Potret Kehidupan di Desa Wargomulyo
Minggu, 06 Agustus 2017
Tambah Komentar
LATAR BELAKANG
Desa wargomulyo ini desa yang terletak di kecamatan pardasuka, kabupaten Pringsewu, provinsi lampung, Negara Republik Indonesia. Perlu saya sampaikan, bahwa urutan nama-nama tersebut, ialah sesuatu yang bakal mempengaruhi tentang pergerakan potret di desa wargomulyo. Desa wargomulyo, sebagian kecil dari potret kehidupan yang berskala nasional, Republik yang ada di Indonesia, inilah yang menjadi garapan mengapa bagi saya penting untuk diuraikan, dan bahkan untuk ditelitikan.
Apa yang hendak saya tawarkan:
Bagaimana kehidupan yang ada di desa wargomulyo?
Apa saja yang membingkai tentang kehidupan yang ada di desa wargomulyo?
Apa saya yang terjalin dari kehidupan desa wargomulyo?
PEMBAHASAN
Hidup, pastinya membicarakan tentang siapa yang hidup, yakni saya batasi kehidupan manusia, sebagai pusat untuk penguraian. Urian tentang keseluruhan potret kehidupan berserta jalinan demi jalinan yang terjadi di desa wargomulyo.
Desa wargomulyo, berdiri atau diadakan pada masa kolonialisasi, yakni era transmigrasi, perpindahkan penduduk ke daerah lain, yakni di lampung; yang tepatnya, orang-orang ke pardasuka, untuk menjalani proses kehidupan, dan itu dari jawa, tepatnya penduduk kutoharjo, yang berpindah tahun 1930 masehi. Setelah orang-orang berproses, yakni melangsungkan kehidupan, hingga pada akhirnya, penduduknya mulai siap untuk menjalin kemasyarakatan, maka orang-orang bersiap untuk menjadikan memecahkan tempat, yang awalnya dari desa pardasuka, menjadi desa wargomulyo. Kata Pak Zainal Abidin, Lurah ke empat desa wargomulyo: tempat itu dinyatakan resmi menjadi desa pada tahun 1935 Masehi. Tepat saat itulah desa itu dinamakan desa wargomulyo.
Durasi waktu itu, jangka waktu yang lima tahun itu, mampu drastic, karena tarikan keluarga. Artinya, orang-orang pemula yang transmigran, menarik keluarga untuk tinggal di desa yang baru, yakni desa wargomulyo. Hingga akhirnya, mampulah dengan cepat, terbentuk suatu desa.
Dan kehidupan di desa, mengikuti pola desa asalnya, yakni kecamatan Kutoharjo; sebab, kebanyakan orang yang ada, atau status keberadaan orang-orang yang ada itu dari jawa, maka secara otomatis, mereka juga mengikuti apa-apa yang orang-orang jawa umumnya lakukan. Pendek kata, orang wargomulyo adalah orang jawa; karena berasal dari jawa.
Orang jawa yang bukan di tanah jawa, namun masih menggunakan symbol-symbol jawa. hal itu, lebih terang dengan penggunaan bahasa interaksi yang itu menggunakan bahasa jawa, juga tempat, dan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan, adalah potret dari kehidupan jawa.
namun, tentu tidak sama dengan kehidupan jawa, karena ini adalah pulau sumatera, yang mana sebelum keberadaan orang jawa, di sana pun ada status atau adat istiadat sebelumnya, yakni orang-orang lampung; yang bahkan masih mempunyai tradisi adat yang kental, bahkan dibanding dengan jawa.
sebab, jika diamati lebih lanjut, tradisi jawa, sepertinya tidak mempunyai sesuatu yang khas dan itu mampu dipertahankan, sebabnya, tradisi jawa itu tautan sejarah yang ada di pulau sejarah; maksud saya tautan begini: awalnya, sebelum kedatangan agama hindu budha, orang jawa, murni dengan apa-apa yang dilakukan, hidup yang biasa dan menunaikan serta mendayakan ‘kekuatan alam’, yakni mengolah alam.
Selanjutnya, saat hindu budha tiba, orang jawa mulai terkokohkan mempunyai status agama, yakni agama hindu-budha, yang mempunyai tingkatan-tingkatan kemanusiaan, yang mempunyai urutan demi urutan, maka moral di nusantara menjadi moral yang tersistem dan bertingkat-tingkat. Efek-efek yang terjadi, orang-orang mengerti tata-pola, urutan dan kestatusan. Maka dominasi nusantara menjadi seperti itu, adanya perbedaan demi perbedaan tata-pola, urutan dan kestatusan.
Hingga kemudian, saat islam tiba, perlahan-lahan menggeser keberadaan agama hindu-budha, yang kemudian memuncak pada era kerajaan di nusantara; dan islam, manusia, laksana tidak mempunyai tata-pola, urutan dan kestatusan; semua manusia pada prinsipnya sama.
Keberadaan yang mencolok dari perpindahan agama tersebut adalah, bahwa keberadaan islam adalah lebih berseimbang terhadap realitas, dan lebih memanusiawikan peran manusia; yang itu berkebutuhan dunia juga berkebutuhan akhirat.
Selanjutnya, keberadaan bangsa eropa, di era kolonialisasi bangsa eropa, juga turut mewarnai tentang kehidupan pola nusantara, yakni, tentang pemikiran, tentang rasio.
Memang, awalnya orang-orang nusantara pun kental dengan rasio, namun lebih mengental pada hati atau iman, sebab orang-orang nusantara berstatuskan religi, mempunyai agama, lebih-lebih kedua agama tersebut lari kepada hal-hal mistik, lebih cenderung kepada hal-hal gaib; hal-hal gaib lebih mengena, karena pada kenyataannya, nusantara laksana rimba, dan rimba atau hutan, adalah berdekatan dengan suara-suara yang itu tidak jelas arahnya; maksudnya, auman binatang, geraman binatang atau suara-suara lainnya, yang itu terjadi pada malam hari. Malam hari yang gelap gulita.
Di saat Bangsa Eropa datang, sebagaimana pemikiran filsafat pada masa eropa, tentang kapitalisme Karl Mark, atau filsafat menjadi gerakan yang lebih praktis; maka mereka datang bersama system-system rasio. Yang lamat-lama, mempengaruhi manusia nusantara, perlahan-lahan, yakni, manusia yang awalnya tentang keyakinan mulai bergeser pada kerasionan atau tentang keperakalan, dan tentu, yang terpengaruhi kuat adalah para pemimpin-pemimpin yang ada di Nusantara.
Hingga kemudian, bangsa eropa, Netherland, semakin merajalela, menguasai pasar, mengatur tanah-tanah, mengatur strategi untuk mendapatkan rempah-rempah yang melimpah, jadilah bangsa Indonesia laksana ‘ditekan’ untuk hal itu; jadilah sebagian manusia nusantara berpikir, bahwa orang-orang nusantara, merasa ditekan, dijajah oleh bangsa eropa; orang-orang nusantara mulai menggunakan akalnya, mulai deras memikirkan tentang issue-issue politik, orang-orang nusantara mulai mendirikan lembaga-lembaga pengetahuan. Artinya, pengetahuan yang itu tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama. Karena sebelum itu, manusia nusantara, jika dikatakan pengetahuan, maka kental pengetahuannya adalah tentang pengetahuan ‘agama’.
Namun, yang hendak saya sampaikan; bahwa dengan keberadaan bangsa eropa di nusantara, itulah yang menjadi tarikan bahwa manusia nusantara mulai menggunakan akalnya, setidaknya berpikir tentang realitas yang sebenarnya.
Hingga kemudian, terjadilah kesatuan orang-orang nusantara, yang dikatakan, kesatuan Republik Indonesia, tujuannya; untuk mencegah dari penjajahan. Maka dibentukanlah Republik Indonesia; bersamaan dengan itu, maka harus ada peraturan-peraturan tentang keperdaaerahan, dan itu pada tahun 1945 Masehi.
Sementara itu, Desa Wargomulyo, dikatakan desa pada tahun 1935 Masehi. Dan telah membentuk proses kehidupan yang itu berproses atau meniru dari apa yang jawa lakukan; masih agak bergaya kerajaan, yakni, pemimpin satu orang; atau lebih mengutamakan tentang keagamaan. Lebih-lebih, desa wargomulyo, mempunyai status kiai desa, artinya ada ikatan antara pemerintahan dan kiai.
Sementara itu, potret kehidupan manusia desa wargomulyo, secara umum, mengikuti gerak-gerik pergerakan nasional. Saat nasional mengatakan ini, desa mengikuti itu; saat nasional gencar terhdap pendidikan, desa wargomulyo teradakan. Saat nasional mengikuti gerak modern, yakni taburan informasi, maka orang desa wargomulyo juga mengikuti gerak-gerik nasional.
Namun, ada potret yang menarik dari desa wargomulyo; yakni keteirkatan antara umara dan ulama. Itulah yang menarik; yang kemudian, di dukung oleh struktur keluarga besar, artinya, dominasi besar manusia wargomulyo ada hubungan darah satu sama lain. Karena awal transmigrasi belum banyak. Namun, di era 1935 an, atau bahkan sampai 1984 an, program Keluarga Berencana tidak mulus; wal-hasil, setiap orang mempunyai anak yang banyak. Anak-anak itulah yang menjadi proses bahwa desa wargomulyo adalah desa yang hidup dalam kekeluargaan.
Perbentukan atau jalinan ikatan keluarga, menjadikan interaksi sesama manusia saling berperasaan dan ganti-gantian; hal itu karena adanya ikatan keluarga besar, yang lebih mendominan adalah keluarga besar lurah pertama desa wargomulyo, Mbah Nawawi: dari sanalah pokok-pokok yang kemudian menyebar kepada keluarga-keluarga yang lain. Yang dengan hal itu diikat oleh ideology agama islam serta ideology panca-sila.
Sebab, mereka telah berstatuskan agama islam, yang dari itu telah terbentuk system keagamaan; lebih-lebih system agama islam, menekankan untuk harian dan kegiatana-kegiatan yang itu berdaya diri untuk mengingatkan keislaman.
Ideology panca-sila, karena ini sekelas desa, tentu mengukti gejala yang ditawarkan nasional.
Begitulah urian tentang potret kehidupan manusia desa wargomulyo.
Belum ada Komentar untuk " Potret Kehidupan di Desa Wargomulyo "
Posting Komentar