LOGOSENTRIS DALAM ISLAM





Gaya filsafat—sekelas internasional—cenderung menyibukkan diri pada hal logosentrisme. Dan saya tidak akan ‘memaparkan’ lebih lanjut tentang logosentrisme: hal itu bisa di akses di internet, bisa dibaca perihal tokoh-tokohnya dan apa-apa saja yang menjadi persoalannya, dan mengapa hal itu penting dipersoalan. Dan kedatangan saya dengan teks ini, mempunyai keunggulan, bahwasanya saya lebih lama mengamati teks-teks filsafat, karena study saya berjurusan filsafat, yang tidak menuntup kemungkinan, penangkapan daya pikir saya (bahkan menjadi seluruh komponen tentang perkehidupan saya, seakan-akan menjelma filsafat, yakni kecenderungan untuk berpikir logis dan mengandalkan rasio, karena backgrone utama filsafat, sebagaimana kita ketahui, itu beralaskan rasio, atau titik tekannya terhadap rasio) berfilsafat. 



Hal itu lebih menunjukan tentang siapa diri kita sebenarnya, artinya, kesibukan apa yang kita geluti: soal fikih, tentu engkaulah yang lebih lama bergiat hal tersebut, dan saya mengaku kalah, total, karena saya lebih lama bergiat pada filsafat (walau ini sebenarnya pengakuan yang kurang tepat, sebab saya pun masih menjalankan keislaman, tentu compang-camping). Ringkasnya: engkau pengkaji atau berkesibukan atau menekuni fikih, dan saya menekuni filsafat, statusnya, karena saya berstatuskan mahasiswa filsafat.



Peringkasan dari logosentrisme pada filsafat, yang kemudian mempengaruhi tentang islam, tentu itu, sama (Saya sebutkan sama, setidaknya menyerupai). Bahkan dalam tubuh islam pun, berkesibukan perihal tentang logo. Logo bisa diartikan, lambang, nama, status (dan sebenarnya saya tidak ‘menggurui, sejenak mengingatkan ulang, begitulah perlogoan). Yang mana dalam islam pun, berkesibuk terhadap apa yang disebut dengan logo-logo tersebut.



Selanjutnya, ketepatan saya di sini, bersama dengan tulisan ini, adalah percikan modal untuk pelaporanku saat ‘berdialog’ denganmu, kelak.



Saya masih menyepakti tentang apa yang kau katakan,(dan yang tertangkap olehku) ‘kesibukan’ kita hari ini masih berkaitan tentang cabang, kurang melihat realitas total dari ‘agama islam’ yang ada. penghilatan total adalah seluruhnya. Status ‘keberadaan’ seringkali menjadi pembicaraan. Sementara yang ‘ada’ dan itu tidak terdeteksi jarang sekali menjadi sorotan untuk pembicaraan. 



Keislaman kita—artinya, lingkungan atau realitas islam, yang itu meresap di dalam tubuh-tubuh tiap individu yang kemudian bertemu satu sama lain—hari ini adalah pemutusan sepihak menurut apa yang ‘aku’ setujui.



Hal itu sebenarnya, atau gejala itu, telah didengungkan oleh filsafat postmodern, yakni keberadaan legitimasi (data-data itu bisa dibaca pada kajian postmodern, tokoh utamanya, ada yang menyebutkan Lyotard, sebab beliau menulis Kondisi Postmodern). 



Untuk mencapai tujuan atau visi, memang harusnya setiap individu mengetahui tentang satuan kata (hal ini kembali kepada filsafat-bahasa, itulah yang mengkaji kuat, atau mendeklarasikan tentang persoalan zaman kontemporer ini berkaitan dengan ‘bahasa’ atau menjadi logo, atau symbol: hal itu, pada segi kehidupan praktis pun menjadi seperti itu: orang hidup sarat dengan symbol-simbol bahkan tentang perekonomian, sekarang bersikup pada nila-tanda atau nilai-simbol. Contoh: data-data uang yang ada di bank.), yang sebenarnya lagi (hehe banyak ‘benar’ yang saya sebutkan. Tapi inilah zaman sekarang, sering berkelit pada teks) pada akademisi, khususnya, sangat sibuk dengan pengertian dasar terhadap apa-apa yang hendak diucapkan.



Seperti tatkala membuat makalah, maka sudah pasti, diawali pengertian dasar dari awal kata. Namun, faktanya, hidup itu bukan sekedar kata-kata, sekali pun hidup bersarang dengan kata-kata. Maksudku, jalinan kehidupan atau perapatan (rapat) itu memang diawali dengan kata-kata, namun saat rapat itu, seringkali orang-orang kurang persiapan ketat terhadap apa yang diujarkan. Disinilah tentang pentingnya seleksi ujaran. Disinilah tentang pentingnya setiap kata pada realitas. di sinilah mengingatkan ulang tentang filsafat bahasa-biasa (bahasa keseharian). Dan disini jugalah, kita, sekali lagi diingatkan tentang panutan umat islam, kanjeng nabi:

Bahwa bisa jadi setiap apa yang kita ‘kerjakan’ menjadi sesuatu yang menjadi ‘tanda’. (Kenanglah pengertian hadist.)





Demikian.

Belum ada Komentar untuk "LOGOSENTRIS DALAM ISLAM"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel