Kuliah Filsafat: Kuliah Orang Yang Berpikir Luas Yang Objektif








Sebelum saya menyampaikan tentang apa yang saya tuju sampaikan yakni, kuliah filsafat: kuliah orang yang berpikir luas yang objektif, saya akan menyampaikan ini:

saya meragukan bahwa orang-orang yang kuliah di jurusan filsafat, tidak mengetahui sungguh tentang nilai-guna kuliah di jurusan filsafat. Sebab-sebab yang menjadikan saya menjadi ragu adalah:

Pertama, kurangnya pemahaman diri tentang keperkuliahan, atau tentang penjabaran tentang kepentingan kuliah, bahwasanya kuliah bertujuan yang terkhusus untuk dirinya sendiri, yang kemudian terkhusus untuk lingkungan sekitar dan umumnya adalah untuk Negara, dan bahkan lintas internasional, itu pun kalau mampu.

Kedua, kurangnya pemahaman diri terhadap keilmuan. Sasaran di zaman sekarang, lebih focus kepada nilai-kerja dan nilai-upah, seakan-akan kepentingan hidup di dunia adalah tentang kepekerjaan dan keperupahan. Maksud saya begini, bahwasanya orang yang mencari ilmu, tidak harus tergoda untuk hal-hal yang berkaitan dengan uang atau materi, namun lebih terfokus kepada ilmu.

Ketiga, lingkungan yang kurang mendukung untuk kepentingan keilmuan yang itu secara mendalam atau terkosentrasi pada tradisi keilmuan; sehingga manusia terpengaruh oleh keadaan. Maksud saya, kehidupan orang-orang yang berilmu; itu pasti, sarat dengan membaca, menulis, dan meneliti; dan sumber utama dari penelitian adalah tentang sesuatu yang itu di dalam dirinya, artinya tentang pemikirannya; seakan-akan penilitian itu tentang realitas buku, realitas kenyataan yang banyak; padaha, menurut saya, itu, didasari oleh individu. Ringkas kata, individu melihat masalah, dan individu itu berupaya untuk mendamaikan masalah; caranya dengan metode ilmiah.

Keempat, tujuan keilmuan: tujuan keilmuan bukan tentang untuk kehidupan-yang-damai, melainkan untuk diri individu atau focus kepada keilmuan. Seakan ilmu itu terpisah dari kenyataan; seakan ilmu itu adalah tentang sejarah dan itu tidak nyata. padahal, kehidupan itu sarat dengan masalah, dan tugasnya orang-orang yang berilmu berupaya untuk mendamaikan masalah, dengan cara ‘merasionalkan’ apa-apa yang menampakkan diri; sebab, ukuran ilmu di zaman sekarang adalah tentang positivistic, yakni harus berkaitan dengan data-data objektif, manusia didayakan untuk keras-keras menggunakan akalnya. Realitas serba ukuran ‘bukti’ nyata yang objektif. Begitulah ukuran-ukuran ilmiah.

Kelima, keterbiasaan akan jadwal dan waktu. kalimat ini seringkali jadi patokan yang terpatokkan, bahkan dalam belajar, seakan-akan terbatas oleh jadwal dan waktu; padahal, sesungguhnya, kegunanaan dan buahnya ilmu itu untuk dirinya sendiri, namun orang-orang, saya, mengabaikan atau terlalaikan bahwa kepentingan ilmu itu diriku sendiri. Untuk kepentinganku sendiri.

Itulah sebab saya menjadi ragu bahwa orang kuliah filsafat, kurang ‘mengetahui’ bahwa itu adalah kuliahnya orang yang berpikir luas.

Jika pun dia mengetahui bahwa itu berpikir luas, namun disaat lingkunganya, tidak mendukung, atau teman-temannya tidak mendukung untuk itu, maka akan kurang untuk berpikir luas. Artinya, jika yang lain, ilmu-ilmu yang lain, tidak sama maju dan sibuknya: yakni aktivitas orang-orang yang mencari ilmu, yakni, harus rajin membaca, berpikir, mengamati, dan ingin tahu, maka kegunaan filsafat secara nyata pun tidak akan terasa; malah, kegiataan filsafat itu menjadi laksana kaum-sofis di zamannya Socrates, mempertanyakan tentang ketenangan status-status keilmuan lainnya. Ah itu mungkin, penilian subjektifku, yang kurang tepat: baiknya aku membahas tentang kuliahku, kuliah filsafat, yakni:

Kuliah orang yang berpikir, yang itu secara objektif.


Taufik berkata:

Sering dikatakan: Kuliah filsafat, memang terkesan seperti kuliah angan-angan, kuliah yang tidak nyata.

Jawabanku, ya, menurutku, karena ‘guru’ tidak menyertakan murid untuk mengikuti langkah-langkahnya: guru tidak menyertakan murid tentang tujuan akhir dari apa yang hendak dicapai tatkala kuliah, yakni, menjadi ‘peneliti-filsafat’ sebab ‘tuntutan mereka menjalin akademik karena mereka menghendaki status; yakni status sosial, yang tujuannya untuk nilai-sosial, untuk kesetaraan hidup yang diupah. Mind-set awal sering itu. mind-set awal seringkali uang, yang itu adalah praktis; padahal kalau disertakan tentang keilmuan, maka kuliah filsafat adalah menjadi penjawab masalah pada realitas supaya manusia, pemikirannya, rasio dan ilmiah.

Terlepas dari itu saya berkata:

kuliah filsafat itu tentang pembelajaran yang itu tentang pemikiran; pemikiran yang itu ada di dalam diri setiap individu, khususnya si pelajar, atau pun yang mengajari, karena mereka pada zaman yang sama; masih berada pada suatu kondisi yang sama, yakni masalah yang serupa; dan murid adalah generasi penerus dari apa yang diajari, itu pun kalau si pembelajar adalah mengakui bahwa si pengajar adalah layak dinyatakan menjadi pengajar. Sebab, di zaman yang seperti sekarang ini, si pengjar pun adalah dia yang mengikuti system yang kemudian, masuk syarat pengajar; jadilah dia pengajar. Padahal, dia tidak memahami apa yang diajarkan. Sekarang, kalau pengajar tidak memahami apa yang diajarkan, apa jadinya seorang murid?

Selintas kata, kuliah filsafat adalah kuliah tentang pemikiran-individu, yang tujuannya adalah tentang bagaimana diri ‘menjadi’ atau semakin deras pada: cinta pada kebijaksaan, cinta pada kebenaran, dan melihat stuktur orang-orang berpikir. Dan terlebih khusus, mengetahui bagaimana individu itu berpikir.

Yang kemudian, karena teramat sulit mengetahui kedirian tersebut. maka harus diperkenalkan tentang sejarah-sejarah filsafat,. Nah, di zaman ini, menurut saya, banyak orang yang sering terjerembak pada teks sejarah; mereka mengetahui sejarah tapi tidak memahami sejarah. Mereka mengetahui sejarah, tapi tidak mengetahui manfaat dari sejarah. Sejarah laksana menjadi lintasan bagi pemikirannya. Sejarah laksana tabel untuk dihapal; hal itu karena tuntutan zaman yang harus hapal. Maka; orang itu harus mengkaji tentang sejarah filsafat yunani kuno, filsafat india, dan filsafat timur; dan sebelum sampai ke situ, mereka harus mengerti tentang sejarah data daerah yunani kuno, daerah data india, cina, babilonia, dan jadilah tumpuk-tumpukan data di dalam pikiran tentang teks-teks yang berkaitan dengan sejarah.

Belum lagi, tentang pola-pola pemikiran, agama, dan sejarah-sejarah yang lainnya; orang-orang seringkali terjerembab pada situasi itu, lalai bahwa tujuan ilmu itu untuk kenyataan. Pembacaan sejarah adalah untuk memahami sekarang. Kegunaan ilmu adalah kepraktisan yang ada di lingkungan. Yang dari lingkungan itu, harus terbentuk pola-pikir yang serupa, sehingga ilmu itu mampu dikabarkan. Jika tidak begitu: maka orang itu pasti akan berjalan sendiri, lalu dikatakan, idealis, karena tidak sesuai dengan keadaan lingkungan. Klaim idealis, karena tidak sesuai dengan apa-apa yang disepakati dengan lingkungan; maka timbullah konflik yang tidak kelihatan.

Akhirnya, ini tekanan buat orang yang mengkaji filsafat, khususnya saya, bahwa saya sendiri harus menyadari tentang status saya bahwa saya adalah pengkaji filsafat, harusnya memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitar dengan analisis filsafat: dan apa yang dianalisis dengan filsafat, yakni sesuatu yang tatkala masalah itu bertautan dengan agama dan ilmu; dan keduanya tidak mampu menjawab, maka disitulah ilmu filsafat berposisi. Menurut saya, harusnya sih begitu.

Namun, penegasanku disini—sesuatu yang ditegaskan!—kuliah filsafat adalah kuliah tentang pemikiran, pemikiran siapa? Tentu pemikirannya sendiri, yang diobjektifkan, yang diilmiahkan; yang tatkala kepayahan, maka dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang lain, yakni para filosof-filosof yang lain.

Demikian.

Belum ada Komentar untuk " Kuliah Filsafat: Kuliah Orang Yang Berpikir Luas Yang Objektif "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel