Kritik Supranasional Sayyid Qutb
Kamis, 08 Februari 2018
Tambah Komentar
Apakah ketika itu mekah langsung berubah drastic menjadi suatu kelompok yang disebut kerajaan, sementara tawaran dari agama ialah bentuk kesatuan manusia, yang mempunyai tujuan sama; dan manusia menuntut untuk keadilan dan rasa kehidupan, yang enggan di tipu, tanpa ada perbedaan ras, tanpa ada perbedaan tahta, yang membedakan manusia untuk Allah ialah takwa (surat al-quran); sementara itu, di mekah sarat dengan perbedaan status, ras, pangkat, yang kaya dan yang miskin.
Jika dilibatkan dalam struktur yang ada, gaya perpolitikan (gaya perkotaan) yang mana di sana; peran manusia telah menjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota, yang tujuannya menjadi bekal atau mencari nafkah, yang disana mengikuti pola-pola system perkotaan, mengikuti pola-pola kehidupan yang ada. jika dimasukkan untuk persamaan atas nama agama, maka tentu saja, laksana pemutusan realitas dan mengalihkan diri untuk menjadi kaum yang beragama. dan alih-alih menjadi aliran yang terfokus kepada agama.
Pekerjaan atau, system-system yang berlaku ialah tentang sesuatu yang kurang berarti; yang dititik utamanya ialah tentang agama. Sementara di arab, waktu itu, system yang terjadi ialah system perkeluargaan, kabilah, yang dalam arti ikatan keperkeluargaan; yang mana yang ‘diserang’
utamanya ialah para keluarga, yang kemudian hingga pada akhirnya system keluarga itu, menjadi system yang besar yang diikat juga dengan agama. Sementara di mesir, telah terjadi percampuran antara pendatang dan perkeluargaan; yang itu tidak menjadi secara total. Artinya, ketika system kekeluargaan di mekah, dengan adanya nabi Muhammad, maka system keluarga itu, diarahkan pada tujuan kebersamaan yang lebih besar dan mempunyai tujuan yang tunggal, yakni kepada Allah semata.
Maksud saya, sekali pun awal-awal dakwah nabi itu tidak ditunjukan untuk ‘keperkeluargaan’ artinya disasarkan kepada manusia, namun tetap saja ikatan darah itu tidak hilang; bekas-bekas realitas tidak hilang.
Bekas-bekas realitas itu masih menjadi, julukan-julukan itu pun masih terjadi, hanya saja, pemimpin mereka, Rasullallah menjadi gelar istimewa. Itu sebabnya ibnu khaldun mengatakan, bahwa kekuatan agama itu bakal kuat kalau terjadi solidaritas, dan solidaritas bakal terjadi kuat, kalau ada ikatan keluarga di tambah dengan tujuan yang tunggal, yakni kepada Allah.
Maka kehendak untuk menjadikan era seperti era kanjeng nabi Muhammad, yang itu beralaskan wahyu dan sunah, di zaman setelahnya bakal tetap saja berbeda dengan apa yang ditawarkan kanjeng nabi; sebab manusia telah membentuk kelompok demi kelompok, manusia telah menjalin satu sama lain, hingga akhirnya, agama menjadi sekedar agama dan politik pun bisa diatur yang itu berpedoman kepada agama. Tidak harus agama menjadi satu kesatuan yang utuh. Perkataan ‘tidak harus’ bukan berarti tidak memungkinkan untuk diupayakan, melainkan setelah diupayakan bakal terjadi kepayahan.
Jika pun harus diterapkan, maka yang terjadi, harus ada peperangan yang tujuannya tentang kekuasaan agama dan bersamaan dengan itu, harus ada pemimpin yang bertujuan keras untuk menyerahkan seluruh pola-kehidupan kepada Allah.
Dan hal itu pernah di jajal oleh peran-peran khalifah setelah kanjeng nabi Muhammad meninggal; malah bahkan setelah kanjeng nabi Muhammad meninggal, beberapa tahun kemudian, terjadi konflik dari dalam diri umat-islam sendiri. Hal itu bisa dibaca menurut potret sejarah peradaban islam, hingga pada akhirnya, terjadilah penyempitan kekuasaan atas nama khalifah, bergeser menjadi dinasti-dinasti; yang tentu saja, itu semua berdasarkan juga pada apa-apa yang kanjeng nabi Muhammad tawarkan, menjadi kehidupan yang itu bersandar kepada Allah, hukum Allah, aturan Allah. namun fakta terjadi, bahwa hingga kemudian, kekuasaan islam menyempit, karena ajaran islam disisi lain didakwakan (disebarkan) dengan jalan yang lain, atau menjadi kerajaan; sturktur kerajaan yang menguasai wilayahnya, terbatas pada wilayahnya, tidak lagi menjadi secara total sebagaimana peran khalifah, karena terlalu luas jangkauan keislaman dan perbedaan karakter khas kemanusiaan; artinya perbedaan dari watak manusianya, dari lingkungan yang mempengaruhi, dari bahasa yang menyertai, dan sejarah realitas yang berbeda. Seperti halnya kerajaan Mongol di India, kerajaan Usmaniyah di Turki, dan kerajaan-kerajaan islam di Nusantara. Mereka mempunyai kekuasaan masing-masing dan mempunyai aturan masing-masing, yang tetap bersandarkan pada agama sebagai patok untuk ukurannya.
Memutuskan Budaya-Budaya Dan Focus Pada Budaya Islam
Kehendak yang ditawarkan kiai Sayyid Qutb, berharap kehidupan manusia yang itu berada dalam naungan al-quran, dan berupaya untuk memutuskan kebudayaan yang itu bukan berasal dari hukum Allah, sebagaimana era kanjeng nabi Muhammad, yang tidak menerima kebudayaan yang lain, seperti Persia, Yunani, Mesir; melainkan kebudyaan islam tulen, yang itu menyebarkan tauhid atau mengesakan Allah taala.
Namun penting diingat, bahwa di era nabi Muhammad pun, tidak terburu untuk melangsungkan kekuasaan kepada seluruh semesta (misalnya di yerusalem) untuk mengikuti agamanya, melainkan dengan cara semodel obat-nyamuk, model melingkar-lingkar, artinya ketika lingkungan terkecil terkalahkan barulah melebar kepada kelompok. Hal itu sering disebutkan cara berdakwa, yang awalnya secara sembunyi-sembunyi kemudian dakwah yang keluar. Hingga kemudian seluruh daerah mekah, dan bersamaan dengan itu, maka orang-orang beragama yang beribadah di mekah, turut serta mengetahui ‘apa-apa yang disampaikan’ kanjeng nabi Muhammad, karena apa yang ditawarkan kanjeng nabi muhamad mengikuti model-model sebelumnya (mengikuti nabi sebelumnya) maka bersamaan dengan itu, keberadaan agama islam di kenal di penjuru orang-orang yang mengikuti sariat nabi.
Sekali pun begitu, nabi Muhammad tidak begitu gegabah untuk meluaskan kekuasaan menuju daerah-daerah yang pernah mencicipi rasa keagamaan para nabi, melainkan focus pada lingkungannya terlebih dulu; ketika kekuataannya semakin besar, maka disaat itulah kanjeng nabi mulai melebarkan kekuasaannya, hal itu pun lebih-lebih tercapai pada saat pemerintahan islam dipegang oleh khalifah Umar Bin Khatab, yang mana secara watak, ialah pendekar dan orang yang gagah berani; maka peran pemimpin tentu saja mempengaruhi apa yang dipimpin; bukankah pada selanjutnya, kekuasaan atas nama islam tidak seluas kekuasaan umar bin khatab.
Awalnya memang memutuskan budaya-budaya yang ada dan terfokus pada nabi, yang itu ada wahyu dari Allah. namun perjalanan waktu, bakal selalu maju, yang mana ketidakhadiran nabi Muhammad, menjadi sesuatu yang baru; ketidakhadiran Nabi Muhammad menjadikan dua sumber. Yakni Wahyu dan Sunah. Dua sumber, tentu saja telah menggejala, telah memberian sesuatu kelonggaran tersendiri buat umat islam, terlebih lagi, kekuasaan islam semakin meluas.
Di satu sisi ada tentara, di sisi lain ada pengajaran keagamaan. Dan tentu saja, di sisi lain mulai tercampurnya ‘budaya-budaya’ yang dikuasai oleh islam. percampuran budaya, yang awalnya sedikit, sedikit sekali, kemudian, berjalannya waktu bakal menjadi besar. Lebih-lebih, bahasa yang digunakan manusia tidak semuanya berbahasa arab. tentu saja terjadi perbedaan yang drastic terhadapa pemikiran manusia itu sendiri.
Di Nusantara, yang mana bahasanya bukan bahasa arab, saat teradakan agama islam, maka harus menggunakan bahasa arab, dan lebih-lebih harus memahami bahasa arab; dan tentu saja, di situ adanya proses untuk memahami, yakni belajar, tidak seketika harus mengerti, tidak seketika harus jes bahasa arab. ada proses translate bahasa.
Namun kalau ditinjau secara menyeluruh, maka sebenarnya harapan Kiai Sayyid Qubt, ialah berusaha melepaskan belenggu dari cengkraman kebudayaan barat yang mewabah kaum muslim, tidak hanya di Mesir, melainkan di seluruh negeri, termasuk Nusantara, yang dicengkram oleh kebudayaan barat, dan mengarahkan proses kemanusiaan menjadi materialistic hal itu karena budaya barat yang pada waktu itu menguasai mengusai negeri-negeri. Kesahalan itu terjadi, ada pada umat islam sendiri, yang kurang ‘mementingkan’ terhadap materi, sehingga ketika ‘materi’ ditawarkan, umat muslim menjadi kemilik terhadap materi. Maka bersamaan dengan itu Kiai Sayyid Qutb menghendaki bahwa adanya persatuan umat muslim untuk perlawanan terhadap struktur yang dikuasai oleh barat; dengan cara mengoreksi ulang tentang kemusliman, maka di saat itu, al-quran menjadi kabar gembira bagi umat islam, dan al-quran menjadi petunjuk untuk langkah-langkah umat islam; syaratnya, harus menjadi kekuasaan yang itu terfokus menjadi satu, yang tujuannya untuk ‘merebut’ kekuasaan yang dikuasai oleh barat.
Di saat itu, ketika menengok nusantara, maka pada akhirnya kekuasaan dari bangsa barat, eropa, perlahan-lahan mundur, karena bersamaan dengan itu adanya ‘perlawanan’ dari manusia nusantara sendiri, juga status perang dunia 2 yang mengakibatkan eropa harus mundur, kemudian di gantikan oleh jepang; hingga akhirnya, percaturan politik di penjuru dunia menjadi percaturan era-era nasional, kebangkitan nasional, yang ternyata menyisahkan ‘kebudayaan’ barat, yakni kapitalisme. Penguasaan pasar, yang tetap terjadi, dan bahkan sampai sekarang. Hanya saja, tidak terlihat secara fakta terhadap pergerakan kapitalisme itu. dan kehendak kiai sayyid qutb, ialah merubah mindset-itu menjadi gerakan keislaman secara total, sehingga terjadi pemerataan umat manusia, terjadi kesamaan umat manusia; yang kaya, maka bakal membagikan kepada yang miskin, dan saling menyaling, dan itu diatur oleh manusia-manusi yang unggul, yakni manusia yang beriman kepada Allah, bahwa semua adalah milik-Nya, dan sangat perduli dengan umat-Nya untuk mencapai kebenaran. Kebenaran yang ditawarkan Allah, melalui firman-firman-Nya dan sunah kanjeng nabi Muhammad.
Belum ada Komentar untuk "Kritik Supranasional Sayyid Qutb"
Posting Komentar