MANUSIA PEKERJA
Kamis, 05 Oktober 2017
Tambah Komentar
Orang-orang sibuk bekerja, di
kantor-kantor, atau perusahaan atau di rumahnya sendiri. Mereka bekerja, lalu
mendapatkan upah, mengirimkan barang, yang bertujuan untuk kebutuhan manusia:
entah itu kebutuhan secara hiburan atau kebutuhan pokok manusia. Atau
seperangkat pernak-pernik tentang keduniaan atau tentang perlengkapan ibadah.
Mereka tidak melanggar hukum
Negara. Mereka juga tidak melanggar hukum agama.
Mereka berusaha, mencari uang
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Untuk menyenangkan dirinya, menyenangkan
anak-anaknya, menyenangkan keluarganya. Mereka berusaha, membuat sesuatu,
promosi, mengikuti harga-harga pasar, dan mereka mendapatkan laba, dan mereka
akan berkata:
“Aku berusaha mencari nafkah,
tidak melanggar hukum Negara. Tidak melanggar hukum agama. Kita di Negara
hukum.”
Mereka bekerja, membuat alat-alat
hiburan, alat-alat yang menarik dan menyenangkan hati, mempromosikan, menjual
di sekitarnya, atau lewat jalur internet, melintasi kecamatan, melintasi
kabupaten, bahkan sampai ranah internasional dan mereka berkata:
“Aku berusaha mencari nafkah
untuk anak dan isteri. Tidak melanggar hukum Negara. Tidak melanggar hukum
agama.”
Dan mereka menunaikan tanggung
jawab-tanggung jawab agama, agama islam, mereka mengucapkan syahadatain,
mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa, dan berhaji, bahkan mereka
berumroh berulang-kali. Tatkala azan
tiba, mereka berbondong-bondong menuju masjid, tidak lupa memasukkan uang ke
kotak amal. Dan mereka, seminggu sekali berkunjung ke rumah-rumah yatim piatu
atau tempat panti jumpo. Selanjutnya, mereka angkrem pada pekerjaannya, mereka
sibuk pada kerjaannya.
Mereka berbicara kepada
rekan-rekan yang direktrut untuk bekerja. Mereka berkata-kata kepada
rekan-rekannya. Mereka tersenyum. Mereka tertawa. Kadang mereka sedih karena
ada yang berkhiatan. Kadang mereka kecewa karena ada yang menyelundupkan. Namun
katanya, “Itu semua dikembalikan kepada Tuhan yang maha esa. Semua adalah
milik-Nya. Semua, pada akhirnya telah ditentukan-Nya.” Lalu mereka menggelar
perkara. Merekontruksi kejadian yang membuat mereka bersedih.
Mereka melaporkan pada petugas
hukum. Mereka melaporkan pada penyidik. Di saat itulah, penyidik mendapatkan
pekerjaan baru, yakni yang berkaitan dengan hukum. Sementara itu, aktivitas
yang lain masih tetap saja bekerja: membuat sesuatu untuk dijual mendapatkan
upah. Membuat sesuatu, entah itu tentang kebutuhan pokok atau sekunder. Yang
pasti mereka bekerja. Mampu memutar-putarkan sesuatu untuk dipertahankan, yang
itu berada di dunia, yang mungkin, tujuannya mempertahakan dirinya,
mempertahakan perasaan-perasaan yang ada di dalam dirinya. Karena katanya,
“Aku bekerja mencari nafkah,
tidak melanggar hukum Negara. Tidak melanggar hukum agama.”
Saat ada keluarganya, atau
sanak-keluarganya, mereka, si pemilik perusahan, menyejenakkan waktu untuk
sanak-keluarganya, yang kemudian mereka melanjutkan pekerjaan, melanjutkan
aktivitas yang disebut kerja. Mereka
tidak melupakan agamanya, islam, saat azan di serukan mereka datang ke masjid,
menjalankan shalat sunah, lalu sejenak membaca al-quran kemudian menjalankan
shalat wajib, selepas itu, mereka sejenak membaca al-quran kembali.
Hari-harinya begitu, sering-sering begitu, agak monoton, namun tangannya
bermurah harta: mereka memberi hadiah kepada para muazin, para mubalig, para
khatib, juga para imam, walau pun tidak setiap hari, setiap minggu, mungkin
mereka mendatanginya, memberinya ala kadarnya, tidak terlalu banyak, tidak
terlalu sedikit sebagai tanda penghormataan atas apa yang dikerjakan
orang-orang yang bersibuk pada agama. Katanya,
“Hadiah ini datang dari-Nya, yang
itu harus melalui tanganku yang diserahkan kepadamu. Dan aku diberi kekuatan
atau pendayaan untuk mencari harta, selebihnya aku membagikan kepadamu.”
2017
Belum ada Komentar untuk "MANUSIA PEKERJA"
Posting Komentar