Lupa Pelajaran
Jumat, 13 Oktober 2017
Tambah Komentar
“Untuk apa kamu sekolah?”
Jawab, “Untuk mencari ilmu.”
Setelah agak dewasa, setelah selesai dari bangku sekolah, mendadak ia merasa tidak memiliki pengetahuan yang ada di sekolahan. Mendadak ia ter-heng-kan dengan mata pelajaran-mata pelajaran. Ia mengikuti gerak-gerak waktu, menjadi penerus perjuangan ayah di sawahnya. Katanya dengan bangga menyebutkan, ‘perjuangan’.
Kemudian ia bertemu dengan laki-laki, rumahnya masih dekat dengannya. Kata si lelaki itu, membencandai. Hal itu terjadi karena ini pada acara nongkrong bersama. Atau pada acara nongkrong yang tidak disengaja.
“Jadi, kemana perginya pengetahuanmu?”
“Alah… mbuh di copet oleh ketidak-ingatan,” jawabnya.
Yang lain lagi menjawab, “Lupa.”
“Lupa,” kata si laki-laki yang bertanya, ia sering dijuluki lelaki aneh karena pertanyaan-pertanyaan anehnya tersebut, “memangnya kau taruk di mana pengetahuanmu?”
“Lho…,” jawabnya, “Memangnya pengetahuan itu suatu benda yang dengan mudah ditaruk.”
Si laki-laki membalas, “Jadi menurutmu pengetahuan itu bagaimana sehingga kau berkata bahwa pengetahuanmu itu lupa?”
Mereka mulai geram. Merasa aneh. Merasa terancam. Pemikiranya mulai tidak karuan-karuan. Terngiang jelas baginya, jika pengetahuan itu lupa, maka jawabnya penting diingat-ingat. Kalau kasusnya pengetahuan hilang. Berarti pengetahuan sekarang tidak memilikinya. Orang-orang enggan mengakui bahwa pengetahuan dirinya hilang.
Lalu laki-laki itu, orang-orang dikampusnya menyebutnya Socrates. Karena ia persis menjalankan sosok filsuf dari yunani itu, yakni bertanya-tanya pada sesuatu kemapanan.
“Apakah menurutmu pengetahuan yang telah diajari di bangku sekolah itu hilang?” kata si laki-laki itu.
“Hilang. Tidak mungkin. Pengetahuan itu terlupa.”
“Lupa,” kata si laki-laki itu, “Berarti bisa diingat kembali.”
“Terlalu payah itu diingat kembali. Terlalu banyak masalah yang dihadapi pada kenyataan.”
“Tidak mau mengingat atau melupakan pengetahuan?”
Pihak yang ditanyakan itu mendadak laksana terkena bom pertanyaan. Bom pertanyaan yang meledak di kepalanya sendiri. Mau marah, masak karena pertanyaan, lebih-lebih pertanyaan itu diarahkan untuk kepentingannya sendiri. Bukan kepentingan si penanya. Lalu si lelaki aneh itu pergi lagi, dan menanyakan hal yang agak serupa kepada yang lainnya.
“Berapa banyak pengetahuan yang tertampung pada dirimu?”
“Banyak sekali,” jawabnya.
“Berapa jumlahnya?”
Mendadak si pendengar itu merasa aneh dan ganjil dengan pertanyaan tersebut. Pikirannya mendadak awut-awutan dan segera ia mengeluarkan kata-kata yang agak kasar.
“Memangnya kita menghitung berapa banyak jumlah pengetahuan yang ditangkap oleh panca-indera. Yang didapati dari pengalaman dan tambahan pengetahuan. Memangnya pengetahuan itu laksana angka-angka yang bisa dihitung, padahal itu meresap di dalam diri, meresap di dalam tubuh. Pengetahuan itu, sesuatu yang berkaitan dengan saya tahu. Pengetahuan itu… ah sesungguhnya apa maksudmu bertanya seperti itu kepadaku?”
“Saya merasa ‘sedikit’ sekali pengetahuan yang tertangkap oleh panca-inderaku. Sekali pun hidupku berada di payung pendidikan. Sayang sekali, pengetahuan itu laksana pengangguran yang tersimpan di memori kepalaku. Ketika saya berdaya diri untuk mengingat pengetahuanku: mendadak, pengetahuanku awut-awutan. Tumpang-tindih. Tidak jelas.
Ketika saya menuliskan. Mendadak, pengetahuanku itu acak-acakan tidak jelas. Ketika ditelusuri lebih jauh, atau dipetak-petakan, ternyata banyak yang lupa. Lebih mending kalau lupa. Pengetahuan itu: hilang.”
“Pengetahuanmu hilang?” katanya, tertawa nyinyir. Cekakakan. Entah apa maksudnya. Iakah menertawakan dirinya sendiri. Atau menertawakan si laki-laki yang aneh, yang mempunyai pemikiran seperti itu. “Adakah yang mencuri? Atau dimana kau menaruhnya?”
Jawabnya, “Mending kalau ada yang mencuri. Saya yang menghilangkan. Saya pikir, otakku itu bocor, yang meneteskan tiap-tiap pengetahuan yang tertangkap.”
“Tunggu… tunggu… apakah pengetahuan yang kamu maksud itu adalah tiap-tiap kata, atau satuan kata?”
Jawabnya, “Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan itu adalah deretan kata-kata, atau satuan kata-kata?”
“Lha tadi kau berkata, bahwa otakmu laksana bocor. Bisa jadi, yang disebut pengetahuan itu adalah kata-kata atau bahkan tanda-tanda. Yang membocor dengan perlahan karena tidak kau tutup dari otakmu. Dan membiarkan satuan symbol (Nah ini diksi baru) tetes temetes pada tiap-tiap langkahmu.”
Jawabnya, “Bisa jadi begitu. pengetahuan adalah suatu kata atau satuan kata, atau symbol yang tertangkap oleh panca-indera. Bisa jadi begitu,” kata si lelaki itu, kemudian pamit dan merenungkan ulang tentang pengetahuan. Terlebih khusus, pengetahuan yang ada di dalam dirinya: yang kemudian, merembet pada orang-orang yang katanya mencari ‘pengetahuan.’
Lalu laki-laki yang bergaya laksana Socrates si filsuf yunani itu, bertanya lagi kepada pelajar.
“Hari ini apa yang kau dapat dari pengetahuan?”
Si pendengar mendengar aneh kalimat yang ditanyakan. Mendadak memincingkan mata. Si laki-laki itu mengulangi lagi.
“Maksud saya: apa yang kau dapat hari ini sebagai tambahan pengetahuanmu?”
“Oh,” jawabnya, “Kau bertanya hari ini kami belajar apa begitu?”
“Bukan… bukan itu maksudku. Maksudku, saat kau bertambah dengan pengetahuanmu masihkah kau teringat pengetahuan sebelum hari ini? bukankah sejak kecil kau sekolah. Masihkan kau ingat semua itu?”
Mendadak si pendengar merasa teranehkan. Pemikirannya merasa terancam. Terancam karena enggan menjawab: aku tidak ingat. Tentu, aku tidak ingat. Itu telah berlalu. Telah sekian lama. Terlalu banyak untuk ditampung semua. Terlalu banyak untuk diingat semua.
Kemudian si lelaki itu pamit. Dan menanyakan ulang kepada dirinya. Melihat cermin dan membatin:
“Sesungguhnya untuk apa pengetahuan buatmu, kawan? Kenapa kau tertarik dengan sesuatu yang bernama pengetahuan dan sibuk pada satuan kata terhadap pengetahuan.”
Jawab, “Aku mungkin tertarik dengan tema kesadaran. Termasuk menyadarkan diri saya sendiri. Karena masalah zaman sekarang, bukan tentang pengetahuannya: tapi, apakah manusia benar-benar menjalankan terhadap pengetahuan yang didapatkan. Atau apakah manusia benar-benar menerapkan pengetahuan yang diingatkan. Maksudku, saat semua selaras menyukai pengetahuan: tentu orang-orang yang berpengetahuan akan dihormati.”
“Bukankah sejauh ini orang-orang berpengetahuan selalu dihormati?”
Jawab, “memang benar. Tapi, apakah orang-orang yang berpengetahuan melihat secara terang, orang-orang diajarkan itu: sudahkah mereka benar-benar menerapkan apa yang dipelaji, atau setidaknya menjadi cita-cita dari apa yang dikabarkan untuk diketahui. Ah cermin. Pergilah. Aku lelah. Aku ingin istirahat.”
Lelaki itu pun melupakan tentang semua yang pernah terjadi.
2017
“Lupa,” kata si laki-laki yang bertanya, ia sering dijuluki lelaki aneh karena pertanyaan-pertanyaan anehnya tersebut, “memangnya kau taruk di mana pengetahuanmu?”
“Lho…,” jawabnya, “Memangnya pengetahuan itu suatu benda yang dengan mudah ditaruk.”
Si laki-laki membalas, “Jadi menurutmu pengetahuan itu bagaimana sehingga kau berkata bahwa pengetahuanmu itu lupa?”
Mereka mulai geram. Merasa aneh. Merasa terancam. Pemikiranya mulai tidak karuan-karuan. Terngiang jelas baginya, jika pengetahuan itu lupa, maka jawabnya penting diingat-ingat. Kalau kasusnya pengetahuan hilang. Berarti pengetahuan sekarang tidak memilikinya. Orang-orang enggan mengakui bahwa pengetahuan dirinya hilang.
Lalu laki-laki itu, orang-orang dikampusnya menyebutnya Socrates. Karena ia persis menjalankan sosok filsuf dari yunani itu, yakni bertanya-tanya pada sesuatu kemapanan.
“Apakah menurutmu pengetahuan yang telah diajari di bangku sekolah itu hilang?” kata si laki-laki itu.
“Hilang. Tidak mungkin. Pengetahuan itu terlupa.”
“Lupa,” kata si laki-laki itu, “Berarti bisa diingat kembali.”
“Terlalu payah itu diingat kembali. Terlalu banyak masalah yang dihadapi pada kenyataan.”
“Tidak mau mengingat atau melupakan pengetahuan?”
Pihak yang ditanyakan itu mendadak laksana terkena bom pertanyaan. Bom pertanyaan yang meledak di kepalanya sendiri. Mau marah, masak karena pertanyaan, lebih-lebih pertanyaan itu diarahkan untuk kepentingannya sendiri. Bukan kepentingan si penanya. Lalu si lelaki aneh itu pergi lagi, dan menanyakan hal yang agak serupa kepada yang lainnya.
“Berapa banyak pengetahuan yang tertampung pada dirimu?”
“Banyak sekali,” jawabnya.
“Berapa jumlahnya?”
Mendadak si pendengar itu merasa aneh dan ganjil dengan pertanyaan tersebut. Pikirannya mendadak awut-awutan dan segera ia mengeluarkan kata-kata yang agak kasar.
“Memangnya kita menghitung berapa banyak jumlah pengetahuan yang ditangkap oleh panca-indera. Yang didapati dari pengalaman dan tambahan pengetahuan. Memangnya pengetahuan itu laksana angka-angka yang bisa dihitung, padahal itu meresap di dalam diri, meresap di dalam tubuh. Pengetahuan itu, sesuatu yang berkaitan dengan saya tahu. Pengetahuan itu… ah sesungguhnya apa maksudmu bertanya seperti itu kepadaku?”
“Saya merasa ‘sedikit’ sekali pengetahuan yang tertangkap oleh panca-inderaku. Sekali pun hidupku berada di payung pendidikan. Sayang sekali, pengetahuan itu laksana pengangguran yang tersimpan di memori kepalaku. Ketika saya berdaya diri untuk mengingat pengetahuanku: mendadak, pengetahuanku awut-awutan. Tumpang-tindih. Tidak jelas.
Ketika saya menuliskan. Mendadak, pengetahuanku itu acak-acakan tidak jelas. Ketika ditelusuri lebih jauh, atau dipetak-petakan, ternyata banyak yang lupa. Lebih mending kalau lupa. Pengetahuan itu: hilang.”
“Pengetahuanmu hilang?” katanya, tertawa nyinyir. Cekakakan. Entah apa maksudnya. Iakah menertawakan dirinya sendiri. Atau menertawakan si laki-laki yang aneh, yang mempunyai pemikiran seperti itu. “Adakah yang mencuri? Atau dimana kau menaruhnya?”
Jawabnya, “Mending kalau ada yang mencuri. Saya yang menghilangkan. Saya pikir, otakku itu bocor, yang meneteskan tiap-tiap pengetahuan yang tertangkap.”
“Tunggu… tunggu… apakah pengetahuan yang kamu maksud itu adalah tiap-tiap kata, atau satuan kata?”
Jawabnya, “Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan itu adalah deretan kata-kata, atau satuan kata-kata?”
“Lha tadi kau berkata, bahwa otakmu laksana bocor. Bisa jadi, yang disebut pengetahuan itu adalah kata-kata atau bahkan tanda-tanda. Yang membocor dengan perlahan karena tidak kau tutup dari otakmu. Dan membiarkan satuan symbol (Nah ini diksi baru) tetes temetes pada tiap-tiap langkahmu.”
Jawabnya, “Bisa jadi begitu. pengetahuan adalah suatu kata atau satuan kata, atau symbol yang tertangkap oleh panca-indera. Bisa jadi begitu,” kata si lelaki itu, kemudian pamit dan merenungkan ulang tentang pengetahuan. Terlebih khusus, pengetahuan yang ada di dalam dirinya: yang kemudian, merembet pada orang-orang yang katanya mencari ‘pengetahuan.’
Lalu laki-laki yang bergaya laksana Socrates si filsuf yunani itu, bertanya lagi kepada pelajar.
“Hari ini apa yang kau dapat dari pengetahuan?”
Si pendengar mendengar aneh kalimat yang ditanyakan. Mendadak memincingkan mata. Si laki-laki itu mengulangi lagi.
“Maksud saya: apa yang kau dapat hari ini sebagai tambahan pengetahuanmu?”
“Oh,” jawabnya, “Kau bertanya hari ini kami belajar apa begitu?”
“Bukan… bukan itu maksudku. Maksudku, saat kau bertambah dengan pengetahuanmu masihkah kau teringat pengetahuan sebelum hari ini? bukankah sejak kecil kau sekolah. Masihkan kau ingat semua itu?”
Mendadak si pendengar merasa teranehkan. Pemikirannya merasa terancam. Terancam karena enggan menjawab: aku tidak ingat. Tentu, aku tidak ingat. Itu telah berlalu. Telah sekian lama. Terlalu banyak untuk ditampung semua. Terlalu banyak untuk diingat semua.
Kemudian si lelaki itu pamit. Dan menanyakan ulang kepada dirinya. Melihat cermin dan membatin:
“Sesungguhnya untuk apa pengetahuan buatmu, kawan? Kenapa kau tertarik dengan sesuatu yang bernama pengetahuan dan sibuk pada satuan kata terhadap pengetahuan.”
Jawab, “Aku mungkin tertarik dengan tema kesadaran. Termasuk menyadarkan diri saya sendiri. Karena masalah zaman sekarang, bukan tentang pengetahuannya: tapi, apakah manusia benar-benar menjalankan terhadap pengetahuan yang didapatkan. Atau apakah manusia benar-benar menerapkan pengetahuan yang diingatkan. Maksudku, saat semua selaras menyukai pengetahuan: tentu orang-orang yang berpengetahuan akan dihormati.”
“Bukankah sejauh ini orang-orang berpengetahuan selalu dihormati?”
Jawab, “memang benar. Tapi, apakah orang-orang yang berpengetahuan melihat secara terang, orang-orang diajarkan itu: sudahkah mereka benar-benar menerapkan apa yang dipelaji, atau setidaknya menjadi cita-cita dari apa yang dikabarkan untuk diketahui. Ah cermin. Pergilah. Aku lelah. Aku ingin istirahat.”
Lelaki itu pun melupakan tentang semua yang pernah terjadi.
2017
Belum ada Komentar untuk " Lupa Pelajaran"
Posting Komentar