TENTANG KEKABURAN ‘ISLAM’ DALAM PIKIRAN









Taufik, apa yang engkau permasalahkan dalam pikiranmu? Tentang islamnyakah? Atau si pelaku islam? atau orang-orang yang berstatuskan islam tapi tidak menjalankan apa-apa yang diperintahkan islam? atau engkau bergaya mengurusi umat islam, tapi, lalai mendandani keislaman dirimu sendiri: sesunggguhnya, Taufik, yang kabur, yang kabut, yang tidak jelas, itu adalah pemikiranmu.

Engkau lalai menerapkan pengetahuan demi pengetahuan yang menyinggahi dirimu, engkau lupa, yang melupakan itu, dalam pemikiranmu; seakan-akan pemikiranmu kecil, sempit, dangkal, dan lebih-lebih engkau lebih suka bergaya membodohi dirimu sendiri, dengan gaya laksana Socrates yang mempertanyakan kaum-kaum sofis; namun, engkau lupa satu hal, yakni, mengislamkan dirimu sendiri. Menjelaskan islam kepada dirimu sendiri.

Gayamu, sok-sok sibuk mengurusi islamnya orang lain, tapi lupa, haha engkau melalaikan islammu sendiri. Harusnya, ya harusnya; engkau telah menjadi pendai yang handal, Taufik, dan bahkan kondang, kalau engkau benar-benar selaras dengan apa-apa yang terjadi, sehingga engkau mempunyai lawan demi lawan yang bakal menentangmu, yang bakal menghardikmu, tapi engkau, engkau memilih bersama-sama—oh harapan yang mulia, harapan yang bagus—gayamu; kita harusnya bersama-sama, menjulang bersama, menguatkan islam bersama, menguatkan iman bersama. Tapi kamu, lalai dengan dirimu sendiri. Engkau lalai bahwa orang-orang yang engkau temui itu, orang-orang yang sibuknya mementingkan dirinya sendiri, dan engkau lalai berkumpul dengan orang-orang yang sibuk memikirkan orang lain, orang yang pikirannya tertakdirkan untuk memikirkan orang lain. Dan engkau, jangan dangkal terhadap makna ‘takdir’, Taufik. Ingatlah, engkau belajar; melintasi sejarah demi sejarah, sejarah kemanusiaan: tidakkah engkau mengambil hikmah dari apa-apa yang menyeliweri panca-inderamu? Apalagi tentang islam; harusnya engkau sekarang menjadi damai. Tidak harus mengoarkan lewat kata-kata, tidak harus menyampaikan berkoar-koar dengan bahasa. Tapi damai yang itu kepada dirimu sendiri. Menerima fakta tentang kedirianmu. namun, keterkaburanmu akan islam; mengajakku untuk menyampaikan, yang tepatnya mengingatkan, apa-apa yang telah menyertaimu:

Tujuan utama islam itu apa? Kenanglah jawaban itu. selanjutnya, islam itu berproses dan menjadi sosok pengetahuan; engkau harus melihat itu dari epistemology, dan tetap memegang, tujuan awal keberadaan islam itu apa?

Artinya, aku tidak mau engkau sibuk dengan hal-hal penampakan, seperti fikih. Engkau tahu, proses pengambilah hukum; engkau paham akan hal itu.

Aku tidak mau engkau sibuk dengan hal-hal penampakan, seperti halnya tafsir al-quran. Engkau tahu proses penjabaran dan tujuan penjabaran.

Dan engkau juga tahu tentang bagaimana ilmu kalam, tentang Tasawuf, tentang budaya arab, tentang kemauan islam.

Dan engkau tahu, bahwa tujuan semua itu adalah untuk realitas? untuk kenyataan; supaya orang itu damai dan sarat akan cinta kepada mahluk yang sama, yakni manusia. Seringkas itu, kan.

Selanjutnya, engkau mengetahui, tentang tabiat manusia, engkau mengetahui tentang hukum-hukum islam. engkau mengetahui mana yang wajib, mana yang sunah; sekarang, kenanglah seluruh pengetahuan islam. jangan setengah-setengah, jangan dipisah-pisah. Lihatlah islam secara keseluruhan, ingat, engkau pelajar filsafat; jangan lihat sesuatu yang itu selintas dan sekedar sesuatu yang menampakkan. Jangan lihat sesuatu seseimpel itu. lihatlah secara keseluruhan.

Jika engkau ingin melihat islam lebih jeli, lihatlah potret kehiduapan yang ada pada realitas kanjeng Nabi. Itu menjadi cerminan yang terang buatmu. Kenyataan kanjeng Nabi, Taufik; jangan di potong-potong, jangan dibuat layaknya klise; jangan ambaikan tentang lawan-lawan kanjeng nabi, jangan abaikan tentang kesedihan kanjeng nabi, jangan abaikan tentang payahkan kanjeng nabi; dan jangan abaikan tentang kenyataanmu, belajar boleh, bercermin boleh: tapi engkau itu kenyataan, Taufik.

Jika engkau dihadapkan sebuah kaca di rumahmu. Yang kenyataan, itulah hidupmu, Taufik.

Maksudku, aku tidak mau engkau terjebak pada keilmuan, sesuatu yang disebut dengan epistemologis, atau kesejarahan, aku mau, ini pun sekedar anjuran, sekedar mengingatkan: engkau hidup pada kenyataan yang sebenarnya, masa-lalu adalah pembacaan, masa-lalu adalah cerminan, dan hidup itu adalah kenyataan, Taufik, kenyataan engkau mampu menyentuh wajahmu, engkau mampu dialog kepada kerabatmu, engkau mampu bertemu dengan orang-orang yang hidup.

Dan yang menjadikan pikiranmu kabur terhadap islam, tentu itu adalah pemikiranmu, Taufik, pemikiran yang tidak melihat islam secara utuh, yang engkau lalai mengartikan, bahwa islam itu untuk damai. Islam itu untuk damai, Taufik. Siapa pelaku damai, utamanya diri sendiri. Jika itu berefek kepada yang lain, tentu itu syukur, karena orang lain saat melihatmu damai. Namun, utama damai itu adalah milikmu, Taufik. Bukankah engkau itu sebagai pelaku yang merasakan damai? Bukankah damai itu dirasakan oleh dirinya sendiri?

Jika engkau berkata, “Apakah aku mengajakmu untuk berpikir secara individu dan mementingkan diri sendiri (egoism)?”

Jawabku, “Tidak! Aku tidak mengajakmu seperti itu; karena aku melihatmu, engkau sibuk memikirkan yang lain, namun engkau lalai memikirkan dirimu sendiri. Engkau sibuk memikirkan, ini kata penting, sebab pemikiran, itulah yang seringkali ‘mengotori’ tentang kedamaian, Taufik. Memangnya, engkau mampu melepaskan diri dari pemikiranmu bahwa engkau harus lepas dari memikirkan yang lain; namun begini, Taufik. Kalau engkau tidak mampu menyelamatkan dirimu, bagaimana engkau mampu menyelamatkan yang lain? Kalau engkau tidak mampu mendamaikan dirimu, bagaimana mungkin engkau mampu mendamaikan orang lain? Artinya, lihatlah sekali lagi tentang kenyataanmu; tidakkah engkau merasa kasihan melihat sosok itu, Taufik, si tubuh yang pikirannya kabur, kabut, dan tidak mempunyai kejelasan, dan mencari arah untuk meminta diarahkan!”

Akhirnya, karena penyakit utamamu adalah pemikiranmu; bagaimana kalau saat-saat ini, engkau tidak usah berpikir, namun menjalani realitas sesimpel mungkin. Menerima tentang gerak-gerik waktu yang itu memang seperti itu; dan engkau bekerja secara nyata, secara materi, namun jangan kemiyip terhadap materi. Hidup adalah aliran. Hidup mengalirlah. Namun, jangan lupa ibadah. Bekerja pasti, namun jangan tinggalkan ibadah. hehehe bukankah itu prinsip yang diajarkan buyut-buyutmu, Fik? Bekerja iya, tapi jangan tinggalkan ibadah.

Soal islam: biarlah islam seperti itu, toh engkau tahu tentang fikh, usul fikih, epistemology islam, ontology islam, axsiology islam; dan engkau juga mengerti, bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan itu, wajar. Yang pasti, sekali pun berbeda tetaplah ada komunikasian, jangan nesu-nesuan, jangan marah-marahan: ingatlah, kita itu sama-sama manusia. Hehe

Selamat berjuang.

1 Komentar untuk "TENTANG KEKABURAN ‘ISLAM’ DALAM PIKIRAN"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel