Merantaikan
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Di siang yang terang. Abu Nurikhasf telah mengumpulkan lembaga pendidikan. Surat edaran yang diberikan kepada lembaga pendidikan memang sangat puitis. Maklum, rakyat telah mengetahui bahwa Abu Nurikhasf adalah pujangga, yang menyukai kata-kata. Apalagi tingkat pendidikannya yang tinggi. Para lembaga pendidikan hanya tergeleng-geleng kepala sembari mengatakan, “Jadi kuliah tinggi-tinggi untuk menjadi lurah. Menjadi kepala desa.” Pokoknya mereka terkejut dengan apa yang dilaksanakan Abu Nurikhasf. Lurah mereka. Tingkat pendidikan yang tinggi adalah oh betapa sulitnya menghindari ajakan Abu Nurikhaf. Apalagi katanya, “Menjadi pemimpin itu berat. tapi kalau tidak ada yang memimpin dan ada yang memimpin tidak sesuai sungguh itu lebih berat.”
Dia, Abu Nurikhasf memang orang yang kontroversial. Bayangkan, kuliah tinggi sampai timur-tengah, sampai eropa adalah untuk menjadi kepala desa. Orang-orang hanya terharu dengan keberadaan Abu Nurikhasf. Sangat terharu dengan apa yang terjadi. Maklum, tatkala ada pencalonan kepala desa, orang-orang betapa minder melawannya. Wal-hasil, dia menang dengan telak. Wal-hasil, tak ada pemilihan. Yang ada adalah ketetapan. Sebabnya, telah digembor-gemborkan.
“Abu nurikhasf ingin menjadi kepala desa.”
“Benarkah?” tanya yang lain.
“Sungguh. Aku pun pada dasarnya kurang percaya.”
“Dia yang sekolah di Mesir kan?”
“Iya.”
“Yang sekolah di eropa?”
“Iya.”
“Masyaallah, menjadi Lurah saja perlu sekolah sampai ke sana.”
Begitulah tanggapan orang-orang kepada Abu Nurikhaf. Tapi tidak dari kalangan keluarganya. Kalangan keluarga telah menyadari, bahwa karakter Abu Nurikhasf memang layak dijadikan pemimpin. Kecerdesan dan keperhatian kepada rakyat adalah tendensi utama menjadi pemimpin. Karakter itu telah ditampakan jauh-jauh hari. Telah tertera jauh-jauh hari. Bayangkan, sekali pun dia telah kuliah, telah mondok bertahun-tahun. Dia masih juga kerap bertanya dalam memulai diskusi, seakan-akan dia benar-benar ingin mendapati jawaban dari orang bertanya. Dari itu, terciptakan dialog yang menarik di antara keduanya. Walau terkadang, Abu Nurikhasf juga menyadari, setiap kali dia meluncurkan sebuah tanya, disaat itu juga dia mendapati jawaban.
Ketika dijujurkan, katanya, “Itulah aku. Bukan berarti aku merendahkan dirimu, bukan. Tapi aku mendapati jawaban yang rimbunnya sangat luar biasa. Itulah kehendak-Nya. Allah menujuki kepada siapa saja yang ingin Dia tunjuki.”
Sekarang, selaku kepala desa, dia mengandeng Lembaga pendidikan untuk memuluskan tujuannya. Mengatakan, “Didiklah mereka seperti anakmu sendiri. Penuh kasih sayang dan perhatian.” Kata Abu Nurikhasf, sembari menciumi anak-anak sekolah yang kira-kira masih kecil. Dan tangannya diciumi anak-anak tatkala dia mengunjungi sekolahan.
Dia, Abu Nurikhasf, memang dimuliakan dunia akhirat. Dimata dunia, beliau begitu dihormati. Mereka begitu menyayangi. Sebabnya, dengan terang Abu Nurikhasf berkata, “Aku merasa terberatkan untuk memikul kalian sendiri. Aku memang tidak harus memikul kalian, tapi sebagai pemimpin: kepada siapa kamu berlindung selain padaku. Begitu juga dengan aku, aku berlindung kepadamu wahai rakyatku. Dan kita, berlindung kepada Allah yang menguasai setiap jiwa.”
Katanya yang begitu menyentak, “Lindungilah aku wahai rakyat-rakyatku. Aku membutuhkan bantuanmu.”
Namun, ketika Abu Nurikhasf telah mengumpulkan lembaga pendidikan. Katanya, “Kuamat-amati, kalian mendidik tidak sepenuh hati. Katanya, kalian mendidik mencari seseran. Aku berusaha mengabaikan itu, tapi, kamu itu guru, guru, kamu bakal dipetanggung jawabkan tentang keguruanmu. Ingatlah, ketika banyak orang yang menghormatimu, itu karena kamu menghormati. Ketika banyak orang yang menasihati, itu karena kamu juga menasihati. Timbal balik seperti itu, sudah biasa. Sangat biasa. Terakhir, aku berharap kalian bisa mendidik mereka seperti anak kalian sendiri. Apakah bisa? Di dunia ini, apa yang tidak bisa.”
Karena di sini, Kampung Abu Nurikhasf, dipatok kampung berlandaskan islam, maka di sini lembaga pendidikan adalah pemicu terhadap hukum-hukum perdanaan. Mereka adalah buah-hati yang digiring menuju Masjid. Tidak hanya mereka. Guru-gurunya juga. Sehingga perlahan-lahan, sekarang, Guru begitu akrab dengan murid-muridnya. Guru menjadi sangat dimuliakan tatkala bertemu di jalan. Tidak dihindari karena sungkan. Tapi murid mendatangi demi mendapati berkahnya.
Ketika dhuhur tiba. Masjid penuh dengan masyarakat. Seluruh elemen masyarakat berbondong-bondong menuju Masjid. Awalnya memang sekedar anak-anak, tapi dari anak-anak terdoronglah orang tua. Terdoronglah mereka yang mengaku-aku sok alim, sok beragama. Terdorong terjun juga menuju jamaah. Islam benar-benar sangat mengena.
Suguhan Abu Nurikhasf, dengan segala kecerdasaannya, dikerahkan menuju keseluruh elemen. Untuk mendorong menggagas teraplikasinya islam, juga makmur rakyatnya. Hal itu, Abu Nurikhasf sangat mendukung dengan memberitahu tentang keahlian apa yang layak untuk rakyatnya. Tidak hanya Abu Nurikhasf, tapi orang-orang yang lain, mendadak saling menasihati tentang kebenaran, tentang cara menuju kesejahteraan.
Sikapnya yang tegas dan ceria, yang bergaul dan memberitahu, membuat rakyat merindukan sekaligus menakutkan. Banyak rakyat yang menakutinya, tapi juga merindukannya. Sebab tegasnya, dia, Abu Nurikhasf, berani memarahi dengan cara mengkritik dan menjelaskan alasannya seterang-terangnya. Sebab, sosialnya yang kuat, dia mengetahui seluk-beluk masalah. Pernah, suatu ketika, orang yang dianggap ahli agama, lalai terhadap tugasnya. Didatangi Abu Nurikhasf, merindinglah dirinya. Ditegur, diberitahu, dan diuraikan sebab-sebab karena kelalaiannya.
Ya, selalu seperti itu tatkala Abu Nurikhasf berkata. Selalu menguraikan sampai ke akar-akarnya. Maklum, dia adalah Doktor Filsafat, dia adalah pemimpin yang ditunggu-tunggu. Merantaikan seluruh rakyat, menjadi rakyat yang padu. Pengetahuan tentang agama, dikaitkan tentang realitas. pengetahuan tengang agama, berupaya keras, merobohkan orang-orang yang ecek-ecek ingin mengutik-utik agama. Sebab, toleransinya, ketika dia berbicara terkait agama, dia juga menyandingkan orang-orang beragama. Sebab, teraplikasikannya kepemimpinnaya, dia dekati orang-orang yang ahli. Termasuk orang yang ahli dalam agama. Sebab, dia juga didukung oleh ahli agama. Tidak saja, ahli agama, tapi seluruh rakyatnya begitu sangat mendukungnya. Sangat mendukungnya.
“Siapa dia?” tanya seorang dari seberang ketika mengunjungi saudaranya.
Dengan bangga sang penjawab berkata, “Dia adalah pemimpin kami. Abu Nurikhasf. Insyaallah, nanti sore kita ke sowan padanya.”
“Sowan!”
“Ya, setiap orang yang menginap di tempat desa kami, dianjurkan sowan kepadanya. Setidaknya, izin kepadanya.”
“Haruskah izin kepadanya?”
“Janganlah seperti kikuk seperti itu. Ketika kita bersamanya, aku yakin, kita betah bersamanya. Tapi aku anjurkan, jangan terlalu lama tatkala berada di rumahnya.”
“Kenapa? Kata-katamu kok tidak tegas seperti itu. Kita betah, tapi tidak dianjurkan lama-lama. Bagaimana!” katanya mengeluh. Agak kecewa.
“itulah cara kami mengorhamati, cara kami meyayangi. Sebab, yang disayangi bukan saja aku, tapi kamu juga bakal disayangi.”
“Benarkah?”
Istri dari penjawab, Budenya, membawa air minum sembari berkata. “Karena, setiap sore juga, dia sempatkan mendatangi lorong demi lorong yang lain. Itulah pemimpin kami. Selalu merangkul kami. Rakyat demi rakyat. Baginya tidak ada beda. Pokoknya, siapa saja yang tinggal di kampung ini, baginya adalah sama. Kita pun dianjurkan seperti itu, perbedaannya adalah takwa.”
“Seperti jalannya Quran saja, Bude.”
“Tidakkah kamu merasakan berjalannya Quran di kampung kami?”
“Aku rasa, memang, dari tadi, aku seperti tidak asing dengan kampung ini. Rupanya, di sini, adalah serat dengan nuansa islami. Masyallah,” katanya terkagum-kagum. Betapa hatinya meledak ingin segera bertemu dengan sosok yang dibicarakan itu. Dialah, Abu Nurikhaf, sosok yang kerap jadi pembicaraan. Pokoknya, setiap orang membicarakan namanya, pasti pembicarannya tidak sekedar pembicaraan. Pembicaraannya tidak sekedar lintasan belaka. tapi mengakar, dan menyertai takjub mengembel-embeli nama Allah dibelakangnya. Kata sang pemimpin. “Percayalah Allah saksi atas segala kejadian.”
Belum ada Komentar untuk "Merantaikan"
Posting Komentar