Mengembara ke Eropa
Selasa, 24 Januari 2017
Tambah Komentar
“Sebenarnya secara
diakal-akalkan, bagiku, eropa pun adalah mustahil. Tidak pernah
terjangkau di pikiranku sebelumnya, hal ini semacam mimpi nyata buat
diriku, tapi, jika aku boleh bertanya, siapa yang memberi mimpi-nyata
buatku? Yakni, memimpikan eropa? Bahkan jika boleh berkata, sebenarnya
dahulu kala tidak ada kepikiran yang namanya eropa, apalagi berharap
sampai ke sana. Toh, pada akhirnya orang-orang akan kembali ke
negaranya. Itu telah terbukti dari beberapa orang yang kembali. Tapi
siapa yang bisa membendung keinginanku sampai ke sana?”
**
“Mengembara ke eropa!”
“Iya,” jawabku tegas.
“Mustahil!”
“Sebenarnya
secara diakal-akalkan, bagiku, eropa pun adalah mustahil. Tidak pernah
terjangkau di pikiranku sebelumnya, hal ini semacam mimpi nyata buat
diriku, tapi, jika aku boleh bertanya, siapa yang memberi mimpi-nyata
buatku? Yakni, memimpikan eropa? Bahkan jika boleh berkata, sebenarnya
dahulu kala tidak ada kepikiran yang namanya eropa, apalagi berharap
sampai ke sana. Toh, pada akhirnya orang-orang akan kembali ke
negaranya. Itu telah terbukti dari beberapa orang yang kembali. Tapi
siapa yang bisa membendung keinginanku sampai ke sana?”
“Jangan
sombong!” jawabnya sengak, seakan-akan tidak merima bahwa ia akan ke
eropa. “Itu baru sekedar angan-anganmu saja. Bukti nyata kamu berada di
sini, bersamaku, di sini,” imbuhnya sambil menujukan jarinya ke tanah.
Mendengar
itu, Fais pun lidahnya terbujur kaku, seakan-akan beku mengatakan
sesuatu, apalagi menyanggah atau mengimbuhi perkataanya. Jelas-jelas ia
tidak rela bila aku sampai di negeri eropa, menjelaji negara demi
negara, yang hampir kemungkinan besar buku pasport akan terpenuhi sebab
memasuki negara lain. Maksudnya, bakal dengan cepat ganti buku bila
berada di negara eropa. Bukannya telah kita tahu bahwa benua eropa letak
geografisnya adalah berdekatan dengan negara-negara lain. artinya,
sedikit sedikit telah berganti kekuasaan. Jadi, sangat maklum, jika
keuprekan studyku bakal melancong ke negera-negara lain. Ya, memang,
telah kurencanakan sejak hari bahwa kelak akan mendatangi negara-negara
lain. jika pun ada yang berkata, “kamu ke eropa ingin study atau
jalan-jalan?” tentu, akan kujawab seperti ini,
“Jika menerima apa yang kukatakan, maka jawabanya adalah study serta jalan-jalan.”
Itulah
kenyataannya, bahwa telah kurencanakan juga perjalananku adalah bukti
belajarku, yang akan kujadikan kenangan pada catatan harianku. Penting
diketahui, diaryku adalah catatan perjalanan sekaligus sebagai bahan
pembelajaran khususnya terdedikasikan untukku, dan umumnya kelak akan
dipublikasikan secara umum, dengan menggambungan kekedua metode
penelitian, yakni kualitatif dan kuantitatif. Walau sebenarnya ini
agaknya tidak pantas bila dikatakan penelitian, namun tetap tujuanku
adalah study, bukannya sejauh ini kita percaya bahwa kita akan menggapai
apa yang kita tujukan? Artinya, apa yang diniatkan itulah (kemungkinan
besar) akan tersampaikan: sehingga saya tidak penting untuk terbebani
dengan apa yang kuingini, karena memang kenyataanku adalah jalan-jalan.
Jauh lebih tepatnya, bukannya setiap kita melaksanakan tugas sesuatu
selalu berjalan-jalan? artinya menggunakan langkah kaki kita, jadi,
salahkah bila dikatakan ini adalah jalan-jalan walau pun jalan-jalan
yang dimaksud adalah secara tampakan, tapi siapakah yang mengerti
tentang makna tersembunyi dari perkataan ‘jalan-jalan’. kelihatannya
memang seperti berdusta, tapi, ‘Dustakah bila kukatakan ‘aku
berjalan-jalan’ di eropa?’”
“Lihatlah, siapalah
dirimu, Fais! Bahkan pernah kamu kuliah tidak lulus. Alias beling!
Maklum saja bila keluargamu tidak percaya,” tambahnya kemudian.
Tapi Fais berusah tenang seperti air laut di dasar seraya dalam hati ia berakta, “Sabar Is, sabar! Hal semacam ini sudah biasa!”
“Bahkan
bahasa inggrismu ‘Nol’: bagaimana kamu bisa sampai Eropa?” tambahnya
berusaha merontokkan niat Fais. “Sudahlah, jadi petani saja di rumah,
atau jadi pedagang, atau kerja apa kek, pokoknya pekerjaan yang
kelihatan, jangan sekedar menulis yang belum jelas penghasilannya.”
“Apakah,”
rupanya Fais mulai lepas kendali, sehingga ia meneruskah, “Menulis
bukan pekerjaan yang jelas penghasilannya? Dan menulis bukan pekerjaan
yang jelas, sangat jelas?”
“Memang itu baik, Is, tapi
alangkah baiknya kamu membantu pekerjaan saudaramu! Itulah keinginanku.”
Jawabnya berusaha adil, dan kemudian mengimbuhi sebagai penjelasan,
“kalau saudara repot, bekerjalah bersama-sama. kalau senggang, baru
menulis lagi. begitulah keinginanku, Fais!”
Keinginan
Fais yang kuat tidak bisa digoyah. Keinginannya adalah menulis.
Pikirnya, “Apalagi yang dipusingkan sementara keluarga, orang-tua,
setidaknya cukup mampu untuk membiayai kehidupanku. Ya, agaknya memang
di rumah aku tidak merasa terberatkan untuk sesuatu, seperti sesuatu
yang bekaitan dengan kemayarakatan. Akulah orang yang digiring untuk
kebebasan, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. jika pun orangorang
berusaha keras mengalihkan keinginanku, itu termasuk orang-orang yang
mencintaiku—toh, sejauh ini orang-orang yang menentangku adalah
orang-orang terdekatku. Selain itu, tidak ada.
Adalah
memang, sepengetahuanku, syarat ke eropa adalah menulis. Kalau bukan
menulis, apalagi syarat ke sana—terlebih lagi, telah kutekadkan bahwa
bila ke eropa, disana akan kuakarkan ilmuku, yang benar-benar
mendapatkan buah dari ilmuku. Ya, tidak sekedar mendapatkan gelar di
benua biru tersebut. Niatku, ‘Jika aku ke sana dan mendapatkan
penghargaan, berarti itu adalah kebenaran bahwa aku mendapatkan
penghargaan, yang bukan sekedar penghargaan, yang benar-benar mengurat
dalam setiap pikiranku, dan memang itu kehendak sang kuasa bila
menakdirkan,’
Adalah penting dimengerti, bahwa masih
kudayakan melancarkan bahasaku, yakni, bahasa yang dipakai eropanan,
yakni inggris, dengan cara menterjemahkan buku-buku berbahasa inggris,
itulah bagian kecil modal ke eropa. Yang pasti, konsentrasiku sekarang
adalah membuat karya. Syukur-syukur kalau itu dapat menghasilkan uang,
artinya menambahkan modal melanjutkan study. Mungkin masih lumayan jauh
keinginan ke eropa. Tapi, dilarangkah berkeinginan ke eropa?
Kuceritakan sekali lagi:
Telah
kurasakan hidup yang tidak mempunyai keingianan. Bahkan dalam benakku
tidak ada berkeingian untuk ini-itu, yang kuingini adalah hidup damai,
damai, dan damai—sebab segala keuangan tidak ada hambatan. Selalu ada
pendapatan dan pendapatan. Bahkan tidak ada pemikiran untuk masa depan,
yang adalah adalah sekarang, sekarang, dan sekarang. Begitulah rasa
damaiku terjadi.
Namun berbeda dengan sekarang—jauh
berbalik dengan apa yang pernah terjadi. Sejak teman sebayaku
menyelesaikan sarjana, disitulah baru terdapat keinginan untuk
mendapatkan sarjana—begitulah yang terjadi: Aneh, memang.
Tapi
dari keanehan tersebut, malah terjadi sebuah keunikan tersendiri,
yakni, kejadianku adalah dipermudah dengan bekal pengelaman. Telah
menjadi cermin nyata buat kehidupanku—ya, akibat dari sifat malas study
dulu, kini menjadi giat berstudy. Terlebih lagi, seenggaknya dahulu kala
adalah modal-modal yang tidak disengaja untuk keilmuanku, yakni, ilmu
yang berkaitan erat dengan seluruh element masyrakat. Lebih jauh, cermin
nyataku adalah mengakar ke seluruh sisi, yakni, bahkan dari apa-apa
yang terjadi, seakan-akan menjadikan cermin nyata buat kejadian
selanjutnya, hingga mengantarkankan pada sebuah cermin yang begitu
dekat, yakni mimpi
Seakan-akan, perlahan-lahan
mimpi-mimpi kian terang dan jelas terhadap apa-apa maknanya. Memang
padamulanya, kukatakan, bahwa mimpi adalah kembang tidur saja. Namun,
lama ke lamaan, mimpi menjadi bunga sekaligus pewanti-wanti, peringatan,
hingga petunjuk untuk apa-apa yang bakal terjadi. dan itu terjadi,
ketika aku kembali mengaji, khususnya kian menyukai al-quran.
Seakan-akan al-quran yang kukaji adalah menjadi petunjuk hidup yang
jelas, bahkan, sangking dekatnya, menjadikan pikiranku seakan-akan ingin
membuatkan tafsir terhadap surat tersebut, yakni, bagaimana perasaan
Nabi mendapati surat-surat tersebut—maksudnya bagaimana dengan hatinya.”
“Tapi mengapa sampai pada tafsir? Apa hubungannya dengan Eropa?” Mendadak aku ingin berkata begitu.
“Jawabnya,”
imbuhku, “Keinginanku bukan saja sekedar eropa, tapi juga Jazirah Arab.
Mungkin, itu seakan-akan berat bagiku yang nol dengan bahasa: tapi,
siapa yang bisa menentang kehendak-Nya bila Dia berkata, “Jadilah”?”
**
Belum ada Komentar untuk "Mengembara ke Eropa"
Posting Komentar