Profesi Terindah: Pengarang
Selasa, 24 Januari 2017
Tambah Komentar
1/
Aku terkenal dengan sebutan tukang khayal. Tak jarang ia disebuti ‘kerjanannya menghayal’. Bahkan cerita yang disodorkan yang dikirim ke media-media dan perbukuan adalah berkaitan erat dengan khayalan. Suatu keanehan, yang itu dapat terjadi di dalam karangan.
2/
Kerap sekali ia ditanya, mengapa ingin menjadi pengarang. Dengan cepat ia menjawab,
“Menghayal itu mampu menjelajahi dunia. Kesana-kemari tanpa modal yang tinggi. Bahkan aku tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang untuk sampai ke negeri yang hendak kutuju.”
3/
Aku ingin ke Paris. Kutuliskan cerita yang berkaitan dengan Paris. Aku ingin ke Jerman. Kutuliskan cerita yang berkaitan dengan Jerman. Dan aku ingin ke Perancis. Ya. Kutuliskan cerita tentang Perancis. Jika aku ingin ke Mekah. Ya. Kutuliskan cerita tentang Mekah. Aku ingin berhaji. Ya. Kutuliskan rentetan tentang haji. Menjalankan ini-itu tanpa harus menunggu lama panggilan Tuhan. Toh katanya berhaji bukan sekedar nama. Tapi tingkahnya bukan?
Tapi orang-orang mempercayaiku tukang khayal.
4/
Kuyakin. Profesi terindah adalah berkhayal, yang dibayar. Tepatnya menjadi tuhannya karangan. Sudah tidak diragukan bahwa ini adalah profesi yang menguntungkan dan menyenangkan. Bahkan super menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pengarang. Ya. Aku bisa menjadi ini-itu sesuka hati.
5/
Entah mengapa masih juga ada yang percaya bahwa aku jujur. Karyaku jujur. Bahkan karyaku adalah sebuah imajenasi yang dipungut dari realitas yang nyata. Itulah anggapan orang-orang. Padahal akulah pengarang. Tukang khayal. Terlebih-lebih ini adalah fiksi. Suatu kebenaran yang bukan kebenaran.
6/
“Apakah kau pengarang?” tanya yang lain.
“Ia. Aku pengarang?”
“Dasar tukang karang. Kamu berdusta.”
“Ia. Tapi karanganku selalu tidak berdusta.”
“Tapi kamu pengarang?”
“Bukan. Aku penyair.”
“Katanya tadi pengarang.”
“Telah kuberi jawaban. Kamu tidak percaya. Ya sudah.”
7/
Ketika beberapa kali kutulis karangan. Aku tersadar. Bahwa hidup adalah karangan Tuhan. Dan aku menjadi tuhan. Ya. orang-orang ingin menjadi tuhan. Termasuk aku tuhan buat karanganku. Dan itu lebih kumengerti ketika membuat novel. Ya. Kutentukan mati-hidupnya. Kutahu persis di halaman berapa ia hidup. Di halaman berapa ia mati. Ya. Kutahu persis alur ceritanya. Kataku, “Jadilah pengarang, supaya kau mengetahui Tuhan.”
8/
Aku serakah. Tapi itulah kerjaanku. Akulah pengarang. Aku bisa menjadi seperti dirimu. Aku bisa saja menikahi orang-orang seamauku. Aku bisa bercumbu rayu dengan orang tercantik; dan itu dikaranganku. Aku bisa menghidupkan orang-orang mati; dan itu dikaranganku. Ia bisa seoalah-olah kuhidupkan dengan ala gayaku. Dan aku tidak harus tertuntut untuk mengarang ini-itu.
9/
Aku akan terus mengarang. Sampai aku tidak tahu. Sampai kapan aku bisa mengarang: sampai bosan aku mengarang. Atau kalau besok mati, aku tidak tahu. Sebab aku adalah bagian dari karangan Tuhan.
10/
“Apa tujuanmu mengarang?” tanya seorang pengarang yang menghampiriku.
“Aku ingin menghibur diri.”
“Jadi, karangan bagimu adalah hiburan?”
“Ia. Aku ingin bekerja sesuai ahliku.”
“Jadi, pengarang adalah keahlianmu.”
“Aku kerap berkhayal. Aku ingin membagi khayalanku.”
“Untuk membagi khayalan? Setiap orang mempunyai khayalan.”
“Tapi setiap orang belum tentu menulis khayalan.”
Ia menertawakan dengan lirih. Sambil memincingkan bibirnya. Dan berkata, “Siapa yang akan membaca khayalanmu? Khayalanmu tipe masa-lalu. Para pengarang juga tahu kedudukannya sebagai pengarang.”
“Aku tidak perduli soal itu. Yang kutahu, aku melakukan apa yang semestinya aku lakukan. Soal itu, biarlah orang menentukan itu. Soal pembaca, ya, terserah kepada mereka mau berkata apa.”
11/
Tapi sekarang. Banyak orang tidak mempercayaiku.Yang lebih aneh lagi, dilingkungan keluargaku. Berulang-ulang ia tidak mempercayaiku. Hanya sang ibu yang percaya kedudukan sebagai pengarang; itu pun percaya melewati tahapan yang tidak sebentar. Yakni, membutuhkan waktu 5 bulan dan aku perlu pergi dulu dari rumah.
Tapi itu, aneh bin ajaibnya. Semakin banyak orang tidak mempercayaiku, semakin kuat kedudukanku, yakni kepengaranganku.
12/
Bahkan orang-orang telah menudingku, “Orang anehlah. Orang miringlah. Orang mbuhlah. Dan lain sebagainya.” Sebab kematian pun malah kutertawakan. Bahkan dalam kematian pun masih juga orang tertawa denganku. Bahkan dalam suasan khusuknya doa, mereka tertawa bersamaku.
Aku membayangkan.
Seperti aku menulis novel; telah menentukan kematian dan kehidupan buat orang-orang yang telah kuberadakan. Seperti itulah Tuhan menentukan kematian dan kehidupan buat orang-orang yang telah diberadakan.
Bisikku lirih. Kematian pun semestinya dikatakan, “Alhamdulillahirabbilngalamin.”
13/
Pahamilah. Aku menjadi pengarang pun tidak serta merta santai. Bahkan super sibuk. Simaklah. Setiap minggu kutargetkan mengirim beberapa naskah ke media-umum penerima karangan. dengan menengggang setiap naskah adalah 2 bulan. Jika dua bulan tidak dimuat, maka akan dipindah tempatkan di media lain. begitu seterusnya. Tapi eksistensi adalah menulis dan menulis karya.
Karena memang, sekarang aku penulis sejati. Maka hari-harinya adalah menulis. Selain itu, menyediakan waktu menanam buku. Naskah yang hendak kujadikan buku. Dengan kata lain, telah menyediakan dua naskah. Yang pertama dipublikasikan lewat surat kabar. Dan yang kedua, bakal dipublikasikan lewat penerbit buku.
Dari penerbit buku pun menunggu lagi. Ya. Menunggu lagi. Hidup memang serba menunggu.
14/
Aku akan terus mengarang. Sampai aku tidak tahu. Sampai kapan aku bisa mengarang: sampai bosan aku mengarang. Atau kalau besok mati, aku tidak tahu. Sebab, aku adalah bagian dari karangan Tuhan.
Sampai siang aku masih duduk bersantai. Berusaha mencari-cari tentang karangan. alasan buat orang-orang yang tidak mempercayaiku. Tapi sudahlah. Ketika kuteliti-teliti rupanya inti dari penjelasan kepengarangan telah jelas. Bahkan melampaui jelas. Ya. Ya. Ya. Semoga mereka percaya. Tapi kalau tidak juga tidak apa. Walau mungkin, hampir 99 % mereka bakal percaya. Percayalah. Mereka bakal mempercayai. Jika karyaku benar-benar melegenda dan orang-orang barulah mengakui: ia adalah pengarang.
Tapi tidak. Istilah pengarang lebih menyiratkan makna tukang-karang: tukang karang berarti bisa dikatakan tukang-tipu. Daripada mengaku diaku pengarang, lebih baik aku mengaku: penyair, toh aku pun membuat syair.
2012
Belum ada Komentar untuk "Profesi Terindah: Pengarang"
Posting Komentar