Huruf Hidup
Rabu, 20 September 2017
Tambah Komentar
Saya perjalanan pulang. Saya memperhatikan kata-kata. Kata-kata acak. Tapi tujuannya informasi. Banyak yang berbicara. Secara diam-diam. Tapi saat aku menghidupkan mereka. Mereka benar-benar hidup. Mereka menjelma sesuatu.
Saat ini saya kirimkan kepadamu. Sibuknya dunia kata-kata. Yang tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Laksana punyai mulut. Dari banyak rupanya
Tak ada pelajaran bahasa. Kata-kata tak akan ada.
Andai kata-kata tidak ungkapkan. Dunia tentu damai dan sepi.
Tapi kata telah wajib ada. Kata telah wajib ada. Kata menjadi hidup. Karena aku mulai hidup.
Sebelum itu aku tak mengenal bahwa kata-kata adalah hidup. Setiap kalimat di pinggir kota adalah kalimat mati. Ternyata, sekarang, kalimat-kalimat itu hidup. Aku tersenyum mengetahui itu.
Saat aku katakan kepada nenekku. Kata mempunyai lidah dan kaki. Berjalan-jalan kepada otak manusia.
Nenek tersenyum
Lalu aku tuliskan apa yang aku dapatkan. Aku teliti lebih lanjut. Asal-usul kata-kata bisa diucapkan. Mereka memberi kabar. Mereka memberi tahu
Mereka tidak berkomrom. Apakah aku mau diberi kabar. Apakah aku mau diberitahu. Mereka tidak paham maksudku.
Mereka celenguk mendengar kata-kataku. Lalu mereka mengatakan,
“saya mencari rezeki, pak. Saya berharap ada pejalan yang mampir. Saya juga mengikuti orang-orang, dan mendapatkan saran dari orang-orang. Supaya jualan laris, maka diberilah nama toko tersebut.”
Lalu mereka berkata kepada istrinya, tentang dialog yang tadi siang di dapatkannya. Yang kalimat itu sungguh sangat menyentak dirinya. Katanya,
Tadi siang saya bertemu dengan orang-pintar, mereka membeli air minum dan roti, lalu tidak mengambil kembaliannya. Katanya, saya sedang mengadakan penelitian. Dia berkata, mengapa bapak mengadakan tulisan tesebut? Sambil tangannya menunjuk tulisan ‘toko bahagia’ milik kita.
Jawabku, ya supaya orang tahu, pak.
Lalu, dia berkata lebih lanjut, “apakah bapak yakin bahwa orang-orang perlu diberitahu?”
Aku, ya, terpelongo. Sampai sekarang aku terpikirkan terus pada orang itu. Sebenarnya maksudnya apa?
Jawab isterinya, ya sudah sih pak. Tak usah dipikirkan. Kenapa juga harus dipikirkan? Apa untungnya?
Tapi saya tidak bisa melepaskan ucapannya. Saya tidak bisa melupakan apa yang dikatakannya kepadaku.
Cuma begitu saja, sudah-sudah baiknya tidur. Sudah malam.
Lelaki tua itu, tentu tidak bisa tidur. Teringat benar apa yang disampaikan lelaki separuh baya itu. Teringat pertanyaan dasar. Mengapa itu harus diadakan? Untuk apa? Untuk apa? Sekalipun lelaki tua itu telah menjawab pertanyaan itu. Lelaki tua itu terpikirkan.
Dini hari, lelaki tua itu terbangun. Dunia mimpi yang dialaminya mengajaknya untuk bangun dan terpaksa. Dan dia harus memikirkan tentang mimpi itu. Karena mimpi itu tidak bisa lepas dari dirinya. Mimpi itu terngiang jelas dalam dirinya. Mimpi itu laksana gambar yang jelas di depan matanya.
Lelaki tua berada di ruang yang penuh dengan kata-kata. Setiap kata-kata persis seperti kata-kata pada vidio lagu yang ada tulisannya. Setiap kata menjadi hidup. Satu persatu keluar suaranya. Mending kalau suara itu persis alur cerita. Itu enak. Tidak. Suaranya itu menjelma kalimat demi kalimat. Mending kalau kalimat bijaksana. Atau petunjuk ringkas dengan usaha. Melainkan kalimat tanya yang sangat esensial dalam kehidupan:
Untuk apa kamu hidup?
Sejak kapan kamu hidup?
Sampai kapan kamu hidup?
Hidup itu untuk apa?
Kenapa kamu harus hidup?
Saya telah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, pak. Katanya melapor kepada kiai setempat tentang mimpinya. Melapor dengan hati resah dan super galau. Lidahnya sering berkata, tolong keluarkan sesuatu yang menggangu saya, pak. Tolong, sungguh ini sangat menyiksa. Sungguh saya tidak tahu bagaimana jalan keluarnya.
Entah mengapa saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Entah siapa yang menggelontarkan pertanyaan itu. Tak ada manusia. Tak ada wujud rumah-rumah. Pokoknya ruangan serba putih. Lalu kalimat-kalimat itu muncul. Awalnya saya menjawab pertanyaan itu, karena pertanyaan gampang.
Tapi semakin saya lanyah menjawab, semakin saya kepayahan menjawab. Padahal pertanyaannya seputar-putar itu. Hanya diputar-putar. Tapi pada saat itu, pada kondisi itu, saya benar-benar kepusingan. Saya benar-benar tertekan. Saya berlari. Saya memejamkan mata. Saya terseok-seok. Jatuh bangun. Saya dikejar dan ditabrak kalimat-kalimat tanya.
Kenapa kau berlari?
Alasan apa kau berlari?
Apa yang membuatmu menabrak diriku?
Apa yang membuatmu memejamkan mata?
Apa yang membuatmu berpikir tentangku?
Kalimat-kalimat itu sangat-sangat mengganggu otakku.
Lalu dalam mimpi itu, saya menangis keras-keras. Saya berharap kalimat itu terhapuskan dengan kerasnya suara tangisan. Tapi tidak, kalimat-tanya itu ternyata cerdas sekali.
Kenapa kau menangis?
Kenapa kau menghindar?
Kenapa suara tangismu seperti itu?
Saya sudah tidak tahan menjawab pertanyaan itu. Saya sudah tidak mampu. Sebab kalau saya jawab pertanyaan itu, dia bakal datang lagi. Lagi dan lagi. Itu pengalaman dan trauma dengan keadaan awal tadi tatkala saya lihai menjawab.
Entah berapa lama, kakiku telah capek. Jatuh-bangun dalam pelarianku. Sampai menggesot-gesot dan airmataku terus-menerus berlinang. Suaraku habis. Hingga pada akhirnya, saya merasa terjatuh. Di situlah saya bangun, langsung mengucapkan pujian. Perlahan.
Suaraku ternyata telah serak. Saya pergi ke dapur. Minum air putih. Lalu merenungkan apa yang terjadi. Hal itu sungguh berat. Saya tetap terngiang. Lalu saya mohon jalan keluarnya kepada bapak. Tolonglah keluarkan apa yang terjadi pada saya? Sebenarnya apa yang terjadi dengan saya?
Kiai kampung itu mendengarnya dengan santai. Lalu berkata, sangat pelan, dan sangat teliti untuk menjawab itu. Pikirnya, tidak harus kalimat banyak menjawab pertanyaan itu. Jawabannya simpel, maka katanya, “itu gambaran dunia sekarang, pak. Tandanya, berkatalah kalau perlu.”
Kiai kampung melihat ekspresi lelaki tua gembira bukan main. Lega. Lelaki tua tak ada rasa malu saat ia meluarkan kelegaan yang didapat. Menjabarkan tentang tetek-bengek dunia yang ditangkapnya sekarang; terlebih lagi, pola-pola tentang kata-kata yang bertabur di dunia sekarang. Kata dibagi menjadi: kata yang tertulis, kata yang terdengar, kata yang terlihat, kata-kata yang dikirim; semua menyimpan makna-makna yang tersembunyi, tapi pada dasarnya individulah pemeran penting terhadap pemaknaan.
Dunia tidak bisa mundur. Ini zaman taburan kata-kata. Tak ada yang bisa mencegah hujan kata-kata. Tapi manusia bisa menyaring mana kata-kata yang layak di tangkap. Dan sebuah himbauan: jangan tergoda dengan dunia kata-kata, karena kata menyimpan selebung yang lain, dapat mengeruhkan akal. Hati-hati.
2016
Belum ada Komentar untuk " Huruf Hidup "
Posting Komentar