Memikirkan Sayyid Qutb, Memikirkan Diri Sendiri
Jumat, 02 Februari 2018
Tambah Komentar
Satu judul yang diberikan oleh guruku (tepatnya, saya yang meminta judul) menjadikan diriku harus berketat kuat pada seluruh diriku; ya, seluruh diriku, seakan judul itu suatu ‘ketepatan’ yang tepat pada diriku, yang teruntuk untukku, lebih-lebih, anjurannya ialah analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan sayyid Qutb. Suatu pandangan kenegaraan yang dikenal dengan istilah global Negara islam. ringkasnya itu, keinginan Sayyid Qutb untuk mendirikan Negara Islam, yang bertujuan untuk memberikan ‘gebrakan’ atau semangat umat muslim, karena masa khalifah pada waktu itu ‘hancur’ atau hangus.
Suatu proses kejadian yang berlalu (Potret Sejarah) umat islam mengalami kemunduran, yang itu didasari oleh perlahan-lahan kolonialisme bangsa barat, yang bersamaan dengan itu mengusai pasar, menguasai ekonomi, maka manusia muslim, bersamaan dengan itu, kekuataan kerajan demi kerajaan melemah. Bersamaan dengan keperlemahan itu, atau kegoncangan umat muslim yang terjajah, begitu juga yang terjadi di nusantara, --setidaknya keberadaan Kiai Sayyid Qutb itu agak-agak sejajaran dengan era-era Kiai Cokroaminoto, yang itu mendirikan Sarekat Islam di Nusantara—mulai menentukan arah yang baru untuk melepaskan penjajahan. Setelah itu, setelah proses hilangnya penjajahan, maka berupaya untuk mengarahkan bagaimana islam kemudian; yakni islam yang menjadi politik, islam memegang kekuasaan.
Seperti halnya yang ada di Nusantara, issue tentang berdirinya Negara-islam (penyebutan yang mudah untuk disebutkan, dengan menawarkan piagam Jakarta, yang itu menyerupai piagam madinah) di gagaskan, namun faktanya, pada akhirnya, keputusan itu jatuh untuk mengiktui filsafat pancasila; yang mana, sering dan banyak di artikan, bahwa filsafat pancasila itu menyamai maksud dan tujuan dari piagam madinah. Walau pun ada perbedaan yang deras dan pokok: yakni, jika madinah, di era kanjeng nabi Muhammad, islam itu menjadi ‘kekuatan’ pokok utama, sementara pada pancasila, melakukan itu secara umum. Diambil secara keumumanan. Artinya, islam bukan menjadi pokok utama sebagaimana di madinah. Hal itu pun terjadi dan mampu terjadi, karena berbedanya latar-belakang yang terjadi: jika kanjeng nabi Muhammad itu, orang-orang yang ada di Yastrib telah menunggu kedatangan nabi, sementara di Nusantara, telah terjadi pergejolakan penjajahan yang disana sudah terjadi pembauran budaya-budaya dan kegiatan manusia. Maka hasilnya, berdirinya negera islam, tidak terlaksana secara pokok, namun berada dalam kandungannya, berada pada eksistensinya, sebagia bukti kongkretnya, bukankah presiden Indonesia tidak pernah selain islam? bukankah betapa hebohnya kasus Pak Ahok waktu itu? itulah berada dalam kandungan Negara yang tidak terpokokkan akan agama islam. sebab, mayoritas umat yang ada di Indonesia ialah agama islam. alih-alih kemayoritasan itu menjadi kuasa, walau tidak berkuasa secara utuh.
Dan di era kiai Sayyid Qutb, menghendaki kekuasaan itu secara utuh; sekali pun, menurut pembacaan saya, terhadap teks-teks yang berhubungan dengan Sayyid Qutb, kekuasaan yang itu secara utuh ialah kekuasaan muslim, artinya si muslim itu mendirikan kelompok atas nama kemuslimanannya, yang bersamaan itu, pembesaran organisasi kemusliman. Hingga kemudian, dengan tulisan-tulisan atau karya-karya Sayyid Qutb, yang terpublikasikan—selain itu beliau juga pemimpin organisasi masa; ikhwanul muslimin— beliau semakin memfokuskan kemanusiaan dengan penyebutan manusia-muslim, yang sering dikenal dengan manusia muslim atau manusia jahiliyah. Bersamaan dengan itu, maka jika pilihannya manusia-muslim, maka si manusia muslim harus mempunyai kekuasaan; tujuan dari mempunyai kekuasaan yakni mengatur manusia yang itu dengan hukum allah. beliau juga mengetahui, tentang rajutan kehidupan yang telah menjadi seperti ini—keterpengaruhan dengan barat, dan kapitalisme--; itulah sebabnya beliau megatakan bahwa manusia di zaman ini sudah sangat terpengerahui oleh materialism dan individualis, itu sebabnya harus disatukan; dan cara menyatukannya dengan islam; yang disana ada undang-undang, ada peraturan, yang bersamaan dengan akhlak, yang dengan itu jadilah ‘budaya’ yakni budaya islam.
Begitulah uraian singkat tentang kiai sayyid qutb, namun saya tidak hanya berhenti sampai di situ; saya mencari lebih jauh tentang kiai sayyid qutb; pemikiran saya seakan sibuk sekali dengan kiai sayyid qutb, padahal tugas yang diemban buatku berkelas strata satu, sekedar skripsi, namun mendadak menjadi sesuatu yang menarik dan unik. Alasannya:
Saya sendiri seorang penyair, seorang sastrawan—walau pun syair-syair saya gadungan, walaupun sastra-sastra saya jarang dipublikasikan secara umum keculi pada blog pribadi--, dan saya juga berada dalam lingkungan islam, dan berkesibukan pada al-quran, sibuk pada al-quran dalam arti menyukai al-quran. Focus utamaku al-quran, sekali pun tidak focus-fokus amat, paling mentok tentang tajwid dan berupaya untuk menghafalkan—itu pun sekarang, menghafal terasa payah, karena pemikiran saya sudah sangat awut-awutan dan berbaur dengan masyarakat—. Ditambah lagi memikirkan judul tentang analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan sayyid qutb.
Pikirku, “memikirkan diri sendiri saya payah. Artinya, menjalankan keislaman diri sendiri payah. Mempertahankan diri untuk menjadi selayaknya manusia saya payah, apalagi memikirkan sekelas Negara. Lebih jauh, ketika membaca manusia mulim ala sayyid qutb: ah memikirkan muslimku sendiri payah, menjadi taat saja payah, bukankah islam itu pada dasarnya untuk diri individu itu sendiri.”
Lh0… lho… kok sampai ke situ. Ya sudahlah, inilah uraian kesekian dari memikirkan kiai sayyid qutb.
Belum ada Komentar untuk " Memikirkan Sayyid Qutb, Memikirkan Diri Sendiri "
Posting Komentar