MENCINTAI Tanah Air: Menjadi islam yang Realistis Seperti Era Kanjeng Nabi





Taufik, mencintai tanah air, begini saja, tidak usalah kau repot-repot untuk mencintai sesuatu yang besar, apalagi sekelas nasional, apalagi sekelas internasional, namun cintailah dirimu sendiri—sebab aku melihat bahwa kau mengabaikan untuk mencintai dirimu sendiri, dank au sibuk laksana mencintai orang lain—selamatkan dirimu (yakni selamat ragamu dan selamat jiwamu), lalu selamatkan keluargamu, lalu kerabat-kerabatmu, lalu sekelas desamu, lalu sekelas kecamatanmu, lalu sekelas kabupaten, lalu sekelas provinsi, lalu sekelas seluruh negeri.

Namun tangga itu,harus kau tunaikan perlahan-lahan dan bertahap demi bertahap. Yang inti utama, mencintai dirimu, dimana pun kau berada: cintailah dirimu. Apakah berarti kau harus mengatakan kepada dirimu:

“Oh diriku, Taufik, aku mencintaimu. Maukah kau menerima cintaku?”

Sekarang, kenanglah tokoh utama kita, kanjeng nabi, yang diutamakan itu, tentang kelompok yang kecil dulu, baru setelah kemenangan kelompok kecil, merembet kepada yang lebih besar. Bukankah begitu gaya kanjeng nabi menyampaikan islam? Mari kita simpelkan pembicaraan dengan menepiskan diksi islam, aku khawatir kau terlalu focus terhadap keislaman, sementara yang kita bicarakan ini tentang hidup yang realistis. Hidup yang berfakta dan disana keilmuan islam itu diterapkan.

Perhatikanlah, tatkala pengetahuan keislamanmu itu diterapkan, pengetahuan islam yang mereferensikan kanjeng nabi—maka secara otomatis, kau menjadi pengganti dari kanjeng nabi. Nah itulah tanggung jawabmu: apakah kau mampu tatkala dirimu sekarang kau perankan menjadi kanjeng nabi? Yang setiap tindakanmu diawasi. Setiap perkataanmu diawasi lalu diikuti. Inilah pengertian dari hadist.

Lebih-lebih di zaman yang pengetahuan itu telah terbuka, maka kau harus menyusun kalimat demi kalimat, lalu apakah seluruh kalimatmu itu mampu terekam oleh pikiran manusia? Pikiran manusia yang itu dekat denganmu. Lebih-lebih dirimu, yang seringkali dan suka berkata-kata, berkalimat demi kalimat, yakni menulis: apakah manusia itu mampu mengingat apa-apa yang kau sampaikan itu? Akhirnya, yang kau sampaikan itu terlalu rapat dan membinngungkan, sementara daya tangkap pemikiran itu: praktis dan realistis. Mudah di mengerti dan tidak bertele-tele—kenanglah tentang hadist-hadis yang kamu pelajari, bukankah kitab hadist itu kalimat-kalimat yang tidak payah untuk dihapal. Kalimat-kalimat yang menyangkut hal praktis dan realistis.

Dan sekarang, maksudku, menjadi islam yang realistis seperti era kanjeng nabi, begini:

Hiduplah pada kenyataanmu, yang di sana, kau terapkan pengetahuan tentang islam, islam yang fakta, yakni akidah dan akhlak. Akidah siapa? Yakni aqidahmu. Akhlak siapa? Yakni akhlakmu. Karena aku melihat kau mengabaikan tentang dirimu, tentang akidahmu, tentang akhlakmu dan tentang keislamanmu; selanjutnya, jika kau telah ‘merdeka’ dengan dirimu, maka keluargamu itulah tanggung jawabmu; dank au tidak boleh memaksakan mereka, tidak boleh menurut kehendakmu. Jika keluargamu selesai, maka tugasmu kepada kerabat-kerabatmu. Jika selesai, maka tugasmu tetap mengontrol tentangmu, keluarga, dan kerabatmu,yang kemudian kau akan mengabarkan kepada orang-orang di desamu. begitulah tangga-tangga yang terjadi, begitulah proses-proses yang harus kau tempuh. Dengan seperti itu, pastilah kau akan uprek dan upyek di lingkunganmu. Jika lingkunganmu ‘merdeka’ maka secara otomatis, kau akan merembet kepada lingkungan yang lebih besar. Artinya, kau jangan terburu-buru untuk memikirkan yang besar sementara kau kepayahan dengan dirimu yan g kecil.

2017

Belum ada Komentar untuk " MENCINTAI Tanah Air: Menjadi islam yang Realistis Seperti Era Kanjeng Nabi "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel