Fenomena, Fenomenal dan Fenomenologi

Fenomena. Fenomenal. Term ini (tepatnya, kata ini) seakan sangat mboming bagi telinga orang indonesia. Mboming tema ini:

Apakah orang mengerti tentang makna tema ini?
Apakah orang benar2 mengerti tentang makna dari fenomena?

Sekilas memang orang ramai menggunakan kata ini, fenomenal.

"Masih fenomena!" Katanya.

"Ya... masih fenomenal."

Atau menggunakan yang berfungsi begini:

"Fenomena bencana."

"Fenomena alam."

"Fenomena... fenomena."

Sebagai pelajar filsafat, saya merasa terlucukan ketika mendengar kata itu berseliweran. Lucu sekaligus gembira. Lucu sekaligus tertantang. Alasannya, dalam kajian filsafat ada namanya: fenomenologi.

Ilmu Fenomena

seorang filsuf jerman, Huserll, begitu terkenal dengan orang yang mempopulerkan fenomenology pada ranah filsafat.

Alasannya, karena sebelumnya jangkauan filsafat ramai pada sekte eksistensialisme (paham tentang eksistentensi. Sekurang2nya mengutamakan eksistensi. Maka disaat penghujung abad 18 dan mulainya abad 19 ketambahan fenomenologi) di Eropa.

Jika ada yang bertanya, "Bagaimana keadaan di Indonesia di tahun tersebut?"

Sebagaimana sering kita dengar lewat kronologi Indonesia, di saat itu, situasi sosial Indonesia masih dalam proses jajahan. Indonesia belum merdeka. Tokoh2 Indonesia masih mempersiapkan untuk kemerdekaan.

Keadaan di Indonesia masih tertekan oleh bangsa asing. Situasi sosial tidak begitu mendukung perihal keilmuan-modern, kecuali sebagaian orang, bangsawan yang ngunyah pendidikan di Eropa. Sebagain yang lain, masih konsen pada sekte agama.

Sebagaimana dimaklumi, Nusantara berstatuskan religius, terlebih khusus, sekitaran abad 16 lebih fokus pada keislaman. Maka di era abad 18, Nusantara masih lebih kental nuansa agamis yang cenderung islam. Para pengkaji, mayoritas dari kalangan keislaman-- wadahnya seperti Ponpes atau Surau. Lalu kelanjutannya, orang2 melanjutkan pelajaran di Timur-tengah (jazirah arab, seperti mekah-madinah  atau mesir). Sedikit yang mengarah pada Barat, dan mayoritas yang ke barat adalah bangsawan atau keturunan dari Raja-raja yang memang spesial dimata para penjajah, selain itu, para raja --sekitaran raja-- laksana ditugaskan untuk mengurusi peta perpolikan (bandingkan dengan status ponpes, misalnya. Orang2 yang belajar, siapa saja, kalau cerlang dan diberi karunia melanjutkan pendidikan ke Jazirah Arab. Selain itu, pola ponpes --kyai-kyai-- juga mempunyai idealis tersendiri untuk mempertahankan eksistensinya sebagai selaku muslim. Muslim sendiri, dari kalangan ponpes, seakan tidak begitu mengenal negara: setiap muslim adalah saudara. Manusia mulia ukurannya takwa. Manusia, kedudukannya sama, yang membedakan takwa) maka merekalah yang kemudian cenderung mengonfirmasi pada kyai-kyai (ulama) untuk kemerdekaan Indonesia.

Mereka butuh support dari ulama untuk kemerdekaan Indonesia. Alasannya, jalannya islam di indonesia berbeda jauh dari islam-islam yang ada di Jazirah arab. Perbedaan yang mencorong adalah bahwa:

Seakan islam indonesia malah berpusat pada pondok2 pesantren dan sekurang2nya melepaskan diri dari jangkauan politik, sebabnya di pondok sendiri, laksana mempunyai politik-tersendiri (mempunyai pola kuasa tersendiri) yang memusatkan pada sosok Kyai.

Sosok Kyai, dikala itu, menjadi panutan dari segala hal. Tempat untuk bertanya. Tempat untuk melindungi. Tempat untuk berkaca.

Sosok Kyai, berperan layaknya penerus Kanjeng Nabi di lingkungannya. Yang hampir2 setiap kata-katanya laksana fatwa, itulah mengapa para kyai Nusantara secara umum tidak terkesan galak dan kaku menyampaikan agama. Tidak seketika menjustise (mengadili) kaumnya dengan hukum fikih praktis. Ini dosa besar, kafir, dilarang, dilarang:

Melainkan mereka mengajarkan 'pondasi' bahwa ini dilarang, dilarang, dilarang, maka janganlah dilakukan. Alasannya, karena para kyai di zaman ini, 'tidak' mempunyai status hukum faktual yang kuat.

Mungkin, di era jayanya kerajaan islam, hukum2 syariat islam diterapkan kencang2. Siapa yang melanggar, dia kena hukuman. Namun seiring perjalanan waktu, saat nusantara mulai 'terjajah' semakin mengendor syariat islam dan akhirnya berpusat pada ponpes.

Lho... lho.. lho... kok sampai ke situ. Kembali ke fenoma.

Fenomena di Nusantara dan Fenomena di Eropa

Diatas saya menawarkan perbandingan gejala situasional keadaan bagaimana ilmu di Eropa bermunculan dan bagaimana di Nusantara itu sendiri. Tujuannya agar mengerti keadaan secara utuh.

Di eropa, munculnya fenomenologi karena mereka (para pelajar itu) masih bisa fokus untuk belajarnya, sementara di tempat kita, bergejolak tentang keadaan.

Sekurang2nya, disini saya mengabarkan bahwa fenomena ada ilmunya. Fenomena diartikan gejala.

"Fenomena adalah gejala. Bisa dimengerti?"

Maka sudah pasti, ketika ada orang yang berkata fenomena bermaksud mengatakan:

"Ini masih menggejala."

Yang orientasi adalah ke-ada-an. Fakta yang ada. Yang itu bermunculan. Yang menampak.

Maka kembali ke dasar, ilmu fenomenologi itu ada karena didahului oleh eksistensialisme. Itulah mengapa, saat ada yang berkata, fenomena, pasti berhubungan dengan eksistensi.

"Apakah pada eksistensialisme selalu membicarakan eksistensi? Tidak ada esensi."

Jawabku, "saat kita membahas (membicarakan, mengisukan, menampakkan) eksistensialisme, pasti ada esensinya. Hanya saja, kecenderungan utama ada pada eksisnya, bukan esensinya."

2019

Belum ada Komentar untuk "Fenomena, Fenomenal dan Fenomenologi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel