POTRET KENYATAAN






Potret kenyataan, dan aku akan membahas tentang kenyataanmu, bukan tentang golongan atau kaum-kaum atau orang-orang lain, atau potret kehidupan orang yang tidak jelas siapa yang dibicarakan, karea aku akan memotret tetang kenyataanmu. Lihatlah:

Potret kenyataan adalah pengambilan gambar terhadap rangkaian yang tampak pada dirimu. Kenanglah, potret itu sekedar sesuatu yang itu diluar. Tidak sampai pada apa-apa yang kau pikirkan, lebih-lebih tidak sampai dengan apa yang hatimu rasakan. Melainkan tentang potret kenyataan yang Nampak padamu. Itulah kenyataanmu.

Kau terlihat, laksana orang yang tidak membutuhkan tetang harta. Itulah awalnya. Kau orang yang sederhana sekaligus ekslusif. Sebab pergerakan tubuhmu itu jarang, kecuali kau menerjuni pada sawahmu atau pada kelasmu. Kau sibuk pada duniamu, dunia kata-kata, dunia laptop.

Setiap hari kau senantiasa membuka laptopmu dan jari jemarimu bergerak laksana mempunyai mata, dan terlihat di layarnya begerak-gerak kata demi kata. Kau persis penulis, aktif. Penulis produktif. Yang mana menuliskan pengalaman demi pengalaman dan pendapat demi pendapat.

Pendapat tentang realitas yang terjadi. Pengalaman terhadap apa yang kau rasai. Pendek kata, kau meulis. Kau sibuk untuk menulis.

Selanjutnya, sesekali kau membaca. Kau membaca perihal tema-tema umum dan bahkan tema besar, tentang pergerakan dunia, tentang pemikiran kelas dunia, yang sebenarnya kau mencari arah tentang pembacaanmu, yakni membacai dirimu tentang bagiamana masa depanmu, masa sekarang yang kau jalani, yang mana sesekali kau mengorek-orek tentang perjalanan sejarah besar, dan bahkan sejarahmu sendiri. Itulah yang sering kau lakukan. Lalu kau bagikan kepada orang-orang, terkhusus kepada teman dialogmu, dialah gurumu, yang mana tujuan awal adalah laporan terhadap apa yang terjadi. Namun lamat-lamat, karena kau ditekan ekonomi atau materi, kau berpikir dengan jalan menulis itulah jalan pekerjaanmu, jalan untuk mendapatkan upah. Maka kau semakin gencar untuk menulis. Semakin gencar membagikan kepada gurumu. Lalu apa yang kau tulis:

Pertama, tentang keakuanmu, tentang proses pencarian keakuanmu, yang tujuannya tentu memberhentikan dirimu. Memberhetikan keakuanmu. Yang itu berefek pada,

Kedua, tentang sajak-sajak atau puisi, sebagai proses tentang pendapatan keakuan. Yakni, upayamu untuk mendapat keakuan. Yang berefek pada,

Ketiga, tentang nasihat-nasihat, yang itu menasihati dirimu, tentang seluruh kekomplekan yang terjadi pada keakuanmu. Kekomplekan yang tertangkap oleh pemikiranmu.

Begitulah potret dirimu. Lebih terjun pada keakuan dan perlamaan terhadap kesendirian, yang mana realitasmu kecil. Realitasmu kecil itu terjadi karena kau melihat ‘kebesaran’ yang itu ada di dalam diri. Sekali pun begitu, tentu kau mempunyai realitas inilah potretnya:

Kau bersibuk pada teman-temanmu. Sesekali kau berdialog dengannya. Sesekali kau menyampaikan pemikiranmu. Sesekali kau tawarkan keakuanmu. Sesekali kau menepi darinya. Lalu kau mengikuti acara-acara social, sekedar mengikuti, enggan sepenuhnya ‘masuk’ pada tataran social, karena kau meyadari bahwa statusmu masih terikat akan keformalan studymu.

Lalu kau bersibuk pada keluargamu. Dan kau bersibuk pada amal-amal ibadahmu. Yang lama-lama, mengantarkanmu pada rindu-rindu yang lain, rindu-rindu yang ganjil pada ibadahmu. Akhirnya, kau berpindah-pindah tempat untuk menjalankan ibadah. Yang sebenarnya kau juga mengetahui bahwa tujuan ibadah untuk dirimu sendiri, yang kemudian mengefek pada lingkungan social. Dan akhirnya, kau mengetahui, bahwa ternyata penyakit itu ada pada dirimu. Maka kau berdaya diri untuk ‘mengobati’ luka-luka yang ada pada dirimu. Untuk menjalani, jalinan kenyataan yang sereal mungkin.

Membutuhkan kerja dan mempertahankan tentang keberadaanmu.

Karena kau belum mempunyai keluarga sendiri, artinya kau yang memimpin rumah tanggamu, maka kau harus mengikuti prinsip-prinsip keluargamu. Awalnya sederhana, lamat-lamat, karena pemikiranmu mulai mengerucut pada keakuan: prinsip keluargamu mendadak terkesan payah. Itulah tanggapanmu. Padahal sebenarnya tidak seribet itu, karena kau menyadari bahwa kau kurang menerima realitas yang terjadi.

Dan sekarang, kau berusaha membenahi tentang keakuanmu. Berdaya diri menjalani kesederhanaan hidup dan penerimaan. Tapi itu bagimu masih payah. Payah karena pemikiran yang menumpuk-tumpuk dari dirimu.

Nasihatku, kejadian yang terjadi memang sudah begitu. Sekarang kau harus membenahi. Jangan secara spontan, perlahan-lahanlah. Terimalah kenytaan yang terjadi, dan sibuklah sekali lagi untuk meyelematkan dirimu. Itulah saran yang tepat untuk dirimu.

Realitasmu, jalanilah sebagaimana biasanya: hanya saja, sekarang, taruklah, lilahita’ala terhadap apa yang kau jalani. Ikhlaskan apa-apa yang kau kerjakan. Dan itu letaknya ada pada pikiranmu atau pada hatimu.

Jika kau bertanya, mengapa kau menasihatiku sepeti itu? Jawabku, karena aku ‘sibuk’ ranah agama, tentu jawabku sebagaimana kesibukanku. Ingatlah, kalimat ini: semua adalah milik-Nya, megapa kau gundah terhadap semua yang itu adalah milik-Nya dan tentu, semua itu adalah kuasa-Nya.

2017-10-13

Belum ada Komentar untuk " POTRET KENYATAAN "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel