Fenomena Bencana di Indonesia
Fenomena Bencana di Indonesia
Tanya, "Bagaimana responmu ketika melihat dan mendengar berita bencana di Indonesia?"
Jawabku, "Respon itu menurutmu bagaimana? Ataukah ini berhubungan dengan sikapku atau tentang apa yang aku pikirkan tentang bencana tersebut.
Biar saya jelaskan dulu maksud perkataanku itu. Ada respon yang berhubungan dengan tingkah laku, atau respon yang ada di dalam pikiran.
Respon secara tingkah laku, bagiku, tentu saja dengan peran dan statusku yang sekarang ini, adalah biasa saja. Tidak banyak bergerak lebih, kalau misal, kepala desa atau di masjid ada upaya untuk meminta sodaqoh, maka saya akan memberikannya. Memberi yang itu kapasitas saya mampu memberi. Saya tidak akan memaksakan harus begini dan segini. Kalau dari pihak masjid atau kepala desa tidak ada yang merespon, maka saya akan pasif untuk melakukan sesuatu. Sekedar mengamati lewat televisi, itu saja.
Hidup bukan hanya perkara tentang bencana di daerah yang agak jauh; hidup berhubungan dengan kefaktaan yang ada. Artinya saya lebih mengutamakan tentang realitas yang ada disekitar saya, seperti tentang pekerjaan saya dan problem kekeluargaan atau masyarakat di sekitar saya.
RESPON PIKIRAN
Kalau respon pikiran, secara manusiawi, saat mendengar atau melihar kabar tersebut saya turut berduka. Maksudnya berduka ialah tidak banget2 merasakan duka di sana. Tidak banget-banget terbawa perasaan kasihan kepada mereka.
Memang status mereka dikenai bencana. Sebagian keluargnya meninggal. Rumahnya hilang. Keluarganya pontang-panting. Banyak anak yang kehilangan orang tuanya. Banyak orang merasa bersedih. Terluka. Karena bencana mengampiri tanah yang menyertainya.
"Apakah respon saya berduka adalah turut serta nangis?"
"Apakah kalau saya mengatakan: saya berduka lalu saya mengucurkan airmata.
Lebih2 disana tidak ada sanak saudara. Dan memangnya, saat saudara saya, misal, pakde saya meninggal, atau bibi saya meninggal, saya harus menangis goro-goro.
Sekurang2nya, bagi saya, turut berduka saja dengan meninggalnya orang2 tersebut. Namun ada pola kehidupan yang harus dijalani.
Hidup itu tentang kepentingan keberadaan hidup dan tantangan sekaligus menjawab soal2 hidup itu sendiri.
Hidup untuk mempertahakan hidup itu sendiri, sekurang2nya bertahan bekerja. Bekerja untuk 'menjalani' proses hidup.
Manusia berduka, itu manusiawi.
Manusia ditinggalkan, itu manusiawi.
Manusia bahagia, itu juga manusiawi.
Hasilnya, ketika ditanyakan hal tersebut. Jawaban saya begitu: saya merespon dengan dua hal, pertama sikap dan yang kedua pikiran.
Pikiran ini, dikemudian hari, bisa diarahkan untuk membuat gerakan yang menghasilkan keperdulian. Dengan cari, mengumpulkan dana, sekurang2nya memberi bantuan (sekurang2nya, perduli. Atau menyisihkan sebagaian hartanya.) Kepada yang dikenai bencana.
Belum ada Komentar untuk "Fenomena Bencana di Indonesia"
Posting Komentar