Untuk apa pengetahuan bahasa-Internasional?







Untuk apa pengetahuan bahasa-internasional? Iyakah untuk berpikir lagi bertanggung jawab yang itu melintas, mencangkup tentang nasional; atau sebagai syarat akademik yang ‘memaksakan’ untuk fasih saat berbahasa-internasional, dengan alasan, “Zaman sekarang, zaman global; mau tidak mau, kita harus turut serta dalam globalisasi,” kata petinggi utama, yang akalnya, kualitas akalnya, atau lingkungan akalnya terketatkan kepada hal-hal keilmuan; sejak dini telah dilatih dengan keilmuan, yakni dengan membaca, dengan sibuk pada buku, pulpen, atau yang lain.

Mereka adalah orang-orang yang sibuk dalam ilmu, yang itu mendukung untuk ‘kehidupan’ yang sebenarnya; yakni, hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Kini, mereka telah mengetahui bahasa-internasiolan. Sorot matanya, mengetahui terang tentang bahasa internasional.

Yang diam-diam, saat dia belajar untuk bahasa internasional, mereka, setiap hari:

Mengucapkan diksi-diksi internasional.

Dalam pemikirannya, ukurannya, adalah internasional.

Pendengarannya, adalah pendengaran internasional.

Tangung-jawabnya. Haha iyakah bertanggung jawab tentang internasional? Iyakah bertanggung-jawab tentang internasional.

Ah aku kurang mengerti tentang hal itu, mampuku bertanya:



Untuk apa bahasa-internasional? Iyakah sekedar syarat akademik, atau kepentingan orang-orang akedemik, atau kepentingan siapa? Atau kepentingan sesaat: atau bagaimana test-test itu, benarkah itu murni, atau sekedar ngarang lalu mendapatkan nilai, dan dia lulus syarat akademik. Atau, orang-orang, para pelajar, yang lulus itu, sekedar syarat bahwasanya harus ‘bisa’ bahasa internasional.

Harus! Harus! Harus!

Mereka belajar, mereka membaca, mereka sibuk dengan upaya untuk mendapatkan nilai yang itu nilai akademik. Oh begitukah pendidikan saat ini? Terlebih lagi, ketika nilainya keluar, dan dinyatakan lulus tes bahasa intenasional, yang disahkan oleh orang-orang akademik. Lalu, ketika itu saya bertanya kepada orang yang lulus itu:

“Apakah engkau yakin dengan kelulusan bahasamu? Atau engkau sekedar mengingkan tentang kelulusan tes bahasamu? Atau sebenarnyakah engkau lulus pada tes bahasamu?”

Ia tersenyum. Heran. Aneh.

Kataku, itulah potret pendidikan kita. Ah kenapa aku harus sibuk dengan itu. nyatanya, aku harus sibuk mempersiapkan itu, sehingga aku mampu bertanya: untuk apa kita menguasai bahasa-internasional?

Untukkah berpikir internasional, membaca teks-teks internasional, untuk mendapatkan jabatan yang itu berkelas internasional, untuk mampu membaca sesuatu yang mblerah yang itu berteks-internasional, sehingga kit tidka tertipu oleh pemikiran-pemikiran internasional.

Sayangnya, bahkan sekelas regular, ah sekelas nasional: saya melihat orang-orang pandai, orang berpendidikan kelas internasional—mungkin yang saya bicarakan adalah para politis, atau mungkin, orang-orang yang menipu, atau mungkin orang-orang yang masih menipu; atau mungkin, orang-orang yang tidak mengetahui ‘kestatusan’ keilmuannya—lalai bahwa dirinya bertanggung jawab atas intenasional.

Namun, ah sesungguhnya, untuk apa penguasaan bahasa internasional, yang itu diumumkan untuk orang-orang yang bahkan pemikirannya, bahkan yang dipikirkan, tidak mampu untuk nasional, namun sudah diajarkan berkelas internasional.

Terlebih lagi: kemana pengetahuan-pengetahuan mereka selama—ah mengapa aku bertanya kepada mereka, toh aku masih masuk pada bagiannya: kemana pengetahuan-pengetahuanku yang selama ini bersinggah, yang selama ini, terproses olehku? Jawabku, ternyata, saya ‘berpendidikan’ mengikuti gelombang waktu yang itu tidak benar-benar mengikuti; sekedar menjalani, lalu mendapatkan ijazah, lalu saya akan dikatakan: orang pendidikan. Ah betapa malangnya nasib ‘akalku’ yang tidak selaras zaman.

Adalah manusia mbandel terhadap pendidikan. Tapi, aku melihat, banyak orang yang sepertiku: mereka menjalani, sesuatu yang itu harus dijalani, sekalipun dalam pikirannya, tidka teruntut benar untuk mendapati keilmuan, sementara itu, guru-guru tidak benar-benar mengarahkan. Dan mendadak aku merindukan gaya pengajaran Taman Siswanya, Ki Hajar Dewantara:

Anak-anak diajarkan menurut kemampuan bahasa keseharian. Kemudian, saat mereka mulai siap untuk melanjutkan cita-cita, mereka belajar dengan bahasa Indonesia, selanjutnya, mereka belajar bahasa belanda. Maka jadilah, ilmu itu menjadis sesuatu yang istimewa.

Sekarang, aku, laksana tidak mengistemewakan sesuatu yang disebut ilmu, karena, nyatanya, ilmu, bagiku, yang mbandel, sekedar system yang harus dijalankan: lalu saya mendapatkan ijazah, yang bertujuan untuk mencari kerja. Katanya—banyak orang yang berkata padaku; banyak adalah lebih dari 5 orang--, ‘Toh pada akhirnya, hidup itu tentang kerja.’

Hidup tentang mempertahankan hidup dirinya sendiri. dan untuk mempertahankannya itu membutuhkan ilmu.

Dan ternyata, dalam lingkungan ilmu, kemudian, ditawarkan atau bahkan di haruskan, oh di wajibkan, untuk berbahasa intenasional, sekali pun daya tampung akal pelajar itu, tidak terbiasa dengan hal-hal itu; maka dia harus dan bahkan diwajibkan. Untuk menunaikan:

Itulah diriku, yang mulai tertekan dengan status pembelajaran tentang bahasa. Inilah curhatku, mungkin, perwakilan dari yang lain; yang pasti, saya mampu bertanya: untuk apa pengetahuan bahasa internasional itu?

yakni, bahasa inggris dan arab. Sekarang: mari kita lihat secara nyata, dilingkungan-lingkungan terdekat kita, apa yang terjadi kepada orang-orang yang berpengetahuan bahasa-internasional? Sudahkah dia bertanggung jawab sekelas internasional? Sudahkah dia berpikir khas internasional? Atau ah entahlah, karena aku mampunya bertanya: untuk apa pengetahuan bahasa internasional?

2017

Pengaruh bahasa pada pikiran

Pengaruh bahasa internasional pada keseharian

Belum ada Komentar untuk " Untuk apa pengetahuan bahasa-Internasional? "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel