Jenggot


Percayalah. Sabar itu tidak terbatas. Sekali pun orang-orang berkoar, “Sabar itu ada batasnya.” Pokoknya, percayalah, bahwa sabar itu tingkatan yang sulit untuk dicapai. Tingkatan yang tinggi. Berjajaran dengan menerima. Menerima seluruh kejadian. Aku teringat ada pepatah yang mengatakan, “Jalan keluar yang bukan jalan keluar adalah sabar.” Sebab tidak mudah orang menerima.



Memang benar, tidak mudah kita menerima. Apakah mudah? Tanyaku pada hembus angin yang menyergapku. Membelai kelopak mataku. Berkedip. Tapi mataku terus memandang dia berjenggot. Kini aku duduk. Mengamati dia. Melihatnya baik-baik. Jubah, peci dan bibirnya. Kataku, aku harus bersabar dengan melihatnya.



Dia pecinta sunah.Dia rabbani. Aku bersyukur bisa melihatnya. Melihatnya tidak di dalam masjid. batinku, dia tidak dholim. Tapi itulah seragamnya. Aku pikir dia tidak merasakan. Hanya saja, manusia kurang pengetahuan tentang islam, tidak luwes melihatnya. Seakan-akan dikeningnya berkata,



“Ke pasar saja menggunakan jubah dan peci.”



Jawabku, “Itu memang seragamnya. Dia berusaha meniru nabi.”



“Lihatlah. Istinya, jubahnya menyapu lantai. Taik bisa nempel dengan mudah. Najis.”



Jawabku lagi, “apakah kau tahu bahwa takkala hendak beribadah mereka ganti?”



“Tapi aku pernah melihat bahwa mereka langsung ibadah. Sungguh! Mata kepalaku menyaksikan itu. Seusai ke pasar dia langsung ke masjid. sungguh.” Balasnya menyakinkan.



“Sebut saja, mereka masih berusaha memahami islam. Berusaha belajar semakin memahami islam.”



“Jadi, mereka belum pandai benar?” tanyanya segera. Juga mengimbuhi dengan nada sinis, “gayanya dikit-dikit Dalil. Membawa al-quran dan hadis.”



“Mereka sok alim.” Lambrak yang lain.



Yang lain pun ikut menimbrung, “Alah, mereka itu mencari perhatian. Supaya diperhatikan. Supaya orang-orang membicarakannya. Supaya kita mendapatkan dosa tatkala menggunjingnya.”



“Astagfirullah’dim” jawab mendengarkan. “Ngapain kita menggunjing mereka. Menambahi dosa saja. Sudahlah. Sudah.”



“Makanya,” aku masuk dalam pembicaran. “enggak usah repot-repot mengoreksi orang lain. Tapi koreksilah diri sendiri.”



“Tapi mereka itu benar-benar membuatku geram.”



“Geram!”



“Ho’o...” yang lain menjawab.



Balasku, “Ngapain geram. Mestinya kita mesti geram pada diri sendiri, karena telah menggunjing mereka. Tidak bisa menjaga amarah kita.”



“Tapi, bagaimana menurumu, mas?” tanya yang lain penasaran.



“Katanya, ngingu jenggot sunah. Katanya. Aku dengar di pengajian pagi Masjid.”



“Itu kan sunah.” Jawab yang lain. “apakah dia juga menjalankan sunah-sunah yang lainnya? Atau sekedar ingin dilihat orang supaya dia alim?”



Aku diam. mereka terus saja berbicara tetang si jenggot pejubah yang belanja di pasar. Bersama istri dan mengendong anaknya. Tidak hanya satu orang. Tapi dua, tiga silih berganti terlihat. Tak jarang mereka kerap dibicarakan. Hari ini mungkin tentang jenggotnya, besok ngajinya, besoknya lagi komutisanya. Besokya lagi tentang ibadahnya.



Aku tersenyum. kataku, mereka menjadi artis orang-orang beragama islam. Lebih khusus orang yang islamnya kurang berwawasan luas. Kaku. Tidak flesibel. Tidak luwes.

Kadang juga aku katakan pada perempuan pasar,



“Islam itu tidak kaku. Pokoknya kita tunduh dan patuh kepada Allah. Itulah Islam. Menikmati hidup di dunia dengan segala apa-pun isinya. Bisakah dibayangkan bila Allah menakdikan bahwa didunia orang-orang sama persis, plek, seperti kamu? Mulai dari sifatnya, sikapnya, bahkan wajahnya—plek. Tidak ada perbedaan sama sekali. Tapi allah itu lebih pintar karena Dia Maha Pintar. Dia atur semuanya untuk dunia. Diatur sedemikian rapinya. Tepatnya, menciptakan seluruhnya berpasang-pasangan.”



Dan yang lain berkata tentang kegeramannya. “tapi kadang aku geram dengan mereka. Gayanya saja sok islam, tapi sikapnya: sombong! Jarang berbicara. Menyapa pun jarang. Mending kalau assalamualaikum. Cuma menundukan kepala doang. Itu pun jarang.”



“Kalau naik kendaraan,” imbuh yang lain. “Tidak tengak-tengok. Seperti kuda: lurus saja. Tatapan kosong. Galak.”



Aku diam mendengar kegeramannya. Berusaha santai bakal menanggapi. Menenang-tenangkan hati. Menjaga supaya tidak berkata, “kamu itu kurang mengetahui wawasan islam.” Hingga kemudian kukatakan.



“Mungkin dia sedang belajar tentang islam. Tepatnya, mendalami tentang islam. Apakah kalian sudah benar mengetahui tentang islam? Mendalami keislaman.”



“Aku sih standar-standar saja.” Jawabnya polos.



“Standar bagaimana?” Aku mengejar.



“Ikut umumnya saja.”



“Bukannya,” jawabku lirih, “islam mengajurkan supaya menjaga lisannya?”



Yang lain segera nyerebot, “Benar. Lidah lebih tajam daripada pedang.”



“Bukannya islam juga mengajurkan untuk menjaga pandanganya?”



“Benar.” Dia menjawab lagi. Dan meneruskan, “Sebab dari mata kita bisa terperangkap kamus cinta. Begitulah kata para pujangga.” Katanya sembari tertawa kecil, dan mengimbuhi, “entah... pujangga yang mana. Aku tak tahu.”



“Pokoknya.” Tambahku segara. “Bila hati kita tidak menerima tentang segala sesuatu. Maka, sebut saja, bahwa itu masih proses belajar. Gampang kan? Sebab, kalau boleh tahu: sampai kapan kita berhenti dari belajar?”



“Saya sudah tamat sekolah.” Jawab yang lain segera.



“Dan sudahkah tamat di Sekolah Kehidupan. Kelas: Kenyataan?”



Dia tersenyum. menunduk malu. Dan berkata lirih, “tamat kalau mati.”



“Kalau mati?” tanyaku juga lirih sembari tersenyum. “Konon, setelah mati kita dibangkitkan kembali. Hayo...”



Dia kembali tersenyum. Sebagian terkejut. Sebagian lagi mengangat pundak.



“Jadi mas, bagaimana soal jenggot tadi?”



“Jenggot?” kataku penasaran.



“Iya jenggot.”



“Tatkala aku membicarakan jenggot. Aku terngiang oleh gambar yang masih mengenang dalam kepalaku, yakni Khulafaur Rasyidin. Dia seluruhnya berjenggot. Agaknya, orang-orang arab, atau timur tengah: jambang atau jenggot memang banyak. Alamiah. Coba diperhatikan orang-orang keturunan arab, hampir mereka selalu bejambang. Pokoknya, wajahnya”



Jariku sembari mengusap letak jembang , jenggot dan kumis.



“Selalu ditumbuhi rambut. Namun, kalau dipikir-pikir. Gaya memelihara itu adalah sikap dari ketidak-perdulian manusia terhadap penampilananya.”



“Hah! Ketidak-perdulian manusia terhadap penampilan. Maksudnya?” tanyanya penasaran.



“Iya. Jadi rambut dibiarkan tumbuh apa adanya. Itu terbukti, bahwa rambut mereka juga panjang. Tatkala ramput panjang dan nanti dipasang udeng, tentu secara penampilan tidak kelihatan bagaimana bentuk dari rambutnya kan? Kayak orang jilbaban-lah. Jadi, mereka perduli tapi tidak-perduli. Tidak perduli tapi ya peduli. Nyatanya, ada juga anjuran untuk berjenggot.”



“Tapi itu menurutku lho... sebab aku belum membaca tentang sejarah bagaimana keadanaan secara fisik orang-orang timuran.”



“Lho... kok sampai keadaan secara fisik?”



“Mempercayai jenggot. Berarti mempercayai masa-lalu. Maka kita penting untuk menggali ilmu tentang masa-lalu. Sebab agama bersingungan dengan budaya manusia. Karena memang agama untuk manusia.”



Pasar memang selalalu ramai. Tidak pernah sepi. Sebab dipasarlah segalanya diperjual-belikan. Bahkan kata-kata dijual dan diobral. Katanya,
“Kalau mau jadi pedagang, berani bicara. Dan ujian besar adalah hati-hati dalam berkata-kata.” Dan pada akhirnya, juga tetap sabar menunggu dagangan. Menunggu sang pembeli datang. Sabar memang selalu menjadi terakhir dalam segala sesuatu. Ya, dapat dikatakan sifat sabar adalah tingkata tinggi yang sulit dilaksanai. Satu kataku sambil mengehebuskan nafas, “Sabar.”

Belum ada Komentar untuk "Jenggot"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel