Mengembara ke Eropa


“Sebenarnya secara diakal-akalkan, bagiku, eropa pun adalah mustahil. Tidak pernah terjangkau di pikiranku sebelumnya, hal ini semacam mimpi nyata buat diriku, tapi, jika aku boleh bertanya, siapa yang memberi mimpi-nyata buatku? Yakni, memimpikan eropa? Bahkan jika boleh berkata, sebenarnya dahulu kala tidak ada kepikiran yang namanya eropa, apalagi berharap sampai ke sana. Toh, pada akhirnya orang-orang akan kembali ke negaranya. Itu telah terbukti dari beberapa orang yang kembali. Tapi siapa yang bisa membendung keinginanku sampai ke sana?”
**

“Mengembara ke eropa!”

“Iya,” jawabku tegas.

“Mustahil!”

“Sebenarnya secara diakal-akalkan, bagiku, eropa pun adalah mustahil. Tidak pernah terjangkau di pikiranku sebelumnya, hal ini semacam mimpi nyata buat diriku, tapi, jika aku boleh bertanya, siapa yang memberi mimpi-nyata buatku? Yakni, memimpikan eropa? Bahkan jika boleh berkata, sebenarnya dahulu kala tidak ada kepikiran yang namanya eropa, apalagi berharap sampai ke sana. Toh, pada akhirnya orang-orang akan kembali ke negaranya. Itu telah terbukti dari beberapa orang yang kembali. Tapi siapa yang bisa membendung keinginanku sampai ke sana?”

“Jangan sombong!” jawabnya sengak, seakan-akan tidak merima bahwa ia akan ke eropa. “Itu baru sekedar angan-anganmu saja. Bukti nyata kamu berada di sini, bersamaku, di sini,” imbuhnya sambil menujukan jarinya ke tanah.

Mendengar itu, Fais pun lidahnya terbujur kaku, seakan-akan beku mengatakan sesuatu, apalagi menyanggah atau mengimbuhi perkataanya. Jelas-jelas ia tidak rela bila aku sampai di negeri eropa, menjelaji negara demi negara, yang hampir kemungkinan besar buku pasport akan terpenuhi sebab memasuki negara lain. Maksudnya, bakal dengan cepat ganti buku bila berada di negara eropa. Bukannya telah kita tahu bahwa benua eropa letak geografisnya adalah berdekatan dengan negara-negara lain. artinya, sedikit sedikit telah berganti kekuasaan. Jadi, sangat maklum, jika keuprekan studyku bakal melancong ke negera-negara lain. Ya, memang, telah kurencanakan sejak hari bahwa kelak akan mendatangi negara-negara lain. jika pun ada yang berkata, “kamu ke eropa ingin study atau jalan-jalan?” tentu, akan kujawab seperti ini,

“Jika menerima apa yang kukatakan, maka jawabanya adalah study serta jalan-jalan.”

Itulah kenyataannya, bahwa telah kurencanakan juga perjalananku adalah bukti belajarku, yang akan kujadikan kenangan pada catatan harianku. Penting diketahui, diaryku adalah catatan perjalanan sekaligus sebagai bahan pembelajaran khususnya terdedikasikan untukku, dan umumnya kelak akan dipublikasikan secara umum, dengan menggambungan kekedua metode penelitian, yakni kualitatif dan kuantitatif. Walau sebenarnya ini agaknya tidak pantas bila dikatakan penelitian, namun tetap tujuanku adalah study, bukannya sejauh ini kita percaya bahwa kita akan menggapai apa yang kita tujukan? Artinya, apa yang diniatkan itulah (kemungkinan besar) akan tersampaikan: sehingga saya tidak penting untuk terbebani dengan apa yang kuingini, karena memang kenyataanku adalah jalan-jalan. Jauh lebih tepatnya, bukannya setiap kita melaksanakan tugas sesuatu selalu berjalan-jalan? artinya menggunakan langkah kaki kita, jadi, salahkah bila dikatakan ini adalah jalan-jalan walau pun jalan-jalan yang dimaksud adalah secara tampakan, tapi siapakah yang mengerti tentang makna tersembunyi dari perkataan ‘jalan-jalan’. kelihatannya memang seperti berdusta, tapi, ‘Dustakah bila kukatakan ‘aku berjalan-jalan’ di eropa?’”

“Lihatlah, siapalah dirimu, Fais! Bahkan pernah kamu kuliah tidak lulus. Alias beling! Maklum saja bila keluargamu tidak percaya,” tambahnya kemudian.

Tapi Fais berusah tenang seperti air laut di dasar seraya dalam hati ia berakta, “Sabar Is, sabar! Hal semacam ini sudah biasa!”

“Bahkan bahasa inggrismu ‘Nol’: bagaimana kamu bisa sampai Eropa?” tambahnya berusaha merontokkan niat Fais. “Sudahlah, jadi petani saja di rumah, atau jadi pedagang, atau kerja apa kek, pokoknya pekerjaan yang kelihatan, jangan sekedar menulis yang belum jelas penghasilannya.”

“Apakah,” rupanya Fais mulai lepas kendali, sehingga ia meneruskah, “Menulis bukan pekerjaan yang jelas penghasilannya? Dan menulis bukan pekerjaan yang jelas, sangat jelas?”

“Memang itu baik, Is, tapi alangkah baiknya kamu membantu pekerjaan saudaramu! Itulah keinginanku.” Jawabnya berusaha adil, dan kemudian mengimbuhi sebagai penjelasan, “kalau saudara repot, bekerjalah bersama-sama. kalau senggang, baru menulis lagi. begitulah keinginanku, Fais!”

Keinginan Fais yang kuat tidak bisa digoyah. Keinginannya adalah menulis. Pikirnya, “Apalagi yang dipusingkan sementara keluarga, orang-tua, setidaknya cukup mampu untuk membiayai kehidupanku. Ya, agaknya memang di rumah aku tidak merasa terberatkan untuk sesuatu, seperti sesuatu yang bekaitan dengan kemayarakatan. Akulah orang yang digiring untuk kebebasan, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. jika pun orangorang berusaha keras mengalihkan keinginanku, itu termasuk orang-orang yang mencintaiku—toh, sejauh ini orang-orang yang menentangku adalah orang-orang terdekatku. Selain itu, tidak ada.

Adalah memang, sepengetahuanku, syarat ke eropa adalah menulis. Kalau bukan menulis, apalagi syarat ke sana—terlebih lagi, telah kutekadkan bahwa bila ke eropa, disana akan kuakarkan ilmuku, yang benar-benar mendapatkan buah dari ilmuku. Ya, tidak sekedar mendapatkan gelar di benua biru tersebut. Niatku, ‘Jika aku ke sana dan mendapatkan penghargaan, berarti itu adalah kebenaran bahwa aku mendapatkan penghargaan, yang bukan sekedar penghargaan, yang benar-benar mengurat dalam setiap pikiranku, dan memang itu kehendak sang kuasa bila menakdirkan,’

Adalah penting dimengerti, bahwa masih kudayakan melancarkan bahasaku, yakni, bahasa yang dipakai eropanan, yakni inggris, dengan cara menterjemahkan buku-buku berbahasa inggris, itulah bagian kecil modal ke eropa. Yang pasti, konsentrasiku sekarang adalah membuat karya. Syukur-syukur kalau itu dapat menghasilkan uang, artinya menambahkan modal melanjutkan study. Mungkin masih lumayan jauh keinginan ke eropa. Tapi, dilarangkah berkeinginan ke eropa?

Kuceritakan sekali lagi:

Telah kurasakan hidup yang tidak mempunyai keingianan. Bahkan dalam benakku tidak ada berkeingian untuk ini-itu, yang kuingini adalah hidup damai, damai, dan damai—sebab segala keuangan tidak ada hambatan. Selalu ada pendapatan dan pendapatan. Bahkan tidak ada pemikiran untuk masa depan, yang adalah adalah sekarang, sekarang, dan sekarang. Begitulah rasa damaiku terjadi.

Namun berbeda dengan sekarang—jauh berbalik dengan apa yang pernah terjadi. Sejak teman sebayaku menyelesaikan sarjana, disitulah baru terdapat keinginan untuk mendapatkan sarjana—begitulah yang terjadi: Aneh, memang.

Tapi dari keanehan tersebut, malah terjadi sebuah keunikan tersendiri, yakni, kejadianku adalah dipermudah dengan bekal pengelaman. Telah menjadi cermin nyata buat kehidupanku—ya, akibat dari sifat malas study dulu, kini menjadi giat berstudy. Terlebih lagi, seenggaknya dahulu kala adalah modal-modal yang tidak disengaja untuk keilmuanku, yakni, ilmu yang berkaitan erat dengan seluruh element masyrakat. Lebih jauh, cermin nyataku adalah mengakar ke seluruh sisi, yakni, bahkan dari apa-apa yang terjadi, seakan-akan menjadikan cermin nyata buat kejadian selanjutnya, hingga mengantarkankan pada sebuah cermin yang begitu dekat, yakni mimpi

Seakan-akan, perlahan-lahan mimpi-mimpi kian terang dan jelas terhadap apa-apa maknanya. Memang padamulanya, kukatakan, bahwa mimpi adalah kembang tidur saja. Namun, lama ke lamaan, mimpi menjadi bunga sekaligus pewanti-wanti, peringatan, hingga petunjuk untuk apa-apa yang bakal terjadi. dan itu terjadi, ketika aku kembali mengaji, khususnya kian menyukai al-quran. Seakan-akan al-quran yang kukaji adalah menjadi petunjuk hidup yang jelas, bahkan, sangking dekatnya, menjadikan pikiranku seakan-akan ingin membuatkan tafsir terhadap surat tersebut, yakni, bagaimana perasaan Nabi mendapati surat-surat tersebut—maksudnya bagaimana dengan hatinya.”

“Tapi mengapa sampai pada tafsir? Apa hubungannya dengan Eropa?” Mendadak aku ingin berkata begitu.

“Jawabnya,” imbuhku, “Keinginanku bukan saja sekedar eropa, tapi juga Jazirah Arab. Mungkin, itu seakan-akan berat bagiku yang nol dengan bahasa: tapi, siapa yang bisa menentang kehendak-Nya bila Dia berkata, “Jadilah”?”

**

Belum ada Komentar untuk "Mengembara ke Eropa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel