana lingkunganmu?’

Sesekali ada orang yang datang ke tempat ini—aku menyebutnya tempat kami, karena, tatkala aku tinggal disini, aku benar-benar dekat sekali dengan islam, dengan sekali dengan fungsi islam, erat sekali kekeluargaan—tapi, satpam berkata: apa keperluan anda?

“Aku ingin bertemu dengan Abu Nurikhasf?”

“Alasan apa? Sudahkah ada janjian?”

“Apakah harus bertele-tele, aku sahabatnya dan aku merindukannya, dan beginikah adab kalian menyapa tamu?” kata seorang yang berwajah alim, sembari mengudarkan ayat-ayat Quran dan juga mengudarkan tentang Hadist. Satpam tersebut, beristigfar. Mengudarkan rasa syukur, dan menengadahkan tangannya—berdoa yang tersembunyi. Kemudian berkata lirih, “Mari saya antar.”

Sebab sore menjelang. Sebentar lagi ngaji di mulai. Maka Abu Nurikhasf sedang berjalan-jalan di sekitar perkampungan. Ketika sang tamu mengetahui kebersamaan mereka. Beradu pandang dengan mereka. Seketika sang tamu diam sunyi. Tapi Latif dengan lembut merangkulnya. Seakan-akan akrab. Mengajaknya duduk di serambi masjid. Berbicara ringan. Sementara yang lain mulai berwudu. Dalam obrolan tersebut, diam-diam, mata sang tamu liar memandang orang-orang berwudhu. Mengetahui gerak-geriknya, Latif menarik tangannya untuk berwudu. Tak ada orang yang berusaha mengawasi mereka, kecuali sang tamu celingak-celinguk kecil seakan-akan waspada.

Sebagian yang lain telah duduk tenang. Berkumpul melingkar. Ngaji belum dibunyikan. Latif yang lembut mengajak sang tamu duduk berkumpul, melingkar. Seketika seorang di antaranya berkata, “Benarkah kita hidup di dunia adalah sementara saja? Dan anak adalah sebagai titipan belaka?”

“Ya,” kata yang lain menjawab.

“Jadi, kita harus rela tatkala anak-anak kita pergi menuntut ilmu demi mendapati bahagia ‘kan. Ingat, anak adalah sekedar titipan belaka,” kata yang lain lagi membalas.

“Aku telah memondokkan anakku di Pesantren. Aku telah sowan kepada Pak Yai, supaya meneguhkan pendirian anakku. Kataku, supaya dia pandai agama, tidak seperti Bapaknya, minim agama. Teguhkan juga supaya dia mesti harus mencintai Allah. Itulah yang mesti harus ditekankan, Pak Yai, imbuhku sembari berharap berkah dari doanya,” sambut yang lain lagi.

Sang tamu, semakin bingung sebenarnya yang mana Abu Nurikhasf. Tubuhnya tenang. Tapi matanya liar menuju mata-mata yang lain. Berusaha mengamat-amati dan menebak, yang mana Abu Nurikhasf. Sementara pembicaran terus mengalir. Yang intinya, tentang pendidikan. Pembicaraan terus bersahut-sahutan, antara curhat dan kemajuan pendidikan. Pembicaran cepat bagai kilat. Clap-clep... clap... clep... namun intinya adalah pengakuan, bahwa orang-orang di sini adalah minim agama. Tapi berusaha supaya anak-anaknya pandai beragama. Intinya, anak-anak yang terlanjur tua, berusah di pondokkan. Sementara yang lahir, berusaha di giring menjadi alim-ulama.

Mata sang tamu masih risau dan mencari tahu.

“Bukankah kamu telah dan sering mendengar, bahwa tatkala ingin berdebat agama jangan di sini. Tapi di sekolahan atau lembaga-lembaga pendidikan. Ketahuilah, orang-orang yang pandai adalah orang-orang yang tidak sibuk tentang perdebatan. Tapi, bagaimana diskusi itu bisa menjadi realitas. Kamu tamu disini, wahai musafir. Hormatilah kami. Hormatilah keputusan kami. Kalau kamu tidak suka dengan gaya kami: memangnya apa yang mempertentangkan tentang kami? Madhab? Aku tanyakan padamu: sudah benarkah kamu menjalankan madhabmu? Demi Allah, aku sangat geram kalau kamu sedikit mendustakan tentang madhabmu. Sekarang, apakah kamu sudah plek mengikuti madhabmu? Atau madhabmu adalah madhab yang tidak murni, tapi kamu masih mengakui tentang suatu madbab,” kata Abu Nurikhasf panjang. Sang tamu hanya diam mendengarkan. Sungguh, intonasi Abu Nurikhasf puitis sekali. Sangat puitis. Dia melanjutkan, “Kamu telah dengar banyak tentang kami, sudah semestinya kamu tidak datang dengan perasaan ingin menguji diri—apalagi tentang menguji keislaman kami. Apakah kamu pernah mendengar Islam-Realitas? Bukankah itu yang sering kamu mengerti tentang kami. Sudahlah anggaplah itu ketentuannya. Tapi, sejauh kamu melangkah di lingkungan kami. Tidakkah kamu bahagia melihatnya? Ketahuilah, sebagian yang duduk di sini adalah para musafir. Kamu harus menghormati mereka, karena mereka juga berusaha menghormatiku. Sudahlah, jangan dipeributkan lagi tentang agama. Agama itu telah kuno, telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Kalau kamu ingin ribut, silahkan baca buku. Insyaallah, kata-katamu akan lebih sunyi.”

Sang tamu itu lega. Hingga pada akhirnya sepertiku. Menjadi musafir, yang dimuliakan di sini. Karena musafir adalah miskin harta. Ya, seluruh isi dompet kami di pegang oleh mereka. Kami tidak memegang apa-apa kecuali tubuh dan pakaian yang kita kena. Hanya itu. Itulah musafir. Kami diperintahkan menjujurkan harta-harta kami. Kami di sini miskin, tapi ini adalah pelajaran zuhud: pelajaran tertinggi tentang dunia ini: prisipnya simpel: kekayaan terletak di hati.

Begitulah petikan dari sang esais, dalam hatinya, sang esais masih menyusun nasakah tentang bagaimana sejarah kampung Abu Nurikhasf berdiri. Bagaimana Abu Nurikhasf mendirikan kampungnya, dan orang-orang, dia terus menyusun, dengan harapan bakal segera dikabarkan. Katanya, “Tunggulah. Aku pun menunggu.”

**

Belum ada Komentar untuk "Kampung Abu Nurikhasf"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel