Referensi Dan Tersistem
Senin, 12 Februari 2018
Tambah Komentar
Sekarang, mind-set pemikiranku, yang ada laksana ditekan untuk mengungkapkan apa-pun itu secara sistematis dan mempunyai referensi. Terlebih khusus terkesan seperti sistematis, yakni laksana dituntut mempunyai latar belakang masalah, rumusan masalah, dan metodenya: begitulah aturan menulis. Sekali pun sebenarnya, sejak dulu saya ‘mengetahui’ begitu, aturan menulis begitu, namun kali ini, mind-set pemikiranku dianjurkan untuk tersistem dan terkesan laksana ilmiah, yang mempunyai objektifitas secara empiris dan data-data yang jelas.
Di sisi yang lain, pemikiran saya, laksana protes.
Agaknya, pemikiran saya yang lain itu, menantang dengan hipotesis seperti ini: banyak orang yang pandai mengungkapkan kata-kata, banyak orang yang pandai berbicara, namun jarang menjalankan apa-apa yang dipandainya, apa yang dibicarakan. Itulah dasar pertama.
Kedua, banyak data-data, banyak tulisan, yang sarat dengan nilai-nilai pengutipan. Agaknya terkesan mudah, padahal sebenarnya untuk mengendalikan mendapatkan ‘kesisteman’ itu membutuhkan proses; lebih-lebih tentang pengetahuan. Banyak orang yang mendatakan, atau mengkata-katakan, namun tidak benar-benar memahami dengan sungguh apa yang diadakan, lebih-lebih pengaruhnya terhadap realitas, terhadap kenyataan.
Namun sekarang, diriku: laksana tertekan untuk menulis yang itu tersistematis dan sangat-sangat berurutan dan membuat deskripsi sebagaimana data-data yang telah ada. sambil menyertakan referensi demi referensi. Bersamaan dengan itu, maka saya jadi teringat islam: kematian epistemologis.
Sebuah istilah yang lupa darimana, sebuah istilah yang itu issue-issue postmodern: pemikiran di era postmodern. Yang pasti, sekarang, saya menyampaikan begitulah gerakan pemikiranku, gerak-gerik penangkapakanku:
Mendadak semuanya seakan-akan harus ditinjau yang itu secara menyeluruh dan secara mendalam, hingga pada akhirnya diriku mendadak laksana tersunyikan untuk berbicara, sebab pembicaraan di era informasi seperi sekarang ini, sekedaran belaka: laksana kurang bernilai. Efek baiknya—bila pun ini dikatakan efek baik—saya semakin menjalani realitas secara praktis, walaupun sesekali pemikiranku laksana dituntut untuk mengetahui banyak hal, dan pemikiranku masih mengajak untuk berlama-lama pada idealis. Yakni sesuatu yang dicita-citakan. Atau bahasa lainnya, sebuah fakta-imajenasi. Kurang menerima fakta yang terjadi, dan menghadapi masalah yang terang benderang di depan mata. Sebab disatu sisi masih ada congkolan ‘kehendak untuk berkuasa’: agaknya, kehendak berkuasa itu ialah kewajaran dari manusia.
bahwasanya tiap-tiap diri berkehendak untuk mengusai satu sama lain, yang tujuan utamanya: keselamatan dirinya, yang kemudian bertujuan untuk kebahagiaan plus kesejahteraan. Dan bisa jadi, bersamaan dengan keberkuasaan maka kesibukannya ialah berkata dan berpikir, sekedaran menjadi itu: kemana-mana berbicara dan menularkan kata-kata, lalai dengan fakta-fakta yang harus dijalani dan menjadi tuntutannya.
Sebagaimana pemikiran filsuf abad 20, semacam Martin Heideger, atau pun Soren Kiekegaard, bahwa manusia mulai lalai dengan keberadaannya. begitu juga yang diungkapkan pemikir islam, Sayyid Husein Nasr, manusia lalai akan keberadaannya.
Dan sekarang, saya semakin menerima tentang keberadaanku. Sarat akan kekurangan, dan sarat akan keperkecilan, dan sarat akan kebodohan plus sarat akan kemalasan, dan bahkan sarat akan pemotresan. Protes terhdap fakta-fakta yang terjadi. protes yang tidak terungkap, protes yang tidak dikeluarkan: akhirnya menggumpal di dalam pemikiranku, dan kemudian jadilah fantasi-fantasi didalam pemikiranku, dan bersamaan dengan itu, maka muncullah tulisan-tulisanku.
Yang sekarang model tulisanku, mendadak tertekan berkaitan dengan kesisteman. Ini baik bagi pemikiranku, karena model pemikiranku diarahkan pada sistematis . sebab itu tersistem, maka dibutuhkan referensi demi referensi. Maka bersamaan itu, ternyata aku menemukan bahwa sebenarnya saya tidak semaniak itu pada pembacaan. Tidak sekencang itu membutuhkan data demi data. Oh itulah kabar gerakan pemikiranku.
Di sisi yang lain, pemikiran saya, laksana protes.
Agaknya, pemikiran saya yang lain itu, menantang dengan hipotesis seperti ini: banyak orang yang pandai mengungkapkan kata-kata, banyak orang yang pandai berbicara, namun jarang menjalankan apa-apa yang dipandainya, apa yang dibicarakan. Itulah dasar pertama.
Kedua, banyak data-data, banyak tulisan, yang sarat dengan nilai-nilai pengutipan. Agaknya terkesan mudah, padahal sebenarnya untuk mengendalikan mendapatkan ‘kesisteman’ itu membutuhkan proses; lebih-lebih tentang pengetahuan. Banyak orang yang mendatakan, atau mengkata-katakan, namun tidak benar-benar memahami dengan sungguh apa yang diadakan, lebih-lebih pengaruhnya terhadap realitas, terhadap kenyataan.
Namun sekarang, diriku: laksana tertekan untuk menulis yang itu tersistematis dan sangat-sangat berurutan dan membuat deskripsi sebagaimana data-data yang telah ada. sambil menyertakan referensi demi referensi. Bersamaan dengan itu, maka saya jadi teringat islam: kematian epistemologis.
Sebuah istilah yang lupa darimana, sebuah istilah yang itu issue-issue postmodern: pemikiran di era postmodern. Yang pasti, sekarang, saya menyampaikan begitulah gerakan pemikiranku, gerak-gerik penangkapakanku:
Mendadak semuanya seakan-akan harus ditinjau yang itu secara menyeluruh dan secara mendalam, hingga pada akhirnya diriku mendadak laksana tersunyikan untuk berbicara, sebab pembicaraan di era informasi seperi sekarang ini, sekedaran belaka: laksana kurang bernilai. Efek baiknya—bila pun ini dikatakan efek baik—saya semakin menjalani realitas secara praktis, walaupun sesekali pemikiranku laksana dituntut untuk mengetahui banyak hal, dan pemikiranku masih mengajak untuk berlama-lama pada idealis. Yakni sesuatu yang dicita-citakan. Atau bahasa lainnya, sebuah fakta-imajenasi. Kurang menerima fakta yang terjadi, dan menghadapi masalah yang terang benderang di depan mata. Sebab disatu sisi masih ada congkolan ‘kehendak untuk berkuasa’: agaknya, kehendak berkuasa itu ialah kewajaran dari manusia.
bahwasanya tiap-tiap diri berkehendak untuk mengusai satu sama lain, yang tujuan utamanya: keselamatan dirinya, yang kemudian bertujuan untuk kebahagiaan plus kesejahteraan. Dan bisa jadi, bersamaan dengan keberkuasaan maka kesibukannya ialah berkata dan berpikir, sekedaran menjadi itu: kemana-mana berbicara dan menularkan kata-kata, lalai dengan fakta-fakta yang harus dijalani dan menjadi tuntutannya.
Sebagaimana pemikiran filsuf abad 20, semacam Martin Heideger, atau pun Soren Kiekegaard, bahwa manusia mulai lalai dengan keberadaannya. begitu juga yang diungkapkan pemikir islam, Sayyid Husein Nasr, manusia lalai akan keberadaannya.
Dan sekarang, saya semakin menerima tentang keberadaanku. Sarat akan kekurangan, dan sarat akan keperkecilan, dan sarat akan kebodohan plus sarat akan kemalasan, dan bahkan sarat akan pemotresan. Protes terhdap fakta-fakta yang terjadi. protes yang tidak terungkap, protes yang tidak dikeluarkan: akhirnya menggumpal di dalam pemikiranku, dan kemudian jadilah fantasi-fantasi didalam pemikiranku, dan bersamaan dengan itu, maka muncullah tulisan-tulisanku.
Tulisan adalah alat pengukapan protes.
Tulisan adalah alat pembagian pengukapan.
Yang sekarang model tulisanku, mendadak tertekan berkaitan dengan kesisteman. Ini baik bagi pemikiranku, karena model pemikiranku diarahkan pada sistematis . sebab itu tersistem, maka dibutuhkan referensi demi referensi. Maka bersamaan itu, ternyata aku menemukan bahwa sebenarnya saya tidak semaniak itu pada pembacaan. Tidak sekencang itu membutuhkan data demi data. Oh itulah kabar gerakan pemikiranku.
Belum ada Komentar untuk "Referensi Dan Tersistem "
Posting Komentar