Yang Terjerat Di Dalam Dirinya
Rabu, 20 September 2017
Tambah Komentar
Ada ayah berangkat ke sawah, itulah kerjanya. Ada ibu memasak setiap hari, itulah kerjanya. Jadilah pemain, itulah pekerjaanmu. Jangan sekedar jadi penonton yang mudah mengkritik, mending kalau kritikan menjadi jiwamu, maka kau akan diupah atas kritikmu dan kau akan menguatkan struktur pemikiranmu. Kalaulah tidak, maka jadilah kau laksana angin yang berlalu, mengikuti kehendak waktu, dan bebas menjadi orang yang perduli kepada orang lain, tapi tidak perduli atas dirimu. Tidak perduli atas jiwamu, tidak perduli atas apa yang sebenarnya engkau perdulikan.
Engkau tak akan pernah mengerti desas-desus kesungguhan hidup, yang telah terbagi-bagi macam-macamnya. Garis besarnya gampang. Tapi garis besar itu adalah garis-garis aktor dan engkau janganlah menjadi penonton yang terus menerus. Jadilah pelaksana dan tontonan adalah selayaknya hiburan. Engkau tau apa itu hiburan yang sesungguhnya? Adalah sekedar alat-penghibur. Bukan menjadi alat yang kosong, dan tidak menjadi serangkaian yang tak pernah usai.
Aku tahu engkau berjuang melawaan sesuatu yang salah terhadap apa yang terjadi. Kenalilah garis besar tentang apa yang terjadi sesungguhnya, kenalilah unsur-unsur bagaimana manusia berpikir: kau harus membedakan peran-peran kemanusiaan. Ada yang ingin berkuasa dan layak berkuasa, itu adalah ilmu pemerintahan. lalu ada diantara mereka yang ahli keilmuan-pasti, itu untuk mendukung kekuasaan pemerintahan. selanjutnya, ilmu tentang sosial, ilmu itu membahas tentang bagaimana sosial yang terjadi; hal itu adalah ilmu sampingan. Selanjutnya adalah ilmu pekerja. Engkau dimana? Posisimu pada ilmu yang mana?
Aku tidak berusaha untuk memotivasi engkau untuk lebih jernih dan hebat terhadpa kehidpan. Tidak. Aku sekedar memberitahu bahwa harusnya engkau menerima kehidupan yang berlangsung, yang sekarang engkau jalani. Mengapa aku mengatakan demikian: karena kau mengutuk kehidupanmu sendiri. engkau tidak menerima kehidupanmu. Engkau tidka menerima kenyataan yang menghampirimu. Terima dulu, kekurangan yang menghampirimu. Terima dulu, tentang pengetahuan acak yang menyelimuti akalmu.
Kukatakan, engkau adalah anak-kemarin, anak kecil, yang mulai mengerti tentang pengetahuan, pengetahuan yang besar, lalu kau memposisikan menjadi dewasa, sependek kata, kau salah menyikapinya. Kau salah menempatkan dirimu untuk pengetahuan yang menghampirimu. Karena kesalahamu. Pembenarannya adlaah seperti ini:
Terimalah tentang apa yang terjadi, terimalah topeng-topeng kehidupan, terimalah proses hidup yang terjadi. Selanjutnya, jalilah hidup sebagaimana biasa engkau menjalani. Kunyatakan, tak ada yang salah kalau kau menekuni waktu untuk menggarap cerita, yang membutuhkan waktu-waktu malam menulis dan mencari bahan-bahan untuk penambahan ide-ide ceritamu. Tak ada yang salah, kalau hidupmu berbaju dunia malam yang sepi dan sunyi, dan mengurung diri, merangkai kata. Sambutlah kehidupan-malammu dengan kesungguhan, anggap saja engkau benar-benar menjadi cerpenis, dan khusus sebagai penulis cerita, maka waktu malam adalah milikmu seutuhnya. Tugasmu adalah merangkai cerita. Kerjamu adalah merangkai kata-kata. Durasi waktu adalah malam. Maka, saat siang tiba, disitulah engkau istirahat. Saat ada orang yang berkata, “Kenapa engkau menjadikan malam sebagai siang, dan siang dijadikan malam?”
Kata itu menggelontar karena sejauh ini malam-malammu belum mempunyai harga bagi mata mereka. Malammu tidak ada artinya, sebabnya, cerita-ceritamu belum mendapatkan gajih yang sesungguhnya, yakni, ceritamu belum laku untuk dikonsumsi. Ceritamu belum mempunyai tempat di masyarakat.
Andaikata, engkau telah menjadi juru-tulis cerita, maka orang-orang akan mengakui keberadaanmu, mengakui profesimu, dan akhirnya mengarang cerita adalah cara-kerja yang lain, sebagaimana tukang-tukang yang lain, yang merakit kayu, dan kelak dikonsumsi. Begitu juga dengan cara-kerja cerita. Oleh karenanya, kalau kau benar-benar yakin dengan pilihanmu, jangan ragu-ragu, teruslah merangkai kata-kata, tawarkan kepada ruang-ruang yang membutuhkannya. Ruang-ruang yang menyediakan ide-ide cerita. Itulah tempatmu. tempat yang siap dikonsumsi orang-orang banyak: kalaulah ceritamu tidak layak pilih. Anggaplah engkau menjadi pengawas terhadap ruang-ruang cerita—maksudnya, aku ingin engkau mengetahui apa yang diharapkan dari penjaga karya-karya cerita—mengapa pengawas itu meloloskan cerita: jangan-jangan ada yang salah dengan ceritamu, jangan-jangan ceritamu belum benar-benar orisinal berbentuk jiwamu, berbentuk karaktermu, berbentuk originalitas asli jiwamu. Jangan-jangan ceritamu, sama dengan cerita-cerita yang lain, membosankan, tidak ada upaya baru. Oleh karenanya, engkau harus temukan dulu, kesungguhan cerita yang benar-benar datang dari dirimu, semacam ilham-cerita, yang itu benar-benar datang kepadamu. Ingat, bahwa setiap individu mempunyai kekhasan tersendiri. Kekhasan itulah yang seringkali di incar. Kekhasan itu harus kau dapatkan! Harus—sebenarnya kau tidak perlu mencari bagaimana kekhasanmu, yang penting engkau memahami apa yang engkau pahami. Karena sejatinya, engkau telah khas, kronologi waktumu telah khas. Tak ada yang menyamai bagaimana kehidupanmu. Tak ada yang menyamai bagaimana pola-kerja pemikiranmu. Tak ada yang menyamai cara-pikir kau melihat sesuatu. Begitu juga dengan manusia-manusia lainnya; selalu mempunyai karakteristik yang berbeda.
Maka janganlah gusar terhadap apa yang menimpamu! Kau ingin tahu bagaimana tanggapanku terhadap suratku dan itu tentang dirimu. Aku katakan di sini:
Hidupmu sebenarnya tak ubahnya dengan orang-orang lain, apa yang kau pusingkan sebenarnya adalah hal-hal sederhana, dan orang-orang tidak mengetahui itu. Kenapa harus pusing dengan kehidupanmu? Masa depan? Biarlah ia melangkah sendiri. esok adalah misteri. Sekalipun engkau telah menebak dan merencakan, engkau bakal ditemukan misteri-misteri yang lain. Sebuah misal, apakah kau selalu yakin bahwa engkau bakal bertemu dengan si anu, si ani, si itu, si dalih, atau siapa itulah? Apa kau selau yakin bahwa tempat yang kau kunjungi bakal monoton seperti kenanganmu, seperti apa yang terngiang dalam memori kepalamu: tentang letak meja, kursi, pohon, daun-daunnya? Esok adalah misteri. Kenapa engkau selalu meragukan hari-esokmu. Biarlah hari esok menjadi hari esok. Jangan sia-siakan pemikiranmu mengurusi sesuatu yang tidak jelas itu. Jangan sia-siakan waktumu diduseki hal-hal itu. Bangkitlah dari keterpurukan hatimu, kalau menulis adalah jiwamu. Tulislah. Tulislah cerita. Kau tahu rumus-rumus menulis cerita, kau tahu bagiamana menyusunnya. Tuliskan! Sebanyak-banyaknya. Kirimkan. Tuliskan. Setelah itu, kirimkan kepada orang-orang pendahulumu, yakni tukang-cerita. Bertemulah. Ketuk pintu hatinya. Ketuk pintu ruang-idenya. Ketuk pintu rumahnya.
Mintalah komentar yang signifikan. Mintalah arahan yang pasti. Jangan biarkan ia lolos dan kau tidak mendapatkan apa-apa tentang ilmu yang bersarang dalam dadanya. Pungutlah ilmunya. Ambillah hikmaknya.Katakan, “Apa yang salah dengan cerita-ceritaku?” sambil kau sodorkan bundelan cerita-ceritamu. Lebih banyak. Banyak sekali. “Kenapa ceritaku seperti tidak layak untuk dibaca?”
Aku ingin kau mendengar baik-baik yang ia katakan. Ia adalah gurumu. Guru dalam hal cerita. Guru yang akan mendekatmu dengan orang-orang yang dekat dengannya. Kau harus mempunyai jalinan itu. Guru tak harus banyak bukan? Itulah gayamu. Kenapa itu tidak kau terapkan sungguh-sungguh terhadap keluasan ilmu: ya! setiap ilmu yang kau suka, harus mempunyai guru. Tujuannya, seperti kau kepadaku: aku memberi jalan. Selanjutnya, kau berjalan sendiri. selalu seperti itu, kisahmu. Pada akhirny kau harus menanggu sendiri perjalananmu. Sendiri.
Terakhir, jangan sering-sering mengeluh tentang hidup. Nikmatilah hidup. Kau telah hidup. Jalanilah.
2016
Belum ada Komentar untuk " Yang Terjerat Di Dalam Dirinya "
Posting Komentar