MANUSIA PEKERJA





Orang-orang sibuk bekerja, di kantor-kantor, atau perusahaan atau di rumahnya sendiri. Mereka bekerja, lalu mendapatkan upah, mengirimkan barang, yang bertujuan untuk kebutuhan manusia: entah itu kebutuhan secara hiburan atau kebutuhan pokok manusia. Atau seperangkat pernak-pernik tentang keduniaan atau tentang perlengkapan ibadah.

Mereka tidak melanggar hukum Negara. Mereka juga tidak melanggar hukum agama.

Mereka berusaha, mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Untuk menyenangkan dirinya, menyenangkan anak-anaknya, menyenangkan keluarganya. Mereka berusaha, membuat sesuatu, promosi, mengikuti harga-harga pasar, dan mereka mendapatkan laba, dan mereka akan berkata:

“Aku berusaha mencari nafkah, tidak melanggar hukum Negara. Tidak melanggar hukum agama. Kita di Negara hukum.”

Mereka bekerja, membuat alat-alat hiburan, alat-alat yang menarik dan menyenangkan hati, mempromosikan, menjual di sekitarnya, atau lewat jalur internet, melintasi kecamatan, melintasi kabupaten, bahkan sampai ranah internasional dan mereka berkata:

“Aku berusaha mencari nafkah untuk anak dan isteri. Tidak melanggar hukum Negara. Tidak melanggar hukum agama.”

Dan mereka menunaikan tanggung jawab-tanggung jawab agama, agama islam, mereka mengucapkan syahadatain, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa, dan berhaji, bahkan mereka berumroh berulang-kali.  Tatkala azan tiba, mereka berbondong-bondong menuju masjid, tidak lupa memasukkan uang ke kotak amal. Dan mereka, seminggu sekali berkunjung ke rumah-rumah yatim piatu atau tempat panti jumpo. Selanjutnya, mereka angkrem pada pekerjaannya, mereka sibuk pada kerjaannya.

Mereka berbicara kepada rekan-rekan yang direktrut untuk bekerja. Mereka berkata-kata kepada rekan-rekannya. Mereka tersenyum. Mereka tertawa. Kadang mereka sedih karena ada yang berkhiatan. Kadang mereka kecewa karena ada yang menyelundupkan. Namun katanya, “Itu semua dikembalikan kepada Tuhan yang maha esa. Semua adalah milik-Nya. Semua, pada akhirnya telah ditentukan-Nya.” Lalu mereka menggelar perkara. Merekontruksi kejadian yang membuat mereka bersedih.

Mereka melaporkan pada petugas hukum. Mereka melaporkan pada penyidik. Di saat itulah, penyidik mendapatkan pekerjaan baru, yakni yang berkaitan dengan hukum. Sementara itu, aktivitas yang lain masih tetap saja bekerja: membuat sesuatu untuk dijual mendapatkan upah. Membuat sesuatu, entah itu tentang kebutuhan pokok atau sekunder. Yang pasti mereka bekerja. Mampu memutar-putarkan sesuatu untuk dipertahankan, yang itu berada di dunia, yang mungkin, tujuannya mempertahakan dirinya, mempertahakan perasaan-perasaan yang ada di dalam dirinya. Karena katanya,

“Aku bekerja mencari nafkah, tidak melanggar hukum Negara. Tidak melanggar hukum agama.”

Saat ada keluarganya, atau sanak-keluarganya, mereka, si pemilik perusahan, menyejenakkan waktu untuk sanak-keluarganya, yang kemudian mereka melanjutkan pekerjaan, melanjutkan aktivitas yang disebut kerja.  Mereka tidak melupakan agamanya, islam, saat azan di serukan mereka datang ke masjid, menjalankan shalat sunah, lalu sejenak membaca al-quran kemudian menjalankan shalat wajib, selepas itu, mereka sejenak membaca al-quran kembali. Hari-harinya begitu, sering-sering begitu, agak monoton, namun tangannya bermurah harta: mereka memberi hadiah kepada para muazin, para mubalig, para khatib, juga para imam, walau pun tidak setiap hari, setiap minggu, mungkin mereka mendatanginya, memberinya ala kadarnya, tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit sebagai tanda penghormataan atas apa yang dikerjakan orang-orang yang bersibuk pada agama. Katanya,

“Hadiah ini datang dari-Nya, yang itu harus melalui tanganku yang diserahkan kepadamu. Dan aku diberi kekuatan atau pendayaan untuk mencari harta, selebihnya aku membagikan kepadamu.”

2017

Belum ada Komentar untuk "MANUSIA PEKERJA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel