Ketenangan Diri




Saya membutuhkan ketenangan, itulah yang terjadi padaku, lebih mengurung diri dari sesuatu yang mengacaukan pemikiranku. Maksudku mengurung diri, berusaha sekali lagi untuk mengurusi diri saya sendiri: mengasihani diri saya sendiri, sekali pun hasilnya masih juga payah, tetap saja, saya berusaha untuk mendapatkan itu.



Saya tidak perduli tentang bagaimana semua ini berlaku

Yang saya perdulikan adalah bagaimana saya menjalani semua yang berlaku

Yakni menyikapi terhadap semua yang terjadi



Saya enggan dicubiti oleh hasrat ingin mengusai, hasrat ingin menang sendiri, hasrat ingin memiliki dan tetek bengek hal-hal yang membuatku galau untuk mengarah pada sesuatu yang kuarahkan, apa itu yang kuarahkan: yakni penyelamatan diriku. Dari apa? Dari pemikiranku.



Saya tahu, kecelakanku terletak pada pemikiranku.

Sakitku terletak pada pemikiranku.



Pemikirankanku adalah pemikiran khas sederhana dan biasa. Tidak muluk-muluk. Saya seringkali dibayangi dengan ketidak-tahuan akan kata-kata. saya dibayangi oleh masa depan yang tidak jelas arahnya; seakan saya hendak terburu mengetahui bagaimana hari esok. Seakan saya tidak menerima bahwa hari esok adalah misteri. Saya tidak menerima bahwa ini semua benar-benar takdirnya.



Hasilnya, saya persis pemberontak terhadap apa-apa yang telah terjadi. lebih-lebih parah lagi, itu penyakit pikiran. Oleh sebab itu, saya lebih mengurung diri; maksudnya mengurung pemikiranku.



Ketika saya menjalankan sesuatu, sekarang menjadi hal praktis. Begitu saja.

Ketika saya mendatangi sesuatu, menjadi hal yang praktis. Begitu saja.



Saya tidak menuntut lebih. Saya tidak mengharapkan lebih.



“Apakah hari ini kau marah, Taufik? Sehingga bahasamu terkesan kaku dan meledak-ledak yang tidak jelas.”



Jawab, “Mungkin aku marah. Tapi kenalilah, aku memarahi diriku yang sibuk dengan pemikiranku. Itulah arah kemarahanku.”



“Benarkah kau marah? Bisa jadi kau tidak marah, tapi berusaha mengetahui dirimu melalui amukan kata-katamu.”



Jawab, “Mungkin tepatnya saya tidak marah, merasa kesel dengan pemikiranku. Merasa kesel dengan sesuatu yang terpikirkan. Yakni, tentang larutan masa lalu dan dugaan masa depan: sementara keadaan hari ini, tidak jelas arahnya. Maksudku, saya belum terdiam untuk mengerjakan sesuatu.”



“Katakan padaku: apa maksudmu mengatakan, ‘terdiam untuk mengerjakan sesuatu.”



Jawab, “Saya belum mampu konsentrasi pada satu titik, dimana seluruh jiwa dan ragaku bergerak penuh.”

“Bukankah tatkala kau menulis seluruh jiwa dan ragamu bergerak penuh. Sesungguhnya apa yang kau maksud dengan gerakan itu? atau jangan-jangan, gerakanmu itu hendak mempengaruhi orang-orang; layaknya orang yang berkoar dan kata-katanya hendak dituruti, lalu kau berstatuskan yang mentereng dan orang-orang menghormatimu. Itukah hasrat ingin berkuasa. Atau kehendak ingin berkuasa.”



Jawab, “Ah sudahlah… biarkan aku menenangkan pemikiranku. Mungkin saat itu yang terjadi begitu dan itu mungkin salah. Karena aku tidak menyerahkan itu kepada-Nya, padahal aku beriman kepada-Nya. Sudahlah… biarkan aku konsentrasi kepada diriku sendiri, bersama realitasku. Bersama keadaanku.”



Akhirnya, saya menghibur diri dengan berkumpul dengan yang lain: sesekali berdialektika, sesekali sokratis, sesekali diam. Sesekali sekedar becandaan. Sesekali seriusan. Sesekali malas-malasan. Ah malas itu: pegilah. Pergilah. Jangan malas, tapi ganti dengan: sesekali hiburan, sesekali refresing. Begitulah.

Belum ada Komentar untuk " Ketenangan Diri "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel