Keadaan Zaman Sekarang Penjelamaan Negara
Selasa, 06 Februari 2018
Tambah Komentar
Keadaan sekarang telah menjelma Negara demi Negara, sekali pun banyak umat islam di dalamnya, namun tetap saja, keperkelompokan itu menamai diri menjadi kelas-kelas Negara; jika dulu, ada sebuah masa yang itu berorientsikan tentang kerajaan, sekarang tinggal beberapa yang masih menganut model kerajaan, sebut saja, kerajaan Arab Saudi; selain itu, telah menjadi kelas-kelas Negara, dan orientasi umumnya ialah mengikuti era globalisasi; era kapitalisme.
Isu tentang khalifah, bagi zaman sekarang, sekalipun telah ditudingkan ‘manusia menjadi manusia jahiliyah’ tetap saja, tudingan itu bakal menjadi seperti itu, sebab untuk mendirikan kekhalifahan sangatlah sulit, sulit sekali, bila pun ada; maka yang ada, ialah peperangan dan peperangan; yang itu bertujuan keras untuk menjalani aksi yang berjalan, perang. Perang menggunakan alat-alat modern, perang menggunakan kecangihan-kecangihan sains. Hal itu, telah terpicu oleh perang dunia ke 1 dan perang dunia yang ke 2; efek-efek kuatnya, ialah tentang gaya kekuasaan. Bahasa Nietzche, kehendak berkuasa; yang di dalamnya, tentu tentang ashabiyah, tentang kekeluargaan, tentang suku, tentang ras tentang yang diunggulkan, dan orang-orang lemah bakal menjadi kacung-kacung atau budak-budak untuk menuruti keinginan atau kehenadak manusia berkuasa. Itu sebabnya, seringkali Nietzche—saya lupa secara pasti tentang yang dia katakan—manusia itu telah sangat-sangat menjadi manusiawi, sampai-sampai lalai bahwa dirinya menjadi manusia, sampai-sampai manusia-manusia itu membunuh tuhan. Tuhan laksana tidak ada.
Hal itu, tentu saja, berefek dari teokrasi—orientasi pemikiran di Abad Pertengahan yang melandaskan agama sebagia pacuan—yang kemudian orang-orang berusaha bangkit dari keterpurukan, dan hal itu, lebih-lebih semakin menjadi ketika islam mulai menyentuh eropa, menyentuh spanyol; sebab agama islam menyukai juga tentang keilmuan, menghendaki juga tentang kerukunan, tentang kasih sayang, hanya, saja, titik tekan mulai dari kanjeng nabi Muhammad, menghendaki bahwa kepemimpinan selalu disandarkan kepada Tuhan; para pemimpinnya selalu ingat dengan Tuhan.
Para pemimpinnya, bukan orang-orang yang mudah terbawa oleh hawa-nasfu (nafsu ingin memiliki, nafsu ingin bersenang-senang lebih; nafsu tentang pamer, nafsu persombongan diri) itu sebabnya, nabi Muhammad menjadi orang yang sangat menerima tentang pola hidupnya, tentang kesederhanaan hidupnya; tidak muluk-muluk, tidak berlebihan. Lebih-lebih status geografi sayang mendukung, yakni arab (tepatnya mekah); andaikata beliau berada di Indonesia, yang itu kaya raya terhadap alamnya, air yang mengalir dari sungai ke sungai, dari gunung ke daratan, sumur-sumur yang melimpah, pohon-pohon tumbuh dengan lebatnya, maka pastilah gaya atau rumah kanjeng nabi tidak bakalan menjadi gaya yang itu mampu menjadi sederhana. Sederhana-sederhananya, pastilah ada ukuran kayu (entah itu kayu yang bagus, atau kayu yang lama, lama sekali; kayu anteb, kayu tua, kayu berkelas). Artinya, ada kesempatan untuk menampilkan estetika (keindahan seni) pada dirinya.
Selain itu, pola pekerjaannya, tentu bakal menjadi tukang demi tukang; entah tukang kayu, atau tukang tanam rempah-rempah, atau tukang-tukang yang lain. maksud saya menyampaikan kanjeng nabi ialah beliau menjadi panutan untuk hal yang dijadikan cermin, namun tidak keseluruhan atau ketotalan, sebab realitasnya berbeda dengan yang lain. kondisi masyarakatnya berbeda dengan kondisi masyarakat yang lain; agama mungkin bisa saja menyentuh dinding-dinding hati manusia Indonesia, namun jika manusia Indonesia mengikuti total perihal kanjeng nabi Muhammad, maka disana bukanlah menjadi manusia Indonesia melainkan menjadi manusia arab; itu sebabnya harus ada perbedaan antara manusia Indonesia dan manusia arab. artinya, jika kebiasan-kebiasaan manusia Indonesia, seperti hal-halnya tanam menanam, olah kayu, olah alam, lalu diajak untuk perpolitikan atau bergaya untuk peperangan, atau masuk tataran politik, lebih-lebih jika dilibatkan pada poltiik islam, maka bisa jadi, ‘islam’ menjadi alat untuk perpolitikan. ‘agama’ menjadi alat alih-alih untuk berkuasa, dan di saat itulah, penggiringan manusia menjadi non-manusia, artinya manusia laksana diubah untuk melampaui kemanusiaannya.
Kembali lagi soal isu khalifah, sebagaimana khalifah-khalifah yang ada di jazirah arab; atau potret tentang kekuasaan di era kanjeng nabi Muhammad:
Zaman sekarang telah terjadi kenegaraan demi kenegaraan, perpolitikan demi perpolitikan, partai demi partai, dan system-system yang tersusun rapi yang berorientasi terhadpa materi, orientasi terhadap nilai-materi. Nilai keberadaan. Nilai penampakaan. Nilai pengujungan. Nilai perpameran. Dan sarat dengan keakuan, atau sarat dengan individualisme; atau tentang keperkeluargaan, itulah zaman sekarang, yang mana kebutuhan kehidupan berkaitan erat dengan nilai-nilai materi, hal itu di dukung oleh dukungan sains, penciptaan sains, dan kehendak manusia untuk memudahkan manusianya itu sendiri.
Lantas, baiknya perpolitikan itu bagaimana?
Jawabku, pembenahan diri terhadap ‘para politik’ itu sendiri. Itulah kesemestianya. Itulah keharusannya. Setiap individu haru membenahi diri sendiri. Itulah prosesnya, itulah ketukan kesadarannya. Kalau tanpa itu, maka akan teramat sulit untuk digerakann; apalagi gerakan seluruh ketotalan. Memang, jawabanku masih terkesan abstrak dan tidak jelas, belum terang benderang, namun ketika saya timbang-timbang; upaya yang terjadi di zaman seperti ini; ya, kita memang penting membangkitkan agama sekali lagi.
Mempertanyakan kemapanan agama, dan tujuan manusia itu berada. Serta, setiap individu mulai mempertanya tetang hal-hal yang telah mapan itu—maksudku, mulai pengktifan kembali dialektika; yang itu mampunya terjadi pada aliran kiri, artinya oposisi dari system yang terjadi.
Dan peran Kiai Sayyid Qutb, ialah menjadi isu untuk kekiriannya, oposisi dari system yang terjadi, berusaha melawan, namun terkalahkan. Kataku, mungkin belum saatnya agama itu bangkit, Pak Yai. Belum saatnya, agama mampu memangi struktur pola kehidupan yang menyeluruh ini, Pak Yai. Atau, entahlah, pada akhirnya saya berusaha untuk lebih mengintropeksi diri; itulah tugasku, Pak Yai.
Belum ada Komentar untuk " Keadaan Zaman Sekarang Penjelamaan Negara "
Posting Komentar