Pelajar Filsafat, Membaca Indonesia kok kepayahan!




Kajian filsafat, itu rentang waktu yang panjang, bahkan sebelum masehi, masak membaca Indonesia, yang itu terbatas pada sesudah masehi, sekitaran 700 Masehi, terpayahkan, terkesan lucu. Khususnya, yang terbaca oleh pikiran, yang terngiang oleh pikiran. Kalau data, telah mbelarah, telah bertaburan; banyak buku-buku, namun entah mengapa sejauh ini ‘termalaskan’ untuk membaca, termalaskan untuk berpikir.

Sekarang, apa yang menjadi penyebab, mengapa enggan untuk membaca atau setidaknya merenungkan tentang data-data?

Apakah terlalu payah menyebutkan, data-data, bahwa sebelum di katakan Indonesia: suatu Negara itu bernama atau dijuluki Nusantara, yang pada waktu itu masih bergaya kerajaan demi kerajaan, karena memang pada waktu itu, masanya adalah kerajaan demi kerajaan; jarang yang mendekralasikan tentang Negara. Atau jarang yang mencetuskan tentang pola-pola Negara. Umumnya masih berbentuk kerajaan.

Lihatlah sejarah era Renainsasanse atau pada masa Islam ada yaki, 600 Masehi. Bukankah sejauh ini, patokan kita, adalah tentang islam, yang itu Islamnya kanjeng Nabi Muhammad: yakni berlabelkan tentang keimanan dan memprioritaskan tentang akhlak atau moral yang baik. Namun, apa salahnya dengan hal tersebut? apakah salah jika manusia ‘bermoral’ yang baik; toh tujuan agama islam, sebagaimana telah engkau ketahui: memanusiakan manusia dan realistis yang sangat tentang kemanusiaan. mengormati orang yang tua, menyayangi yang muda, dan mendidik yang lebih muda. Memberi bantuan kepada yang miskin, kalau kaya bagikan harta kepada yang berhak menerima. Namun, sesungguhnya, apa yang menjadikanmu payah membaca tentang Indonesia? Jangan-jangan, engkau tidak mengerti tujuan dari membaca sejarah Indonesia? Sehingga engkau merasa tidak membutuhkan tentang sejarah Indonesia? Atau jangan-jangan engkau telah lanyah betul dengan manusia-indonesia.

Kenanglah, kajianmu filsafat, yang mana tatkala mengkaji filsafat itu, merentang waktu yang panjang; bukan sekedar ecek-ecek waktu. lantas tujuanmu apa dengan mengetahui filsafat, atau berdaya diri untuk memahami filsafat? Tentang pikiran kan? tentang orang-orang berpikir yang itu sesuai dengan keadaaan zamannya, kan?

Begitu juga, tarikan yang ada di Indonesia seperti sekarang ini, tertarik dengan gelombang zaman; pergerakan zaman. Ukuran zaman apa? Yakni, eropa. Kenapa? Karena pengetahuan. Sebab, pengetahuan atau sains, itulah yang ‘mengubah’ wajah dunia—jangan dulu berkesimpulan, bahwa ini sudah ketetapan Tuhan. Memang benar, ini sudah ketetapan Tuhan; pikiranmu sudah ketetapan Tuhan. Jika begitu, maka kajianmu layaknya bukan pada filsafat, melainkan pada agama dan lebih menjadi orang yang beragama yang murni. Namun, engkau pengkaji filsafat, yang syarat utamamu adalah pendayaan penggunaan akal. Dan akal, ukurannya objektif, atau pembenaran ilmu; itu ada pada duduk keilmiahan. Dan syarat-syarat itu, penting pembacaan terhadap teks-teks. namun sayang, pembacaanmu, sejauh ini, sesimpel membaca al-quran dan kitab yang dibacakan oleh gurumu; ketahuilah, Taufik, ilmu itu luas. Luas sekali; plise, jangan dangkal pemahaman—yang didalam ilmu, itu ada yang mengalasi, yakni prinsip: itulah kajianmu.

Mengkaji tentang prinsip.

Maka lihatlah penampakan-penampakan yang ada di nusantara; setidaknya ketahui, dengan itu, engkau baru bisa melihat sesuatu yang ada di dalam nusantara itu. Caranya? Bacalah. Bacalah. Bacalah. Dan jangan lupa, bacalah dengan menyebut nama Allah yang menciptakan mahluk (Itulah prinsipmu, ini pun prinsipku): namun, kalau engkau tidak rajin membaca, alias malas membaca, berarti engkau telah membatasi dirimu untuk ‘ilmu’: itulah yang kumaksud, sombong kepadamu. Yakni, engkau telah membatasi diri untuk ‘ilmu’. Yang mana, tujuan ilmu, tujuan tahu: menjadikanmu ‘menerima’ tentang bahwa semua ini telah ditentukan oleh-Nya. Akhirnya, untuk menerima ketentuan-Nya itu penting syarat, yakni syarat tahu—ini pesanku, untukmu, Taufik.

Ingatlah: masak engkau sering membaca durasi waktu yang panjang (sebelum masehi sampai sekarang), membaca ‘Indonesia’ kepayahan; terlebih lagi membaca desamu, terlebih lagi membaca dirimu. Masak membaca dirimu kepayahan? Aku berpikir, engkau sekedar mengaku payah, tapi enggan mengerjakan kepayahanmu. Itulah burukmu. Maka bangunlah, o pemikiranmu. Tunaikanlah tugasmu, o orang yang berilmu. Bijaklah kau, o yang mengetahui.

2017


Belum ada Komentar untuk " Pelajar Filsafat, Membaca Indonesia kok kepayahan! "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel