Tentang Yakin


Taufik, kenanglah orang-orang dulu, di kampungmu, yang mempunyai rasa yakin kepada apa-apa yang diperintahakan gurunya. Gunakanlah rasa yakin itu kepadamu. Jangan biarkan pengetahuan ilmiah, data objektif meruntuhkan rasa yakinmu. Gunakanlah pengetahuan ilmiahmu untuk mengokohkan rasa yakinmu, sehingga engkau menjadi orang yang berkeyakinan kuat. Tidak sekedar yakin, kalau bisa carilah asal-usul mengapa orang-orang bisa seyakin itu terhadap agamanya.

Yakin itu mempunyai system, Taufik. Kenalilah system keyakinan. Bukankah keyakinan yang sejauh ini engkau terima adalah tentang keyakianan yang bersumber kepada agama, jalurnya senantiasa kepada islam, karena kamu juga berada di lingkungan islam. Di ajari pengetahuan agama islam sejak dini, dan engkau melihat orang-orang yang berkeyakinan islam.

Simaklah, murid-murid yang yakin kepada gurunya. Apa sumber dari rasa yakin? Tidak ada sumbernya, kecuali bahwa dia menyakini bahwa Allah maha segalanya, Allah bisa menjadikan apa-apa yang Dia kehendaki. Seringkas itu, Taufik.

Namun jalannya tetap tidak seringkas itu. Saya hantarkan kamu pada sejarah keyakinan itu, Taufik. Sejarah yang sampai kepada dirimu, yang sangat rekat dengan dirimu. Kenalilah, kata yakin itu bersumber dari arab. Seringkas itu, Taufik. Yang melandasi adalah tentang agama islam. Selanjutnya, pokok yang diyakini adalah Allah.

Saya uraikan menurut kronologi yakin yang dimiliki orang-orang di dekat dirimu. Orang-orang yang yakin itu, karena melihat gurunya. Karena mengetahui gurunya. Karena benar-benar percaya kepada gurunya. Maka dia menjalankan perintah-perintah gurunya. Melakukan apa-apa yang diperintahkan gurunya. Tanpa protes tanpa alasan apa-pun. Pokoknya menjalankan apa-apa yang dipertintahkan dari gurunya.

Pada dasarnya, apa yang diajarkan gurunya itu? Yang diajarkan adalah hal-hal biasa, yakni membaca Al-quran, dan mengkaji cara-cara ibadah layaknya shalat, wudhu, dan menerangkan kebaikan-kebaikan dari sudut pandang islam.

Selanjutnya, penerima ‘yakin’ itu, si murid, bukanlah orang-orang yang mau muluk-muluk terhadap keagamaan. Dia menjalani keagamaan dengan mudah dan renyah: menjalankan ibadah, namun tidak lupa bekerja. Seringkas itu, Taufik.

Lamat-lamat, waktu, mengajarkan untuk menjadi ilmiah dan harus berbukti. Pengaruh pendidikan tentang keilmiahan itu, perlahan-lahan melunturkan ‘rasa yakin’ yang semula adalah hal yang biasa itu. Ketika murid mulai mempersoalkan tentang keyakinan itu sendiri, maka secara otomatis ‘rasa yakin’ itu mulai bergeser kepada hal keraguan.

Jika ragu sudah berada dalam diri, maka dia sudah pasti dia akan bertanya-bertanya dan bertanya: tepat seperti dirimu, kau bertanya-bertanya dan bertanya, yang sebenarnya dari pertanyaaanmu itu malah mengeruhkan dirimu. Malah semakin membingungkan dirimu. Padahal hal yakin itu sederhana, tatkala mulai diobejektifkan, maka hal yakin itu tidaklah menjadi sederhana.

Hal yakin akan menyeretmu ke lintasan sejarah yang panjang.

Menyeretmu ke diksi-diksi tentang keyakinan.

Menyeretmu ke teks-teks asal-usul yakin.

Menyeretmu belajar kepada keyakinan.

Padahal rasa-yakin itu ringkas: saya yakin, sudah. Namun karena diterus-teruskan, maka yakin itu memudar. Dan kenanglah, mengapa orang-orang dulu mempunyai rasa yakin yang tinggi, karena mereka tercukupkan materi.

Kecukupan materi adalah syarat penting, Taufik. Kalau mereka cukup dengan materi, maka mereka tidak harus mengungulkan kepada rasa yakin. Rasa yakin dan materi, itu berbeda jalannya. Kalau bekerja, maka harus bekerja. Kalau ibadah, maka harus ibadah. Kalau lapar raga, maka harus makan: materi. Kalau lapar jiwa, maka harus makan: rasa yakin.

Kenalilah, rasa yakin, tidak harus disibukkan dengan teks-teks keagamaan.

Rasa yakin bisa menggunakan bahasa manapun, tanpa terikat bahasa.

Bahasa adalah alat untuk komunikasi, Taufik.

Bahasa adalah penampakan terhadap apa yang diyakini.

Itulah mengapa rasa yakin tetap kokoh sebagaimana yakin itu sendiri? Apakah bahasa yakin harus menggunakan bahasa arab? Menggunakan bahasa jawa? Bahasa Indonesia? Bahasa lainnya?

Bahasa itu untuk mempermudah yang diyakini, namun bahasa tetap menjadi alat: dan kamu, jangan terjebak dengan status kebahasaan, kalaulah engkau tidak bisa, belajar. kalau belum bisa, jangan paksakan. Bedakan, rasa yakin dan kajian bahasa. Bedakan! Sebab rasa yakin bisa diterima dengan bahasa apa-pun, khususnya bahasa yang menyelimuti dirimu. 
 
Sekarang, apakah kau yakin denganku?

Belum ada Komentar untuk "Tentang Yakin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel