Masjid dan Tamunya


Ya, aku ingin ke masjid adalah bukan untuk dipertanyakan. Bukan untuk menjadi bahan pembicaraan, bukan untuk menjadi bahan pertimbangan, tapi aku ke masjid karena aku belajar beriman—itulah dasarku. Aku berusah patuh dengan perintah-Nya—untung isyarat dalam Al-quran adalah patuh kepada Allah terlebih dulu, bila patuh kepada Rasul? Bertambahlah jegleg kejiwaanku. Sebab patuh kepada-Nya pun, belum sepenuhnya patuh kepada-Nya: seenggaknya, aku akan belajar patuh kepada-Nya—sepenuhnya, ya sepenuhnya. Jalannya, dengan bantuan ‘realitas’ rasul-Nya. Itulah doa. Mudah-mudahan dikabulkan, amin

**


Kau dengan segala kepernikan pengetahuanmu, telah mengantarkanmu ke negeri yang kau sendiri tidak mengetahui pasti. Hari pertama ke masjid—adalah pertanda yang aneh: bahkan tidak jarang, mereka menghujaniku dengan kata-kata hendak kemana? Apalagi dirimu—seorang penyembunyi yang sangat, enggan diketahui keaktifitasamu, sehingga ketika orang bertanya, hendak kemana— dengan santainya jawabmu, “Jalan-jalan.”

Bahkan tidak jarang kau katakan, “Kencan.”

Padahal sesungguhnya hendak kau langkahkan ke masjid, namun, begitulah jawabmu, selalu tidak pas dengan apa yang ada dihatimu: pikirmu, “Suatu saat kalian akan mengetahui sendiri terhadap apa yang kalian tanyakan tanpa penting bagiku untuk menjawab pertanyaanmu,”

Buktinya, benar.

Mereka mengetahui sendiri, bahkan mereka malah kini menjawabi jika ada yang bertanya kau hendak kemana.

Ya, mereka menjadi mulutmu. Ya, seakan-akan kau dibantu dari mulutnya, yang kebenarnnya tidaklah kau mengerti—apakah mereka mengetahui bahwa perjalananmu di waktu dhuhur dan asar adalah selalu ke Masjid? Namun kenyataan bahwa sepengetahuanmu—setiap perjalanan dhuhur dan asarmu adalah sampai pada Masjid, sejauh ini belum ada yang menghalangi pada tujuanku, sejauh ini, ya, kau selalu menemukan Masjid.

Pernah diceritakan tentang hal gaib. Begini:

Ada seorang pemuda, yang selalu tidak sampai pada masjid yang akan dituju, padahal jalan ke masjid telah lanyah baginya—namun, ketika diperjalankan, selalu tidak ketemu masjid tersebut. Padahal, katanya, “Aku telah berada di halaman masjid, tapi entah mengapa, seakan-akan aku selalu sampai pada halaman masjid, dan sungguh kakiku terus melangkah: anehnya, selalu tidak ada kebosanan yang menghampiriku,”

“Bisakah dijelaskan kronologisnya?”

“Aku tidak yakin, bahwa sepenuhnya kamu akan percaya pada ceritaku?”

“Mengapa demikian?” tanyaku tidak sabar.

“Sedikit sekali orang yang percaya!”

“Mudah-mudahan aku percaya padamu,” balasku seketika.

“Aku seperti dijalankan ke tempat yang lain—masjid-masjid lain. Aku merasakan benar bahwa aku dipindah tempatkan, bukti nyata, ketika melangkah, tatapan lantaiku kini berbeda dari Masjid yang bakal kutuju—masjid yang telah kuhafal. Bisakah dimengerti?”

“Atau, bisakah dipercaya?” imbuhnya seketika.

“Di zaman moderen ini, sulit dipercaya!”

“Bukannya telah kukatakan ‘sedikit sekali orang yang percaya’?”

“Aku,” balasnya kemudian, “Memang suka berimajenasi,” terangnya. “Itu terjadi ketika aku ditambahkan ilmu pengetahuan. Ya, semakin ilmu bertambah, semakin kuat imajenasiku. Begitulah yang terjadi.”

“Jadi, apakah itu imajenasimu saja?”

“Tapi aku pecaya bahwa kejadian tersebut bukan imajenasi—itu adalah kejadian yang benar-benar nyata—sangat nyata!”

Sungguh bagi sang pencipta, sangat mudah menjalankan hambanya yang demikian. Bukannya banyak hal-hal ghaib disekitar kita, akan tetapi jarang sekali kita memikirkan?

Dari kisah tersebut, kau semakin gencar untuk mendatangi masjid. apalagi entah, darimana timbulnya keinginan mengunjungi orang-orang yang taat ke masjid, orang-orang yang disiplin ke masjid—yang hampir, memastikan ialah penghuni masjid untuk salat fardu. Yang kau datangi mereka satu persatu, dengan jarak waktu—bahkan, pernah kau janjikan bahwa kedatanganmu, mungkin 2 minggu sekali—“Pokoknya, dalam waktu dekat ini, ketika aku mengunjungimu, bunga hatiku, menambah semangat mendatangi masjid: bukannya engkau mengetahui, bahwa jarak rumahku adalah jarak terjauh orang-orang ke masjid?”

“Ya, semoga Allah menambahkan iman kepadamu,” balasnya.

Sebelum itu, memang kerap mereka bercakap-cakap tentangmu, yang pokoknya tetap mempertanyakan dirimu—bahkan di dalam masjid pun orang-orang mempertanyakan. Perbedaannya, mereka tidak mempertanyakan secara langsung. Namun mereka bertanya-bertanya dibalik diamnya mengikuti salat berjamaah. Dan itu kau ketahui semenjak mendatangi mereka, di antaranya ada yang berkata, “Kuceritakan kepada istriku, ada seorang pemuda yang sering jamaah di masjid—entah siapa dia aku tidak mengetahui. Balas istriku, “Mengapa tidak ditanyakan?” ketika kemarin, kutanyakan, tapi kamu tidak mengakui secara pasti siapa kamu—malah kamu menunjukan letak rumahmu. Itulah yang kuingat.”

“Bukannya aku telah menjawab siapa namaku? Bahkan telah kusebutkan silsilahku? Yang sampai pada tangga 5 atasanku.”

“Benar! Tapi, aku malah tidak paham dengan hal tersebut,” balasnya sambil tertawa dan mengimbuhi, “Maklum sudah tua,”

Jawabmu, “Yang pasti, aku ingin meniru sebagaimana engkau rajin ke masjid,”

Katanya, “Kalau tidak ada halangan, ya, solat di masjid,”

Kemudian kaut anyakan, “Apakah kalau aku tidak ke masjid ditanyakan?”

“Tentu,” jawabnya. “Ada apa dan kenapa, tidak ke Masjid? Tapi kalau bagiku, itu tersimpan dalam hati, tidak serta-merta langsung mempertanyakan!” imbuhnya, “ Dan hampir kebanyakan juga begitu, namun kalau tidak datang, maka tentu ditanyakan, bisa jadi, ia tidak datang karena sakit: maklum, kami telah tua—sakit adalah biasa,” ia menerangkan dengan renyah dan gembira.

Dan sekarang, itu semua telah terjadi kepadamu. Bila ada satu diantara mereka—orang-orang yang taat ke masjid, tidak mendatangi masjid—maka dengan segera ingin mengetahui, ‘ada-apa dan kenapa ia tidak datang ke masjid?’ Tapi, harapanmu—kau tetap mendirikan tentang bagaimana tujuanmu.

Ya, aku ingin ke masjid adalah bukan untuk dipertanyakan. Bukan untuk menjadi bahan pembicaraan, bukan untuk menjadi bahan pertimbangan, tapi aku ke masjid karena aku belajar beriman—itulah dasarku. Aku berusah patuh dengan perintah-Nya—untung isyarat dalam Al-quran adalah patuh kepada Allah terlebih dulu, bila patuh kepada Rasul? Bertambahlah jegleg kejiwaanku. Sebab patuh kepada-Nya pun, belum sepenuhnya patuh kepada-Nya: seenggaknya, aku akan belajar patuh kepada-Nya—sepenuhnya, ya sepenuhnya. Jalannya, dengan bantuan ‘realitas’ rasul-Nya. Itulah doa. Mudah-mudahan dikabulkan, amin.

Ditulis 2012 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "Masjid dan Tamunya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel