Bahasa Itu Alat
Senin, 26 Februari 2018
Tambah Komentar
Saya masih teringat kalimat ini, bahasa itu alat, kata Ibnu Khaldun pada mukadimahnya. Dan saya menerapkan itu dalam pemikiranku, mungkin sejak dulu, bahwa bahasa itu alat, maka digunakan sebagai alat. Namanya juga sebagai alat. Namun sekarang, mendadak kebahasaan itu bagiku, mendadak seperti momok dan bahkan menjadi sesuatu yang dihidup, bahwa manusia itu sangat-sangat membutuhkan bahasa. Sekali pun sebenarnya memang benar, bahwa manusia itu sangat-sangat membutuhkan bahasa. Namun tekanan di zaman seperti sekarang ini, kebutuhan akan bahasa semakin lebih meninggi, sebab keadaan zaman telah menjadi keadaan global, maka tuntutan bahasa menjadi bahasa global; yakni ukuran internasional. Dan manusia di zaman seperti sekarang, aku dan aku-aku yang lain, tertuntut untuk penguasaan bahasa internasional, bersamaan itu, secara realitas harus menggunakan bahasa ibu, bahasa nasional. Katanya, jika ingin melatih bahasa intenasional harus menerapkan itu pada kesehariannya, dan lebih intens berkaitan menggunakan bahasa internasional: oleh karena itu, setiap hari harus menggunakan bahasa internasional itu, sebab tujuannya untuk menjadi kaum internasional.
Dan pembicaraan saya di sini, sebenanrya membicarakan tentang pelajaran filsafat, yang itu bersibuk pada filsafat analitik, yang itu bersibuk pada bahasa. Bahasa menjadi sesuatu yang sangat komplit, dan ribet, bahkan sampai-sampai ditinjau secara filosofis, dan para pengkaji itu mengkaji cara-kerja dan bermunculan dasar-dasar bahasa yang kemudian mempengaruhi watak-watak, atau bahkan pola kerja bahasa pada pikiran dan berefek pada realitas. begitulah kajian filsafat analitik. Yang kali ini, saya mulai agak sibuk dengan istilah filsafat strukturalisme.
Tujuan kesibukanku sebenarnya, berusaha untuk memahami filsafat secara utuh. Maka harus banyak membaca. membaca yang itu lewat teks. sementara itu, kajian yang saya baca berkaitan antara teks dan konteks. Antara teks (Tertulis) dan yang tidak tertulis (lisan). Sementara kajian saya, dengna cara menerjemahkan (mengalihkan dari bahasa inggris ke bahasa Indonesia, dan itu pun menggunakan softwhere penerjemahan): bersamaan dengan itu, maka saya membaca teks-teks yang serampangan, susunan kalimat yang tidka jelas, dan bahkan masih dalam bahasa aslinya, sebab ada kata yang tidak mampu terjemahkan oleh ‘softwhere’ terjemahan; sebabnya, dikenai tambahan.
Proses saya menerjemahkan ialah, pertama adanya teks yang diterjemahkan. Lalu di masukkan ke sofwhere penerjemah. Dan perlahan-lahan saya membaca terjemahan yang sudah diterjemahkan.
Wal-hasil, saya temui tentnag keacakan makna, dan intinya saya berusaha menemukan ketidak-sisteman pemikiranku unutk membaca ketidaksisteman dan didalam itu terdapat upaya: seni memahami, tujuan memahami rangkaian bahasa.
Mengapa saya memilih bahasa inggris? Atau bentuk dokumen pdf: jawabannya sederhana, karena itu berbentuk buku. Buku yang dijadikan PDF. Maka saya membaca itu, selain itu, saya perlu memahami secara ‘sempurna’ tentang filsafat, itu sebabnya cara belajar saya menerjemahkan itu.
Bersamaan dengan proses menerjemahkan, maka disana terjadi proses membaca. membaca dalam arti, menyusun teks, menyusun paragaf dan mengamati teks-teks, bahkan dua kali atau bahkan lebih dari tiga kali; yang pasti membaca. sebab, ternyata juga, saya kurang ‘tergairahkan’ untuk membaca; membaca secara ketotalan, yang itu bahwa teks menjadi sesuatu yang aku butuhkan. Posisi pemikiranku belum seperti itu. belum mampu diriku membutuhkan teks. yang ada, ‘kedayaan’ untuk dilatih membutuhkan teks. dan proses ini, sarat-sarat dengan keberbahasaan.
Sekali pun seperti itu, saya tetap terpikirkan, bahwa bahasa adalah alat. Alat untuk mencapai sesuatu. Kehidupan itu tidak hanya sekedar alat atau upyek pada bahasa; lebih-lebih bagi kaum agama islam, bahasa itu bukanlah yang paling utama, sekali pun pengetahuan bahasa itu sangat-sangat dibutuhkan karena agam islam sarat akan kebahasaan; namun untuk menjalankan keislaman yang utama ialah meralitaskan keislaman, meralitaskan dari bahasa menuju fakta. Seperti halnya era kanjeng nabi Muhammad, bahwasanya ‘wahyu’ adalah alat untuk berjalan; pemimbing untuk melangkah, arah untuk dijalankan. Dijalankan secara fakta, yang itu berlandaskan: kamu harus percaya kepada-Nya secara fakta, dan menjalankan secara fakta.
Hal itu semakin terdukung olehku, yang mana berasal dari orang desa, yang itu berpikir praktis dan realistis. yang itu intinya bekerja, bekerja dan jangan lupa ibadah. ibadah itu tidak harus ‘pandai-pandai’ melainkan kalau bisa menerapkan apa yang kau ketahui lalu kau menerapkan, teori adalah pendukung tentang apa yang kau lakukan, kalau kau tidak mampu: biarlah Kiaimu. Kalau tidak mempunyai kiai, maka pastilah ada yang namanya pengurus agama. Kalau tidak ada, yang pasti tunaikan hak-hak agama, kalau terlalu berat, yang pasti melakukan kebaikan. Sudah rumus sederhana: jalankan kebaikan.
Di zaman yang sarat denga kebahasaan dan sibuk dengan logosentrisme, maka semakin jarang orang menunaikan kebaikan, apalagi berada di kota, yang ada ialah tumbuh kecurigaan, begitulah watak dari manusia di era sibuk keberbahasaan. Selain itu, tentu saja, mereka pandai berbahasa dan pandai memainkan bahasa: begitulah keadaan di zaman seperti. Mereka pandai retorika, pandai menyusun kata-kata, namun lalai menjalankan apa yang dikatakan, lalai menunaikan apa yang diujarkan, itulah keadaan zaman seperti sekarang ini. hal itu juga tercermin juga di tubuh keislaman, islam seperti dirimu juga, Taufik, agaknya engkau mengetahui banyak hal namun engkau tidka menjalankan, kurang menjalankan dan kurang menerapkan apa yang kau ketahui; yang lama-lama, pengetahuanmu tidak terujikan pada sosial, dan akhirnya kau tidak pandai berbicara, jadilah kau tidak ahli untuk bercermah, sekali pun kau mempunyai dasar ilmu keagamaan. Namun karena jarang berkata-kata, jadilah kau kurang memahami soal bagaimana berceramah. Padahal, itu tentang olah-kata, olah-bahasa, Taufik. soal rasa? Di zaman seperti ini, orang jarang sekali menggunakan hal itu, kecuali pada kejadian-kejadian non formal seperti halnya tariqoh, maka rasa masih digunakan, rasa masih diunggulkan.
Yang pasti, didalam pemikiranmu, masih menyongkol, bahasa adalah alat. Namun, sekali pun alat, alat itu harus berfungsi dengan baik dan harus diasah, bahasamu, Taufik, jangan berkarat, dan harus tajam tentunya. Caranya, di asah, dan digunakan. Demikian.
2018
Belum ada Komentar untuk "Bahasa Itu Alat"
Posting Komentar