Ontology Menjalinkan Fakta
Selasa, 27 Februari 2018
Tambah Komentar
Kau berusaha untuk menerapkan data-pengetahuan itu di dalam pemikiranmu, Taufik, data pengetahuan yang itu membaca sejarah kelas dunia, mulai dunia klasik di era sebelum masehi, lalu abad pertengahan, abad modern dan abad postmodern. Kemudian kau berusaha membaca itu menurut konsentrasi pemikiran manusia, dan hal itu mampu terjadi karena kau mengkaji filsafat, yang itu membaca kedalaman sejarah: kau melihat rangkaian konsentrasi pemikiran mulai kosmosentris, teosentris, antrposentris dan logosentris.
Dan status dirimu ialah pada masa logosentris, dan orang-orang yang ada di desamu, juga di negaramu, Indonesia, juga sebenarnya pada status logosentrisme. Hanya saja, durasi waktu, pola-pola kemasyarakatannya tertinggal dari bangsa barat, yakni eropa. Mereka-mereka sudah sibuk pada pengetahuan, sibuk pada data-data, sibuk pada technology, sibuk pada permesinan, sementara keadaan dirimu, keadaan desamu, keadaan negerimu, masih sibuk berkaitan dengan kedamaian pangan.
Kerjaannya secara tradisional dan kurang modern, bila pun ada kemoderenan, sekedar mengikuti pola-pola orang kota yang datang ke desa lalu membawa perubahan menjadikan desa ‘agak’ kota. Lalu di saat internet menyerang desa, atau technology semakin melesat cepat, orang-orang mulai sibuk dengan ‘keindividuannya’ dan persis mementingkan keadaan materi, yakni berhubungan dengan kerja, kerja dan kerja. Kehidupan menjadi seperti itu, dan kau melihat: hal seperti itu terkesan seperti sesuatu yang aneh. Seperti sesuatu yang bukan saling menyaling, melainkan sesuatu yang berupaya mengkayakan ‘kelompoknya’ dan kelompok lain sekedar menuruti kelompok itu.
Artinya lagi, kau melihat hal itu dari sudut pandang bahwa ekonomi mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Dan yang kau lihat itu, potret kehidupan yang ada di desamu, potret kehidupan yang ada di desa, dimana orang-orang sekarang menjadi pedagang dan berlomba-lomba untuk menjadi pedagang.
Padahal kau sendiri, adalah anak dari pedagang. Namun, sepertinya pemikiranmu menyangkal hal itu; kehidupan orang tuamu ialah perdagang dan disisi lain adalah pertanian. Namun, ketika semua menjadi seperti orangtuamu yang itu berdagang, mendadak pemikiranku terkacaukan, karena orang-orang semakin bersaing dengan perdagangannya, lebih-lebih, gaya sekarang orang berdagang ialah membuka toko demi toko yang ada di rumah; dan orang-orang manjalani kehidupan yang itu sarat dengan nilai pertokohan.
Kau kau mungkin mengharapkan kerja sama antara umat manusia yang ada di desa dengan backgrone pertanian: padahal keluargamu, mayoritas, ialah pedagang. Yang menjual sesuatu. Yang memutarkan sesuatu. Dan ketika keluargamu itu menjadi semakin banyak dan itu serba perdagangan, kau laksana terkejut dengan hal itu; padahal keluargamu ialah para pedagang. Anak dari pedagang dan anak dari pertanian: yang mana, sampai sekarang, saudari-saudarimu jarang ke sawah untuk bertani. Hal itu juga tercermin dari ibumu, yang jarang ke sawah dan ke sawah adalah baru-baru ini. begitu juga denganmu.
Denganmu yang telah melakukan perjalanan intelektual (kalau layak dikatakan intelektual) atau lebih tepatnya, perjalanan ilmiah, yang pada dasarnya ialah menentang system secara diam-diam, karena kau tidak menemukan ‘gairah’ untuk melakukan sesuatu, sebab pada dasarnya, yang kau tangkap itu ialah kehidupan laksana tekanan satu kepada yang lain, kehidupan laksana saingan satu sama lain dan tidak menjalin kerja sama. Padahal sebenarnya sejak awal proses kehidupan memang begitu; saling bersaing dengan satu sama lain, untuk mempertahankan ‘kebedaraannnya’, untuk menjalani ‘keberadaannya.’ dan dirimu, yang disokong oleh harta-orang tuamu, tidak melihat secara langsung bagaimana proses mendapatkan ‘harta’, yakni dari pertanian dan perdagangan; dan tidak menjajal bagaimana ‘rasa-rasa’ yang membayangi hal tersebut. sehingga, kau laksana mengabaikan ‘statusmu’, yang seharusnya kau menyelesaikan itu, dan menjalani kehidupan praktis dari gelarmu. Yang selanjutnya mempunyai kedudukan di mata maysarakat dan menjalani kehidupan praktis sebagaimana yang lainnya.
Namun takdir berkata lain. takdir yang itu juga pada pemikiranmu, tidak terpuaskan dengan hal-hal yang fakta, dan pemikiranmu semakinn ‘menghelak’ kepada yang nyata kecuali professional, dan professional yang kau tanamkan di dalam pikiranmu ialah sempurna, sementara perjalanan waktumu tidak seperti itu. kau digiring terhadap suatu tujuan, bahwa hidupmu laksana tidak mempunyai tujuan. Lalu kau mencari-cari itu: sesungguhnya tujuan keberadaan ini apa? Dan kau payah menjalani realitas, laksana tidak tepat pada realitas, dan hingga pada akhirnya, kau memilih mengejar realtias yang lain, yakni realitas kata-kata. realitas dalam dunia kata. kau menulis, dan seakan-akan itu menjadi indah, dan menjadi sesuatu yang layak, dan seakan disana tidak ada persaingan, padahal di sana sarat dengn nilai-nilai persaingan. Saat kau melihat seperti itu, kau luruh sekali lagi pada kepenulisan. Hingga pada akhirnya, nilai tulismu tidak layak jual kecuali mencari keberadaanmu sendiri. Mencari tujuanmu sendiri.
Tidak ada jalan lain kecuali filsafat, itu sebabnya kau memasuki dunia filsafat. Kau kuliah dunia filsafat. Kau melihat rangkaian sejarah demi sejarah, pembacaan demi pembacaan, dan faktamu, kau laksana menentang terhadap fakta yang ada; system pada perkuliahan, akhirnya kau jarang kuliah. Alasannya, karena dikelas kurang mendapati kesemangatan terhadap keperkuliahan, karena teman-temanmu, ialah orang-orang dasar. Dahulu kala, di Jawa, kau bertemu dengan orang-orang kelas ekstensi, sekarang kau berada di kelas regular. Tentu saja, perbedaan jauh pertemuan orang-orangnya, Taufik, termasuk pola pemikirannya, Taufik.
Lebih-lebih, kau terus saja gencar menulis. Hingga akhirnya, perjalanan waktu semakin memuncak, dan tekanan pada realitas semakin menekan dirimu. Dirimu perlahan-lahan menua, dan teman-temanmu sudah mempunyai kedudukan, dan mempunyai nilai dimata masyarakat, sementara dirimu, masih sibuk mencari keberadaan, mencari keakuan, dan dirimu mulai bertemu dengan orang-orang didesamu, alasannya, kau agak taat menjalankan keperibadahan, dan hal itu didukung karena kau semakin intens mengaji, dan hatimu laksana didorong untuk menjalankan pengetahuanmu; bersamaan dengan itu ilmu filsafatmu semakin hidup, dan status keperkuliahanmu tidak kelar-kelar juga, sementara itu, data-penangkapan kefilsafatanmu belum sempurna, dan lagi-lagi, kau belum menemukan dirimu secara penuh terhadap apa yang kau cari. Saat kau menyelesaikan proses pencarian, dan menjalani keterimaan, lalu kau ditekan yang lain, yakni fakta realitas yang mendayakan dirimu harus menyelesaikan kuliahmu dan pekerjaan yang layak buatmu.
Pertanian kemudian laksana menjadi perkerjaan yang puncak bagimu, dan kau persis menyerah terhadap tingkatan idealism itu, kau menyatakan diri: untuk mendapatkan bahagia kembali ke kampung dan menjalani kerja sebagaimana orang kampung. Setidaknya kau terpotretkan terhadap Kiai kampung tempo dulu.
Saat kau mencari tentang kiai kampung tempo dulu, seketika, pengetahuan sejarahmu, menyusup dan turut serta untuk menjadi satu: paham. Maka disaat itulah kau mulai semakin membaca tentang NU, Muhammadiyah, Sarekat Islam dan organisasi islam lainnya, di tautkan dengan sejarah nusantara dan segala macam kronik tentang sejarah nusantara, lalu digandeng dengan sejarah islam dan pemikiran islam: alasannya gampang, karena kau lahir dari tubuh islam, dan menjalankan tradisi keislaman. yang kemudian, kau tertautkan pada sejarah filsafat dan rangkaian periode-periode filsafat, sebabnya karena kau pelajar filsafat: bersamaan dengan itu, maka kau melihat sekali lagi kehidupanmu sarat dengan kekurangan dan sangat terkurangkan, sementara itu pemikiranmu sudah merajut-rajut tentang sejarah, dan kau ditekan untuk hidup realitas dan kau berkumpul dengan orang-orang realitas yang mempunyai tradisi realitas praktis, yakni di kampungmu dan teman-teman kuliahmu.
Begitulah keberadaan faktamu, realitasmu. Artinya, kau memang lebih lama pada dan berusaha keluar dari ide, realitas, namun sayang kau masih menjalin dengan realitas yang lain; artinya dirimu belum tenang menjalani realitas. oleh karena itu, saran pratisnya: selesaikanlah sesuatu yang itu ada di depan matamu, yakni tekanan jalinan realitasmu itu, yakni system kuliahmu. Dapatkan gelarmu, itulah kendalamu.
Dan status dirimu ialah pada masa logosentris, dan orang-orang yang ada di desamu, juga di negaramu, Indonesia, juga sebenarnya pada status logosentrisme. Hanya saja, durasi waktu, pola-pola kemasyarakatannya tertinggal dari bangsa barat, yakni eropa. Mereka-mereka sudah sibuk pada pengetahuan, sibuk pada data-data, sibuk pada technology, sibuk pada permesinan, sementara keadaan dirimu, keadaan desamu, keadaan negerimu, masih sibuk berkaitan dengan kedamaian pangan.
Kerjaannya secara tradisional dan kurang modern, bila pun ada kemoderenan, sekedar mengikuti pola-pola orang kota yang datang ke desa lalu membawa perubahan menjadikan desa ‘agak’ kota. Lalu di saat internet menyerang desa, atau technology semakin melesat cepat, orang-orang mulai sibuk dengan ‘keindividuannya’ dan persis mementingkan keadaan materi, yakni berhubungan dengan kerja, kerja dan kerja. Kehidupan menjadi seperti itu, dan kau melihat: hal seperti itu terkesan seperti sesuatu yang aneh. Seperti sesuatu yang bukan saling menyaling, melainkan sesuatu yang berupaya mengkayakan ‘kelompoknya’ dan kelompok lain sekedar menuruti kelompok itu.
Artinya lagi, kau melihat hal itu dari sudut pandang bahwa ekonomi mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Dan yang kau lihat itu, potret kehidupan yang ada di desamu, potret kehidupan yang ada di desa, dimana orang-orang sekarang menjadi pedagang dan berlomba-lomba untuk menjadi pedagang.
Padahal kau sendiri, adalah anak dari pedagang. Namun, sepertinya pemikiranmu menyangkal hal itu; kehidupan orang tuamu ialah perdagang dan disisi lain adalah pertanian. Namun, ketika semua menjadi seperti orangtuamu yang itu berdagang, mendadak pemikiranku terkacaukan, karena orang-orang semakin bersaing dengan perdagangannya, lebih-lebih, gaya sekarang orang berdagang ialah membuka toko demi toko yang ada di rumah; dan orang-orang manjalani kehidupan yang itu sarat dengan nilai pertokohan.
Kau kau mungkin mengharapkan kerja sama antara umat manusia yang ada di desa dengan backgrone pertanian: padahal keluargamu, mayoritas, ialah pedagang. Yang menjual sesuatu. Yang memutarkan sesuatu. Dan ketika keluargamu itu menjadi semakin banyak dan itu serba perdagangan, kau laksana terkejut dengan hal itu; padahal keluargamu ialah para pedagang. Anak dari pedagang dan anak dari pertanian: yang mana, sampai sekarang, saudari-saudarimu jarang ke sawah untuk bertani. Hal itu juga tercermin dari ibumu, yang jarang ke sawah dan ke sawah adalah baru-baru ini. begitu juga denganmu.
Denganmu yang telah melakukan perjalanan intelektual (kalau layak dikatakan intelektual) atau lebih tepatnya, perjalanan ilmiah, yang pada dasarnya ialah menentang system secara diam-diam, karena kau tidak menemukan ‘gairah’ untuk melakukan sesuatu, sebab pada dasarnya, yang kau tangkap itu ialah kehidupan laksana tekanan satu kepada yang lain, kehidupan laksana saingan satu sama lain dan tidak menjalin kerja sama. Padahal sebenarnya sejak awal proses kehidupan memang begitu; saling bersaing dengan satu sama lain, untuk mempertahankan ‘kebedaraannnya’, untuk menjalani ‘keberadaannya.’ dan dirimu, yang disokong oleh harta-orang tuamu, tidak melihat secara langsung bagaimana proses mendapatkan ‘harta’, yakni dari pertanian dan perdagangan; dan tidak menjajal bagaimana ‘rasa-rasa’ yang membayangi hal tersebut. sehingga, kau laksana mengabaikan ‘statusmu’, yang seharusnya kau menyelesaikan itu, dan menjalani kehidupan praktis dari gelarmu. Yang selanjutnya mempunyai kedudukan di mata maysarakat dan menjalani kehidupan praktis sebagaimana yang lainnya.
Namun takdir berkata lain. takdir yang itu juga pada pemikiranmu, tidak terpuaskan dengan hal-hal yang fakta, dan pemikiranmu semakinn ‘menghelak’ kepada yang nyata kecuali professional, dan professional yang kau tanamkan di dalam pikiranmu ialah sempurna, sementara perjalanan waktumu tidak seperti itu. kau digiring terhadap suatu tujuan, bahwa hidupmu laksana tidak mempunyai tujuan. Lalu kau mencari-cari itu: sesungguhnya tujuan keberadaan ini apa? Dan kau payah menjalani realitas, laksana tidak tepat pada realitas, dan hingga pada akhirnya, kau memilih mengejar realtias yang lain, yakni realitas kata-kata. realitas dalam dunia kata. kau menulis, dan seakan-akan itu menjadi indah, dan menjadi sesuatu yang layak, dan seakan disana tidak ada persaingan, padahal di sana sarat dengn nilai-nilai persaingan. Saat kau melihat seperti itu, kau luruh sekali lagi pada kepenulisan. Hingga pada akhirnya, nilai tulismu tidak layak jual kecuali mencari keberadaanmu sendiri. Mencari tujuanmu sendiri.
Tidak ada jalan lain kecuali filsafat, itu sebabnya kau memasuki dunia filsafat. Kau kuliah dunia filsafat. Kau melihat rangkaian sejarah demi sejarah, pembacaan demi pembacaan, dan faktamu, kau laksana menentang terhadap fakta yang ada; system pada perkuliahan, akhirnya kau jarang kuliah. Alasannya, karena dikelas kurang mendapati kesemangatan terhadap keperkuliahan, karena teman-temanmu, ialah orang-orang dasar. Dahulu kala, di Jawa, kau bertemu dengan orang-orang kelas ekstensi, sekarang kau berada di kelas regular. Tentu saja, perbedaan jauh pertemuan orang-orangnya, Taufik, termasuk pola pemikirannya, Taufik.
Lebih-lebih, kau terus saja gencar menulis. Hingga akhirnya, perjalanan waktu semakin memuncak, dan tekanan pada realitas semakin menekan dirimu. Dirimu perlahan-lahan menua, dan teman-temanmu sudah mempunyai kedudukan, dan mempunyai nilai dimata masyarakat, sementara dirimu, masih sibuk mencari keberadaan, mencari keakuan, dan dirimu mulai bertemu dengan orang-orang didesamu, alasannya, kau agak taat menjalankan keperibadahan, dan hal itu didukung karena kau semakin intens mengaji, dan hatimu laksana didorong untuk menjalankan pengetahuanmu; bersamaan dengan itu ilmu filsafatmu semakin hidup, dan status keperkuliahanmu tidak kelar-kelar juga, sementara itu, data-penangkapan kefilsafatanmu belum sempurna, dan lagi-lagi, kau belum menemukan dirimu secara penuh terhadap apa yang kau cari. Saat kau menyelesaikan proses pencarian, dan menjalani keterimaan, lalu kau ditekan yang lain, yakni fakta realitas yang mendayakan dirimu harus menyelesaikan kuliahmu dan pekerjaan yang layak buatmu.
Pertanian kemudian laksana menjadi perkerjaan yang puncak bagimu, dan kau persis menyerah terhadap tingkatan idealism itu, kau menyatakan diri: untuk mendapatkan bahagia kembali ke kampung dan menjalani kerja sebagaimana orang kampung. Setidaknya kau terpotretkan terhadap Kiai kampung tempo dulu.
Saat kau mencari tentang kiai kampung tempo dulu, seketika, pengetahuan sejarahmu, menyusup dan turut serta untuk menjadi satu: paham. Maka disaat itulah kau mulai semakin membaca tentang NU, Muhammadiyah, Sarekat Islam dan organisasi islam lainnya, di tautkan dengan sejarah nusantara dan segala macam kronik tentang sejarah nusantara, lalu digandeng dengan sejarah islam dan pemikiran islam: alasannya gampang, karena kau lahir dari tubuh islam, dan menjalankan tradisi keislaman. yang kemudian, kau tertautkan pada sejarah filsafat dan rangkaian periode-periode filsafat, sebabnya karena kau pelajar filsafat: bersamaan dengan itu, maka kau melihat sekali lagi kehidupanmu sarat dengan kekurangan dan sangat terkurangkan, sementara itu pemikiranmu sudah merajut-rajut tentang sejarah, dan kau ditekan untuk hidup realitas dan kau berkumpul dengan orang-orang realitas yang mempunyai tradisi realitas praktis, yakni di kampungmu dan teman-teman kuliahmu.
Begitulah keberadaan faktamu, realitasmu. Artinya, kau memang lebih lama pada dan berusaha keluar dari ide, realitas, namun sayang kau masih menjalin dengan realitas yang lain; artinya dirimu belum tenang menjalani realitas. oleh karena itu, saran pratisnya: selesaikanlah sesuatu yang itu ada di depan matamu, yakni tekanan jalinan realitasmu itu, yakni system kuliahmu. Dapatkan gelarmu, itulah kendalamu.
Belum ada Komentar untuk " Ontology Menjalinkan Fakta"
Posting Komentar