Diakah Sufi: Bila Menari dengan Jubah yang Lebar serta Menggunakan Songkok yang Tinggi?



"Diakah sufi: bila menari dengan jubah yang lebar serta menggunakan songkok yang tinggi?”



Itulah pernyataan yang menghibur buat Luam sekaligus mempertanyakan kebenaran dari sufi, selain itu, juga pertanyaan ini yang selalu diajuhkan:



“Diakah sekedar penari atau hati-hatinya benar-benar menari demi Allah atau ia sekedar penganut Jallaudin Rumi? “



“ Apakah kau pernah menari, Luam?” tanya Haidar kemudian.



Luam tersenyum saja. Mendadak ia terbayang beberapa kejadian yang telah berlalu, ketika ia sedang gemar menulis syair ketuhanan di tempat pasar: tepatnya, ketika ia berada di toko saudaranya, dan ia berada di tingkatnya. Ia menari di sana.



“Luam,” panggil Haidar.



“Sudahkah kamu tidur?” imbuhnya kemudian.



Remangnya kamar serta angin yang sesekali masuk lewat ventilasi jendala, kian menyejukan malam buat mereka. Khususnya buat Luam, yang tidak menjawab pertanyaan Haidar sementara matanya terpejam. Sebenarnya Luam tidak tidur, namun ia bagai kembali ke satu tahun yang lalu, yakni toko saudaranya, di lantai dua, ia berdiri sambil memutar-putarkan tubuhnya perlahan yang dibarengi dengan instrumen ala turki.



Pikirnya, “Aku menari bukan karena manusia ingin melihatku, tapi aku menari demi mendapati apa yang aku ingini, yang itu sulit didapati dari ungkapan kata-kata. Yang itu, sulit diperinci tentang kenikmatan dengan kata-kata. Aku ingin menari karena kau mengingankan itu.”



Tidak ada permulan. Mendadak saja, berputar-putar dengan istrumen yang didengarnya. Sebelum itu ia menulis,



“Terima kasih kuucapkan kepada Jallaudin Rumi, yang menyebarkan tarian putaran ini. Tapi aku bukan pengikutnya, tapi tetap berterima kasih kepadanya, karenanyalah aku sekarang aku mengenal tarian putaran ini. Bukan karena apa, tapi karena aku tidak mematuhi peraturan mainnya, maka enggan kukatakan bahwa aku pengikutnya.



Bayangkan saja, beberapa tarian telah kulangsungkan dan itu terjadi ketika, “aku ingin menari: ketika aku ingin berputar, dan itu tidak ada guru, tidak ada penonton, tidak mengunakan songkok, apalagi dengan jubah: pokoknya, aku ingin berputar dan berputar. Tidak harus dengan syarat ini, itu. Maaf, aku menari bukan karena untuk matamu. Tapi, aku menari karena keinginanku.



Tidakkah engkau perhatikan orang-orang india yang menari? Film india yang bertemakan klasik adalah kerap sekali berputar-putar ala whirling darvise. Ketahuilah, secara penampakan perbedaannya adalah tentang pakaian. Secara batiniah, bukannya sama-sama ingin mencarai kedamaiannya. Namun, batiniah yang lain, entahlah…



Dan konon, tarian-tarian india adalah berkaitan erat dengan pemujaan. Tidakkah mirip dengan tarian sufisme?”



Dengan pakaian seadanya. Luam menari tidak berhenti-henti. Pikirnya, “Aku ingin menari sekuat aku berdiri.”



“Jangan melampaui batas, Luam!” sentak Muhaimin di waktu lain, ketika Luam menceritakan dirinya tentang tariannya.



“Melampaui batas bagaimana?”



“Penting diingat! Segala apa ada aturannya, Luam.”



“Aku tahu itu: tapi apakah menari dilarang?”



“Tarian sufi itu ada aturan mainnya!”



“Memangnya siapa yang menari sufi?”



“Katamu tadi!”



“Saya berputar-putar. Itulah perkataanku,”



“Apakah,” Luam mengimbuhi, “Apakah setiap tarian putar selalu didedikasikan tarian sufi?”



Muhaimin hanya terdiam, sambil membayangkan manusia menari. Tapi Luam dengan cepat, menambahi lagi,



“Atau, begini: apakah setiap orang yang memutar-putar tubuhnya selalu diartikan tarian sufi?”



Muhaimin kian terkejut dengan pertanyaan luam.



“Apakah orang yang duduk berputar-putar disebut tarian?”



Bayangan muhaimin terbecah-belah sebab deratan tanya Luam. Mendadak luam berkata, “Memangnya apa yang kamu ketahui tentang sufi?”



Dengan entengnya Luam berkata, “Aku tidak tahu!”



“Bukannya kamu kerap sekali membaca buku tentang sufisme dan menyukai instrumen turki?”



“Memang!”



“Jadi, kamu menyukai tidak mengetahui apa yang kamu sukai?”



“Aku mengetahui apa yang aku sukai!” Luam masih menjawab dengan entengnya.



“Lantas, apa yang kamu ketahui tentang sufi?”



Luam menarik napasnya. Membuangya dengan cepat, dan berkata,



“Untuk saat ini aku tidak bisa mengungkapkan apa yang kamu tanyakan, bukan karena aku males untuk memberitahu, tapi saat ini aku tidak ada kata-kata yang pas supaya kamu dengar, Min,”



Amin pun tersenyum. Dan berkata, “Apakah itu yang kamu ketahui tentang sufisme?”



Menganggukan kepala adalah jawaban Luam. Tapi, tidak lama kemudian ia berkata, “Tapi disinilah, Min,” jawabnya sambil menaruhkan tangannya didada dan kemudian dikeningnya.



Begitulah pengenangan Luam malam ini, yang buyar sebab mendadak lampu padam. Kamar gelap gulita. Terpaksa, mau tidak mau: memejam lebih baik daripada membuka mata. Diteruskanlah pengenangan Luam, tapi yang terjadi adalah, bahwa ia sedang membayangkan yang lain, yakni, ia berubah menjadi seorang penari dalam kegelapan—sendirian. Tidak ada penonton selain matanya sendiri, tidak ada instrumen kecuali dari rekaman di memori kepalanya. Dengan santainya ia berputar-putar. Perlahan dan pasti, keadaan berubah drastis.



Dari matanya, ia tidak melihat tentang apa-apa yang bisa dilihat. Ia bagai melihat lingkaran hitam yang mendalam—semakin matanya melihat, semakin dalam, semakin tidak mengerti akan apa yang dipikirkan. Hingga ia berada di tempat yang tidak pernah dibayangkan, ditempat yang tidak pernah disangka. Katanya,



“Aku berada di mana? Mengapa tidak kutahu dimana ini berada?”



Ia pun melihat pakaiannya. Ia menggunakan jubah. Dan dipeganglah kepalanya, dirabalah songkoknya. Terdengarlah seruling merdu.



“Dimana orang-orang tersebut memainkan alat musiknya?”



Berlarilah ia menuju pintu. Tapi rupanya 5 kali langkahan kakinya, ia menabrak dinding transparan dan terpental ke belakang. Tepental lagilah ia ke depan. Dan terpental lagi ke belakang. Setiap pantulan dari dinding adalah menambah kecepatan ia terpental. Sebab, dinding tersebut semakin lama semakin mengecil. Semakin menghimpit tubuhnya. Ia meraba-raba, rupanya ada lubang pada dinding tersebut. Masukalah tangannya pada dinding tersebut. ya, kedua tangannya telah masuk pada lubang dinding. Sementara tubuhnya telah terhimpit dinding bening dan tidak bisa bergerak.



Ia bagai mengenakan jaket tranparan untuk tubuhnya: Kepalanya miring ke kanan, tangan kanan menjulur ke atas dan jarinya bagai menegadah, sementara tangan kirinya pun menengadah. Ini adalah posisi pasrah kepada tuhan-Nya, menerima apa adanya, bagai memohon untuk direlakan dan lain sebagainya. Namun inti pokoknya, seperti apa yang dipikirkan, “Aku benar-benar pasrah dengan keadaan sekarang,” Dan yang membuat terkejut adalah bahwa alasan kaki, mendadak berputar sendiri. Ia bagai diatas alat yang dibawahnya mesin, berputar sendiri tanpa digerakan. Katanya, “Aku berputar! Apa yang terjadi?”



Dalam putaran yang ke sepersekian, ia dapati bahwa semuanya adalah perhiasan untuk mata. semuanya bakal berlalu lalang yang tidak jelas. Katanya, “Aku bagai melihat, ada seseorang yang mencoret-coret dengan penanya dan ia membuat lingkaran,” hingga perlahan-lahan, coretan kian menujukan alurnya, yakni wana putih—putih, putih dan seluruh pandangannya adalah putih.



Katanya, “Kalau semuanya adalah putih, apa yang dimaksud dengan keindahan?”



“Jadi,” imbuhnya seketika, “Sekarang aku berada di mimpi,” herannya.



“Agaknya, aku betah berada disini,” timpalnya kemudian.

Belum ada Komentar untuk "Diakah Sufi: Bila Menari dengan Jubah yang Lebar serta Menggunakan Songkok yang Tinggi?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel