Tentang Kepentingan



Pada akhirnya saya menemukan tentang kepentingan utama saya, yakni menyelesaikan study saya, dan saya harus focus pada study saya: seringkas itu. (Mungkin kata Pak Haidar: sejak dari dulu rangkaian kalimat utama saya adalah tentang penyelesaian study, selesai study, Fik. Hanya saja, memang untuk memberitahukan sesuatu jawaban yang sreg kepadamu teramat sulit; bukankah sejauh ini kasus utama dirimu adalah sesuatu yang tidak focus. Itu sebabnya saya pernah berkata, ‘jadilah seperti kuda. Lurus sesuai tujuannya.’ Namun, pemikiranmu memang ditakdirkan untuk ‘merubah’ suatu keadaan yang tidak-jelas ini, menjadi jelas. Sehingganya, sangat wajar bahwasanya kau termimpikan ayat-Nya tentang suratan malam, Kebenaran telah datang, dan kebatilan pastilah hancur. Dan sesungguhnya al-quran itu adalah obat dan rahmat kepada orang-orang yang mukmin. Tentu saja, pada artian ini, dirimu masuk pada artian mukmin. Sekali pun kepermukminmu porak-poranda. Artinya keimananmu belum mantap. Itu sebabnya laksana suatu ketepatan kamu memasuki dunia Aqidah Filsafat; yang secara ringkas pada akhirnya berkata tentang mempertanyakan kembali tentang ‘dasar/aqidah/kepercayaanmu itu sendiri. bukan tentang siapa, apalagi tentang mereka-reka, melainkan kepada dirimu sendirimu. Hingga kemudian kau laksana menyukai para filsuf eksistensialis. Karena sejauh ini dirimu kurang bereksis, sekali pun kelihatanya tidak ingin bereksis. Artinya tubuhmu telah menjadi wadah untuk ‘mengeksiskan’ diri, yang tujuan dari eksis itu adalah menemukan dirimu sendiri. 



Ya! Sebuah pencarian yang sebenarnya sangat sederhana. Mencari jati-diri. Memang kesannya mudah, namun sejauh perjalanan sejarah, mencari keakuan itu bukanlah perkara yang mudah. Yang kemudian bakal adanya pertanyaan-pertanyaan baru; dan itu pun mampu terjadi kepada orang yang mempunyai kesempatan untuk merenungkan kalimat-kalimat yang sacral. Hingga kemudian, orang-orang atau ulama-ulama khas Nusantara, taruklah seperti Kiai Nawawi; pada kitabnya Qutrol Ghois, berdaya diri untuk melarang ‘mempertanyakan’ sesuatu yang ada didalam, namun jalanilah hidup sebagaimana realitasnya dan tetaplah terdorng keras untuk mengkaji dan mengaji, beserta dengan ketaatan kepada si Guru. 



Bersamaan dengan itu orang-orang keagamaan, senantiasa mencenderungkan diri pada sasaran tasawuf; artinya ikat-mengikat kepada si pemimbing dan memurnikan perkara tentang hati. Sehingga efeknya, efek terkuat dari itu orang-orang kurang mengerti tentang ‘bahasa’ atau kosa kata, namun mengerti sangat tentang perkara hati, perkara rasa. 



Sebagaimana kita ketahui, perkara rasa atau hati adalah perkara yang kesannya simpel dan butuh berdaya untuk kepatuhan dari apa yang dikatakan si guru. Dan orang-orang yang lebih lama terjun kepada itu, ketika telah kaut dan kencang, maka mereka mampu mempertahankan sesuatu yang ada di dalamnya. Gaya bahasanya ringkas dan simpel, beserta dengan kepraktisan menjalani kehidupan; bukan tentang kekayaan materi, tentang penampakan, atau bahkan penampilan. Namun menguatkan di dalam dirinya. 



Lama-lama, orang-orang yang sibuk pada itu, lalai untuk menguatkan kebahasaannya, sehingga terjadi efek kepada generasi selanjutnya, dan kemudian generasi selanjutnya laksana tergagap menjalani tradisi keberbahasaan. Itu sebabnya, di Nusantara ada ulama yang berberdaya diri sibuk pada keberbahasaan. Selain itu, pada posisinya dirinya masih menjalani hal-hal praktis yang ditawarkan selanjutnya. Dan kamu, yang semestinya menjalani kedua cangkupan itu, dan tetap menjadi sesautu yang baru dari sintensi kedua hal tersebut. 



Tapi keadan waktu malah mempertanyaan sesuatu sebelum masanya. Penghilatanmu pada era-sistematis dan akademis, malah mempertanyakan sebelumnya; yang sebelumnya jarang sekali didengungkan. Hanya sebagian yang mendengungkan, hanya sebagian, sebabnya keadaan zaman telah begitu, dan pihak individu tidak mampu menjawab hal itu; karena si dia sibuk pada perkara di antara keduanya. Sementara dirimu, melihat ketimpangan-sosial yang itu tidak saling berkesesuaian. Kamu melihat kontrakdiksi, tapi masamu itu berat karena dirimu pun belum sempurna secara di dalam, dan belum juga sempurna di luar; akhirnya, kau kebingunan sendiri dengan arah yang terjadi. yang diam-diam kau berteriak minta bantuan, tapi sayangnya, lidahmu tidak punya kuasa untuk bersuara. Hal itu terjadi karena hatimu atau pemikiranmu masih angkuh dan bergaya bahwasanya kamu mampu menjawab sal yang terjadi; padahal kasus ini kasus bersama.



Namun perlahan-lahan, dengan kata kau berkenalan dnegan orang-orang yang gelisah itu. ya! Kau temukan itu diantara pada filsuf itu; kau menemukan itu di antara para pemikir, orang-orang yang dalam secara berpikir. dalam dalam arti, melihat sesuatu secara luas dan holistic serta totalitas dari suatu keadaan, suatu kondisi.



Namun akhirnya, kau mengamini apa yagn telah lama saya dengungkan itu: selesaikan dulu studymu itulah saranku. Selalu seperti itu. ingatlah, ketika kau selesai study, maka kau akan akan lebih tertantang terhadap pengetahuanmu; pengetahuan berserta kenanganmu bakal muncul.



Tapi jangan sesali apa-apa yang telah terjadi. jadikanlah itu pelajara. Jangan begitu dipikirkan tentang suatu yang telah menimpamu; anggap saja itu proses kematangan berpikir. ingatlah, orang yang berpikir matang tentu berbeda dengan orang yang berpikir. apalagi dirimu, yang dikaruni daya untuk merangkai kata. itu adalah kekuatan, Taufik. sebuah tenaga. Sebuah power. Untuk siapa? Tentu saja untuk dirimu sendiri itulah focus utama, jika kemudian orang-orang mendapatkan sesuatu dari apa yang kau tawarkan, maka itu adalah sampingan belaka.)



Di dalam pemikiranku begini:



Ketika saya selesai study tentu saja, saya akan memilih untuk berjuang yang itu ala saya; syukur kalau orang-rang mau diajak berjuang bersama. kalau tidak, pada dasarnya tetap, berjuang untuk diri sendiri. Yang kemudian berimbas pada keluarga: siapa yang utama dari keluarga? Tentu istrei dan anak-anak. Itulah yang menjadi sasaran utama terkuat. Soal rezeki itu telah diatur olehnya, Allah Maha Adil, Maha Pemberi Rezeki. Itu sebabnya, sebelum sampai pada prose situ, aku harus menyelesaikan studyku: seringkas itu. Menyelesaikan study, itulah tujuanku. Dalam hal ini, tentu saja sarjana. Kalau sarjana pertama selesai, bila kemudian ada keinginan melanjutkan, tentu saja itu rencana lain, itu bukanlah tujuan utama; yang utama adalah selesaikan dulu sarjana pertama, ini dulu.





2018

Belum ada Komentar untuk " Tentang Kepentingan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel