Simbah
Simbah....
Apa yang dipikirkan orang tatkala menyebut nama simbah? Atau jangan2 orang2 kekinian tidak lagi berpikir tentang sesuatu yang disebut simbah. Lalu tiba-tiba beralih menjadi: kakek dan nenek.
Istilah simbah, biasanya diucapkan dari suku jawa (entah kalau suku lainya, ataukah suku lainnya menggunakan kata simbah) yang dialamatkan kepada orangtuanya dari orangtuanya kita (kita sebagai pembaca).
Namun penggunakan kata simbah itu tidak terbatas kepada orangtuanya dari orangtua kita. Setiap siapapun yang menua bisa dipanggil dengan julukan:
Simbah
Simbah menjadi nama julukan untuk memudahkan orang menuakan orang tersebut yang biasanya ditandai dengan:
Pertama, memang telah dipanggil simbah dan berstatuskan mempunyai cucu dari anak kandungnya sendiri. Sehingga si orang tua mengajarinya memanggilnya simbah. Kalau orang tua masih memanggil dengan panggilan gang sama, besar kemungkinan si anak bakal meniru panggilan orang tuanya. Begitu juga dengan si orang tua pihak lelaki, misalnya. Kalau memanggilnya masih seperti semula seperti dik atau yang. Maka si anak bisa saja meniru panggilan bapaknya. Itulah mengapa si bapak memanggil istrinya, mamak atau ibu. Tujuannya, agar si anak kecil memanggil yang begitu.
Kedua, rambutnya memutih (beruban) dan kulitnya mengkerut. Tanda2 penuaan inilah yang biasanya menjadi ukuran untuk dipanggil simbah. Tanda penuaan ini menjadikan anak2 atau pihak yang lebih mudah memanggilnya begitu. Sebagai tanda memang telah tua.
Kedua tanda tersebut ialah tanda kongkrit dari kefaktaan yang terjadi. Jika dia masih muda dan dipanggil muda, disinyalir memang ia berstatuskan simbah beneran hanya saja bukan kandungnya, melainkan kandung dari saudaranya atau bahkan dari silsilah yang ada. Keberadaan silsilah atau pohon keluarga menjadikan dirinya dapat (dan teringat) untuk dipanggil simbah.
Jika dia masih muda lalu dipanggil simbah oleh teman2nya, besar kemungkinan dia bersifat layaknya simbah atau mempunyai perwajahan yang tua. Yang dengan itu menjadi kebiasaan untuk dipanggil simbah.
Namun, saat ia dihadapkan pada 'realitas yang pasti' (struktur keluarga) maka tentu, namanya beralih menjadi biasa. Sebab nama tersebut adalah nama julukan atau nama penyematan. Yang kadang, dengan itu mampu menjadi nama yang khas buat dirinya dan bisa saja melekat pada dirinya. Lalu meluntur dan menjadi biasa saat dia benar2 menjadi simbah dari cucunya.
Simbah menjadi "kepemilikan" Umum
Nama simbah hingga kemudian menjadi milik keumuman yang ada. Maksudnya begini: awalnya nama itu digunakan secara khusus, lama2 nama itu berfungsi menjadi nama umum.
"Mau kemana, mbah.." kata orang yang lebih muda.
"Simbah mau kemana?" Tanya yang lain.
"Simbah itu sukanya jalan2," kata yang lain.
Padahal secara geneologi mereka bukan asli cucunya, namun mereka memanggilnya simbah.
Dari sini kita bisa melihat (menyaksi/merasakan) bagaimana pola unggah-ungguh dan seting pikiran orang jawa (dan ini juga agaknya digunakan oleh suku2 yang lain) menyikapi fakta yang ada.
Fakta yang terjadi ialah bagaimana etika digunakan oleh manusia indonesia.
Tentang rasa memiliki dan ketersalingan memiliki. Dengan ketersalingan memiliki (mempunyai) maka timbullah (muncullah) rasa hormat dan upaya melindungi dan upaya mendengarkan. Bandingkan dengan manusia yang tidak mempunyai julukan tersebut.
Seakan manusia itu laksana tidak mengenal batasan usia. Anehnya lagi, hal ini (ketidakadanya batas usia) seringkali terjadi dan dialamatkan kepada orang2 publik.
Jarang sekali artis disematkan gelar, biasanya sebut nama.
Jarang sekali dari pemerintahan disematkan gelar, biasanya sebut gelar: kalau ketemu secara fakta baru disebut.
Namun, tokoh2 agama yang berkutat pada realitas inilah yang biasanya diberi gelar kenamaan. Seperti Kiyai, pastur dan tokoh2 agama lainnya; pak bapak, atau buk ibuk.
Pada akhirnya, julukan simbah itu, bukan sekedar julukan. Melainkan mempunyai sejarah dan ada keterkaitan dengan etika (tata krama/tata laku/tata pikiran)
Belum ada Komentar untuk "Simbah"
Posting Komentar