SURAT BUAT GURU: PERKENALAN DENGAN MARXSIS


hidayat tf_marxsis_surat buat guru


Kau selalu bertanya, apa yang baru dari saya?

Jawabku, Perkenalan dengan Marxisis. Istilah perkenalan yang sebenarnya agak terlambat untuk disebutkan ‘perkenalan’ karena sejak dulu, setidaknya saya pernah membaca, walau selintas-selintas, walau sebenarnya saya kurang memahami apa yang saya baca:

Benar katamu, paham bisa jadi belum-paham, Taufik.

Itulah yang terjadi atas ‘pembacaan’ saya terhadap nama yang tidak-asing bagi manusia-indoensia, Kalr Marx. Buku tentangnya banyak. Bahkan dulu pernah dilarang di Indonesia—itulah sesaat pembacaan saya tentang Partai Komunis Indonesia.

Dan tepatnya, saat ini, saya masih perkenalan, tentu belum banyak mengetahui, apalagi memahami: namun seringkas kata saya menyetujui. Menyetujui dengan sesuatu antara materialisme-idealisme. Dan kedatangan saya bersama dengan surat ini adalah memberitahu, asal-usul pertemuan saya dengan hal itu:

Ketika saya penasaran dengan diri saya (engkau pasti telah menebak, bahwasanya dalam ranah ini, sudah termasuk ranah idealism, yakni percaya kepada sesuatu di dalam dirinya, di dalam idenya) saya mencari asal-usul saya, mencari bagaimana keluarga saya, mencari bagaimana keadaan desa saya sehingga menjadikan saya seperti sekarang ini. mengumpulkan pundi-pundi teks yang mempengaruhi saya, mengumpulkan sesuatu yang menjadikan proses kehidupan saya.

Ternyata, saya berada di lingkungan yang berprinsip begini: bekerja, bekerja dan jangan lupa ibadah.

Ketemunya diksi itu, menjadikan saya gencar berpikir dan langsung mengklaim: bahwa itu adalah ranah-ranah realisme-idealisme. Berhubungan dengan aliran filsafat realism dan filsafat idealime. Bersamaan dengan itu, saya gencar membaca tentang cabang-cabang filsafat realism, saya kejar jalur-jalur idealime: tepat, seperti apa yang terjadi pada saya.

Parahnya lagi, saya tidak bisa komentar apa-pun dari jalur itu, tidak bisa menghelak satu pun dari mereka, sebab bagiku, kajian filsafat realism dan idealism adalah wujud dari akidah dan akhlak islam: aqidah adalah keimanan islam (adalah idealism) dan akhlak adalah keislaman manusia (adalah realism), maka saya lebih gencar mencari tentang aqidah islam, saya gencar membaca tentang fikih keislaman.

Dan filsafat selalu menjadi pisau analisis buat saya. Filsafat selalu menjadi metode bagi saya.

Kemudian saya terjebak pada rutinitas keislaman yang bagi saya tidak sesuai, saya mulai mempertanyakan tentang kefikihan saya, bahkan mempertanyakan tentang manusia-manusia pejalan pengetahuan: karena saya pun membaca filsafat postmodern, membicarakan efek-efek dari postmodern, yang khususnya mempersoalkan tentang keilmuan dan dunia-menjadi-porak-poranda akibat gencarnya filsafat-modern yang lebih mendewakan akal.

Bahkan, saya pun masuk dalam jerat filsafat-modern, lebih mendewakan akal—maksudnya, kajian keislamanku, saya tantang dengan akal dengan mempertanyakan: bagaimana shalatku? Bagaimana teks shalatku? Bagaimana ibadahku? Apakah data-data ibadahku saya mengetahui secara pasti secara data-data keislaman—karena saya mengakji fikih, harusnya tatkala saya mengaji secara benar, maka saya mengetahui dengan pasti data-data yang kukerjakan.

Ternyata, kapasitas otakku, tidak cukup cerdas untuk menghapalkan pengetahuan-islam. kapasitas otakku, bukan terlatih untuk menghapalkan data-data pengetahuan islam, sekali pun dulu saya berada di pondok yang terkenal dengan hapalan dan saya juga menghapal, namun hapalan itu ‘laksana mendadak’ hilang dari diriku. Berbagai alasan terjadi:

Mengapa ilmu itu tidak melekat padaku? Sekedar teks terjalin dalam benakku.

Mengapa saya tidak tergairahkan sungguh untuk melekatkan ilmu padaku?

Mengapa saya tidak tergairahkan sungguh terhadap sesuatu yang disebut ilmu?

Hingga kemudian, saya mencari asal-usul diriku, mencari sekali lagi tentang bagaimana kampungku, melacak ulang tentang bagaimana keislamanku, melacak ulang tentang bagaimana orang-orang menerapkan keislaman di kampong.

Kampong adalah cerminan dari masyarakat besar.

(Itulah yang saya dapatkan dari penyelidikianku terhadap kekampunganku.) segala aktifitas kampong merujuk kepada sesuatu yang lebih besar, yakni kenegaraan, atas nama republik Indonesia. Walau hal itu bermula dari pertanyaan sederhana:

Bagaimana keislaman di desaku sehingga membentuk pola pemikiranku seperti ini?

Bersamaan dengan itu, saya selidiki lebih lanjut tentang bagaimana pola-pikir orang-orang kampungku: saya masih menjadi seperti saya, yakni menyukai bertanya, saya tanyakan orang-orang yang mempunyai kapasitas di ranah keagamaan. Soal waktu tanya, engkau tentu mengetahui, bagaimana saya menyelundupkan kalimat tanya, dimana pun berada, saya bisa bertanya, karena yang saya tanya adalah manusia dan bisa ditanya jikalau bertemu, apalagi sekelas manusia desa: di sawah pun bisa bertanya.

Saya ukur keislaman mereka secara objektif—saya cek, keislaman mereka tentang data-data pengetahuan—ternyata, banyak dari mereka bermodal ‘yakin.’ Yakin tanpa pengetahuan lebih lanjut, dalam hal ini berkaitan dengan data-data pengetahuan. Alasannya, karena alam mendukung untuk melakukan kegiatan. Alam menuntut mereka untuk bekerja secara real. Alam menuntut mereka untuk bertani.

Apakah prinsip mereka? Bekerja, bekerja dan jangan lupa ibadah.

Bersamaan itu, saya terus mencari, sesungguhnya istilah milik siapa? Jreng: Kaum kapitalis dan kaum Pekerja. Bersamaan dengan itu, maka menyambunglah saya dengan sesuatu yang disebut dengan kajian Kalrl Marx.

Tentu, ketika menyebut Kalr Marx, selintas saya teringat Hegel, teori dialektika: karena Karl Mark terpengaruh dengan Hegel, terlebih lagi, Hegel adalah tokoh idealism, tentu saya mengetahui lebih lanjut (walau belum memahami dengan sungguh-sungguh).

Terlebih lagi, saya membatin, “Bagaimana Kapitalis tidak merebak di Indonesia? Lha wong, prinsip dasar, atau keumuman manusia Indonesia adalah pekerja. Alasan utamanya, karena dukungan alam yang memaksa untuk bekerja, dan tentu Kapitalis tidak akan diterima sepenuhnya di Indonesia, karena Indonesia adalah manusia religus. Terlebih lagi, religious di Indonesia di dominasi islam, saya berpikir islam itu beridealisme tinggi namun tidak mengabaikan materi. Itu dulu. ” 
Begitulah perkenalan saya dengan Kalr Marx. Kelak akan saya lerai kelanjutan ‘pengetahuan’ tentang Marksisme dan Islam Indonesia.

__
dan lihatlah, saya telah menulis:
melacak filsafat nusantara
memetakkan filsafat nusantara

Belum ada Komentar untuk " SURAT BUAT GURU: PERKENALAN DENGAN MARXSIS "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel