ALASAN KULIAH FILSAFAT







saya berusaha memahami kenapa orang bertanya hal itu, tentu mereka berusaha bertanya kalimat dasar, mengapa kau kuliah filsafat. Lalu dia akan bertanya sesunguhnya alasanmu apa sehingga kau harus memilih kuliah filsafat?

Mungkin lebih tepat, mengapa saya kuliah filsafat, karena saya terinspirasi dengan pengasuh saya, yang itu kuliah di jurusan filsafat. Itulah alasan yang paling mendasar, mengapa saya kuliah filsafat.

Sebab saya melihat guru saya—guru saya menjadi jawaban yang utama mengapa kuliah tersebut, sekali pun saya tidak mengetahui persis tentang isu filsafat—dan itu menjadi figure utama kuliah filsafat. Menjadi tokih utama untuk kulaih filsafat.

Hingga kemudian, jika ada yang bertanya, sesungguhnya bagaimana dengan gurumu sehingga kau menjadikan dia tokoh utama untuk kuliah filsafat?

Jawabnya, dia berpikir yang simple—itulah anggapanku melihatnya. Dia terlihat tenang dan mapan. Dia terlihat santai dan mudah menjalani kehidupan. Dia tidak kaku menjalani kehidupan.

Itulah anggapan tatkala aku melihatnya. Lebih-lebih, tatkala saya bertanya, mengapa kau memilih kuliah filsafat? Jawabnya, saya kuliah untuk pikiran saya. Saya kuliah karena ingin berbeda, itu saja.

Hingga kemudian, saya memutuskan untuk kuliah filsafat. Saya memutuskan—artinya, keputusan di dalam pikiran saya untuk kuliah filsafat, yang sebelumnya, saya berusaha untuk melanjutkan kuliah. Inilah kepermulaan tatkala saya berbicara tentang kuliah: kuliah PAI saya merasa hampa dan datar, saya menjalani kuliah PAI laksana pelajaran yang dasar dan biasa-biasa saja, saya tidak mempunyai daya tarik yang lebih untuk kuliah PAI, akhirnya saya bermalas-malasan kuliah. Hingga kemudian, saya berusaha mendaftarkan diri di UIN SUKA, Yogyakarta, alasannya karena di sana adalah pusat keperjawaan, pusat perlajuan terhadap sesuatu yang itu digerakan oleh seni. Ringkas kata, saya berusaha membenahi system saya, dengan mematuhi system baru, yakni hendak kuliah di Yogyakarta.

Ternyata, waktu tidak mendukung untuk memasukkanku di Yogyakarta, pada saat test masuk, saya bangun kesiangan. Walhasil, saya tidak ikut serta test masuk kuliah. Sekali pun waktu itu, saya ikut test, yakni teks yang kedua. Akhirnya saya tidak diterima juga.

Test kedua adalah test tentang jurusan, dan saya memilih jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, karena pikiran saya, karakteristik saya agak menyukai sejarah, selain itu, saya senantiasa mengidam-idamkan keislaman. Tentu lagi, pergerakan tubuh saya pada ranah seni, tentu saya memilih kebudayaan. Logo kebudayaan untuk dijadikan sasaran masuk kuliah.

Ternyata, saya tidak tidak terima. Dan saya mengadu kepada pengasuh saya—dialah guru saya; status guru, karena beliau yang mengasuh di mana saya tinggal di pondok pesantren—saya dimarahi, artinya saya dipertanyakan, beliau berkata: mengapa tidak bicara sama saya kalau mau kuliah. Piker saya, saya akan memberikan kejutan kepadanya, dengan mengatakan: saya sekarang kuliah di UIN SUKA, Pak. Tapi ternyata, saya tidak terima.

Dan ketika proses dimarahi, saya merasa pikiran saya hank, artinya, laksana kosong dan tidak tahu arah yang hendak dituju. Pikiranku laksana campur-baur tidak karuan. Saya tidak mempunyai daya untuk mempertahakan diri; tidak mempunyai daya untuk berpikir yang kencang, maka saya meminta nasihat darinya: yang intinya, seharusnya saya menempuh kuliah apa? Jawabnya, filsafat.

Sejak saat itu, saya terpikirkan untuk kuliah filsafat. Saya mencari tahu untuk mengikuti kuliah filsafat, dan yang saya pilih kuliah filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, itulah pilihan satu-satunya, karena disana murni kuliah filsafat. Sementara pikiran saya, laksana terberatkan dengan istilah ‘islam’. Pikir saya, kalau saya mau kuliah filsafat, saya mau kuliah filsafat murni, tidak ada cabang tentang keagamaan.

Bersamaan dengan itu, saya memegang kuat-kuat keinginan untuk kuliah filsafat. Entah apa pun itu resikonya. Saya kuliah filsafat. Entah apa itu yang ada di dalamnya, entah apa pun itu resikonya, saya tetap mau kuliah filsafat. Dan tidak ada sesuatu yanglain untuk dituju kecuali STF Driyarkara. Dengan alas an utama, karena guru saya dilatar belakangi kuliah filsafat; maka tentu aku mengikutinya.

Apakah persis mengikutinya? Jawabku, tidak, agak berbeda. Karena kami orang yang berbeda. Tentu saya tidak mampu mengikutinya secara total. Namun sama-sama kuliah filsafat. Itulah pilihanku.

Jika ditanya, apa alasan kau kuliah filsafat?

Jawabku, karena guruku kuliah di filsafat.

2017

Belum ada Komentar untuk " ALASAN KULIAH FILSAFAT "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel