Hidup Yang Tenang






Hidup yang tenang, apa katamu terhadap diksi tersebut? Kau pikir hidup itu seperti halnya kata-kata; kau pikir hidup itu seperti halnya yang diuraikan kata-kata; ketahuilah, hidup itu tidak seribet kata-kata, dan seburam atau semenumpuk kata-kata, namun keseluruhan total yang bertautan, saling menaut-taut, saling menyaling yang kuat dan kokoh; andai engkau tahu tentang hal itu! andai engkau paham dengan hal itu! Bahwa hidup itu saling menyaling dengan yang lain; antara kenangan dan kenyataan. Antara kenyataan dan ide-ide, atau rancangan tentang masa-depan. Begitulah sebenarnya hidup.

Kata kunci pokok tentang hidup, begitulah: kenangan, kenyataan, ide-ide sekaligus rancangan tentang masa depan.

Namun, hidup bukanlah seribet seperti itu. lantas, memangnya bagaimana dengan hidupmu? Apakah hidupmu tidak tenang? Apakah hidupmu sedang bergelombang dan hujan? Atau seperti apa kehidupanmu, sehingga engkau datang kepadaku dan berkata, nasihatilah aku, supaya hidupku tenang:

Sekarang, bolehkah aku bertanya, tenang seperti apa yang engkau harap dariku? Jangan-jangan engkau tidak ingin tenang, namun ingin kesementaraan tenang. Kenanglah, hidup yang tenang itu, mengalir laksana air yang mempunyai tujuan, yakni samudera-Nya. Hehe (Karena kamu datang kepadaku, maka referensiku pada akhirnya adalah tentang-Nya) janganlah engkau sibuk-sibuk dengan fikih-fikih yang lain, kecuali fikih dirimu sendiri. Janganlah engkau sibuk-sibuk mengurusi keislaman orang lain, urusilah keislamanmu sendiri. Janganlah engkau sibuk-sibuk mengurusi kehidupan orang lain, urusilah kehidupan dirimu sendiri. Selamatkan dirimu sendiri dari api neraka, yang itu adalah tanggung-jawab individu, Taufik.

Akhirat itu, tanggung jawab individu-individu, Taufik. Maka dari itu, selamatkanlah keindividuanmu tersebut. dan turutilah guru-guru yang baik; guru-guru yang ikhlas menyampaikan kebaikan. Aku tahu, engkau melihat orang-orang seperti itu; aku tahu engkau melihat, dari sepersekian keburukan atau rumahnya keburukan, pastilah di sana ada juga yang baik. Lihatlah itu dengan terang dan jelas, Taufik. Lihatlah itu dengan gamlang dan penuh, Taufik.

Dan engkau, janganlah terkecoh dengan penampakan dan hal-hal yang menampakkan diri;; ingat, tujuan akhir manusia (hehe karena engkau datang kepadaku, maka beginilah jawabanku) adalah surga dan neraka. Itulah tujuan akhirnya, dan untuk mendapatkan itu, maka dibutuhkan kebaikan demi kebaikan, serta amalan demi amalan. Tidak bisa sekedar pasrah dan tobat kalau tua. Itu mulai sekarang, Taufik. Mulai sekarang.

Jalanilah kebaikan-kebaikan yang engkau tahu tentang kebaikan.

Tidakkah engkau mengerti sesuatu yang baik itu, Taufik? Dan plise jangan bodohkan dirimu sekali lagi tentang hal tersebut. jangan isi hati dan pemikiranmu untuk didesaki hal-hal buruk, hal-hal jahat, pilihlah hal-hal yang baik; konsekuensi di dunia, hidup di pelataran dunia, memang bakal ada baik dan buruk, dan engkau, bersama dengan akalmu, pilihlah yang baik, dan jangan curigai yang baik itu sebagai yang buruk. Jika engkau tahu itu hal buruk, jangan lakukan, dan jangan ikutan-ikutan: ingatlah, engkau mengerti tujuan dari manusia, yakni samudera-Nya: yakni, akhirat dan di akhirat ada dua pilihan yakni surga dan neraka.

Kalau kau sibuk tentang keburukan, maka nerakalah tempatnya.

Kalau kau sibuk tentang kebaikan, maka surgalah tempatnya.

Sudah! Seringkas itu, Taufik. Jika engkau melihat manusia di zaman seperti sekarang ini, sibuk dengan kediriannya, atau sibuk dengan keakuannya; jawabku, engkau harus tenang dengan hal tersebut. Engkau harus tenang menyikapi hal tersebut. Nikmatilah ‘dunia’ yang itu menjadi masamu. Jangan protes terhadap hal tersebut, yang pasti, utamakanlah keselamatanmu sampai ke samudera-Nya, yakni negeri akhirat. Yang di sana ada surga dan neraka.

Kenalilah, yang menjadikan hidupmu itu tidak tenang, adalah tentang pemikiranmu, yang itu bersibuk kepada orang lain, yang itu bersibuk tentang penyelamatan orang-orang yang ada disekitarmu; sesungguhnya, bisa jadi, itu adalah godaan pemikiranmu, Taufik. Itu adalah protes-protes pikiranmu terhadap ‘realitas’; kenanglah, sedih, bahagia, duka, sengsara, tertawa, gembira dan lain-lain; itu adalah perasaan-perasaan manusiawi, Taufik. Begitulah tabiat dari manusia pada umumnya, Taufik.

Sekarang, hiduplah yang tenang, Taufik! Apa itu hidup yang tenang. Jadilah seperti air yang tenang, yakni sesuatu yang berkedalaman; karena sesuatu air yang di atas, tidak tenang; bergelombang. Air yang tenang itu, selalu di dalam. Apakah berarti, aku menganjurkan dirimu untuk umpetan atau menyusup atau bersembunyi? Tidak! Aku tidak menganjurkanmu seperti itu: aku menganjurkan, terimalah dunia yang memang begitu adanya. Dan engkau harus mengawasi terus tentang pemikiranmu itu; karena kendala utama tentang ketidak-tenangan adalah tentang pemikiran, Taufik.

Apakah bisa dimengerti? Kalau payah, setidaknya aku telah menyampaikan. Begitu ya..


Belum ada Komentar untuk " Hidup Yang Tenang "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel