Eksistensialisme




Paham tentang ada, itulah eksistensialisme. Orang-orang yang mengada, itulah eksistensialisme. Manusia di zaman ini, 2018 masehi, sangat gencarnya dengan eksistensi. Entah itu penampakan foto, penampakan karya, atau apa-pun itu yang itu memarken, yang itu ‘mengadakan’. 



Pada kajian filsafat, paham eksistensialis itu populer sejak abad ke 19, atau kira-kira 1900 masehi. Yang paling mempopulerkan, atau bahkan digadang-gadang Soren Kiekegaard ialah bapak eksistensialisme, alasannya dia berharap tentang kepraktisan –agama, atau pelaksanaan agama (agama di sini ialah nasrani), bahkan lebih jauh dari itu, tentang kemanusiaan itu sendiri, jalinan kemanusiaan, interaksi manusia bersama dengan kemanusiaannya itu sendiri (yakni jasad dan ruhnya). Yang kemudian, diteruskan dan bahkan dilanjutkan, atau jauh lebih populer oleh filsuf jerman, Nietzsche, yang kemudian, Nietzche, tentu saja pemikirannya, disebut bapaknya Postmodern. Alasannya, menentang tentang system yang berlaku, system objektif total, yang kemudian mengarahkan pemikirannya pada agama. Sebabnya lagi, Nietsche sendiri lahir dari kalangan agamawan, dan tentu saja berada dalam lingkungan keagamaan dan keadaan sosial keagamaan. Yang hingga akhirnya, menuliskan karya yang menyatakan: kematian Tuhan, dan dengan kematian tuhan, maka manusia bisa bebas sebebas-bebasnya. Dan dalam kebebasannya itu, pasti ada yang mengusungkannya, dialah yang mengabarkan perihal itu dan mendadani dari kebebasan itu: siapa itu? dialah Zarathustra. Yang dalam ceritanya, Zarathustra adalah nabi dari agama Zoroaster yang ada di Persia dan tidak meninggalkan kitab Suci.



Bersama dengan pemikiran Nietzche mengarang Sabda Zarathustra. Karya tersebut ialah hasil pemikiran Niestzche, yang dalam sekarang itu bergenre: fiksi. Pemikiran yang masuk antara fiksi dan non fiksi. Sebabnya, pola-polanya ialah perjalanan Zarathustra, dan bersamaan dengan itu, maka disana ada ‘tawaran kata-kata’ atau tawaran ‘ajaran’, atau tentang kritik tentang keberadaan. Kritik tentang modern, yang itu sangat-sangat mendewakan rasio, mendewakan akal. sayangnya, tubuh nietzche kalah, tubuh nietzche laksana menjadi biasa saja, dan hidup laksana bukan pada ‘kenyataan’ melainkan pada ‘ketidak-nyataan’: artinya, tidak menjalankan tatanan kehidupan yang normal, yang itu mempunyai istri dan anak-anak dan kemudian menjalin dengan sosial lainya.



Sekali pun begitu, pemikiran Nietzche, yang tentu saja tertuang pada teks-teksnya, tertuang pada tulisannya, menjadi kajian yang banyak dinikmati. Menjadi teks yang itu banyak digemari. Termasuk di Indonesia. di Indonesia, filsuf Jerman ini, agaknya terkenal, agaknya banyak yang ‘terinspirasi’ dengan Nietzche; membaca nietzche, atau bahkan mengkritik beliau, meneliti beliau, di banding dengan filsuf-filsuf lainnya. Tentu saja, yang lebih populer filsuf di Indonesia adalah Karl Mark; alasannya, karena keadaan dunia waktu itu, khusus orang eropa tergerak oleh dasar pemikiran Karl Mark, sebabnya, Karl Mark menyentuh realitas yang kongkrit dan bagaimana cara bertahan, yakni dengan cara kuasa dan ekonomi: dan itu mewabah di penjuru eropa; artinya beraliran realistis, sementara pemikiran Nietzche itu lawannya: idealis. Maka bersamaan dengan itu, aliran idealis juga berkembang, walau pun tidak secepat atau seboming realis. 



Namun akhir-akhir ini, kasus antara realitas dan idelalis, di zaman ini: bertemu, semakin gencar. Maka jadilah eksistensialis. Yang itu sarat dengan individual, dan sarat dengan nilai materi. Itulah potret keadaan sekarang: menekankah tentang eksistensialis. Sekali pun pada dasarnya manusia itu ialah mahluk individualis sekaligus sosial, namun penekanannya jauh lebih kencang di tahun teknologi ini, ditahun persaingan-sains, dan orang-orang laksana dituntut untuk seprofesional menjalani hal itu, dan pemikiran manusia mendadak laksana tertekan oleh keadaan, tertekan dengan tuntutan zaman: maka di saat itu, keagamaan dibutuhkan. Itu sebabnya, di zaman eksistensialis ini, agama semakin marak: umumnya agama sebagai tameng spiritual. Tameng untuk mengontrol pemikiran, tameng untuk mengendalikan perasaan dan bahkan kejiwaan. 



Artinya, bersamaa dengan kemarakannya, maka tentu saja bermunculan situasi ‘keberadaan’ yang lalai esensi. Sebab mengikuti gerak-gerik eksistensi. Dan bersamaan dengan keesensiannya, maka seringkali lalai berkesistensi: disinilah telak godaan orang-orang beragama, yang seakan dipaksa harus kembali ke dasar apa keagamaan itu: artinya mesti kembali tentang dasar keagamaan yang itu: ikhlas dan menerima keberadaan. 



Eksistensi memang sekaranglah perwujudannya, zamannya, namun seringkali orang lalai dengan tujuan eksistensi, hingga kemudian malah memunculkan rasa berbangga diri, rasa pamer, rasa bersaing, padahal semestinya ialah menjadi kewajaran: disinilah agama itu menjadi penting. Disinilah yang kemudian, para agamawan, mempunyai cara untuk lebih ‘fokus’ pada pengetahuan agama, dan lebih hati-hati pada ‘godaan’ yang itu berkaitan dengan kehendak, atau nafsu; yakni keinginan yang melampaui keinginan normalnya. Begitulah coret-coretanku hari ini. Demikian.





2018

Belum ada Komentar untuk " Eksistensialisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel