Biasa Sajalah






Aku semakin entah terhadap kenyataan. Yakni, kenyataan yang terstuktur, dibanding kenyataan yang terstuktu itu aku lebih memilih menjadi kenyataan yang tidak terstuktur. Kenyataan yang bebas, kenyataan yang tidak berkenalan dengan ora:ng-orang. Kenyataan yang tidak saling membutuhkan. 



Dan aku berpikir, bahwa kehidupanku senantiasa bergerak pada satu kejadian yang itu mengikuti pola-pola yang tidak berkepentingan. 



Kehidupanku menjadi sangat-sangat monoton dan perihal dasar-dasar, sangat-sangat dasar, hanya saja, lebih menyendiri dan mengetuk pintu diriku, mengetuk pintu pemikiranku. Pemikiranku laksana hampa dengan sesuatu yang aku lihat, yang itu menjalin-jalin itu.



Aku malah tertarik untuk membenahi diri. Berbenah diri dan itu di dalam, yang mana di sana aku melakukan suatu pekerjaan yang setidaknya tercukupkan oleh diriku. Para pedagang adalah para pedagang yang menjalankan perannya sebagai usaha untuk berdagang. Pada pedagang menjadi para pedagang. Aku menjadi apa? Apa? Apa? 



Maka datanglah Penasihatku, menyusup lewat jari-jemariku, dan merangkaikan kata yang itu ditunjukan kepadaku:



Taufik, apa yang terjadi kepadamu? ya, apa yang terjadi pada pemikiranmu. apakah pemikiranmu hancur bersama visimu. Bersama tujuanmu. Apakah kau lupa terhadap tujuanmu itu? apakah kau akan berkata, bahwa tujuanmu itu adalah Allah—oh sungguh tujuan yang mulia. Tapi kenalilah, bahwa kau sekarang masih di dunia taufik. Kau masih hidup. Kau masih mempunyai ikatan demi ikatan. Kau mempunyai tugas demi tugas.



Apakah kau lupa dengan tugasmu. Atau kau pura-pura menghelak dari pertugasanmu itu. atau kau pura-pura melupakan, yang sebenarnya tugasmu itu mengendap di dalam pikiranmu, namun gerak-gerikmu tidak berdaya-sungguh untuk mengerjakan tugasmu, dan jadilah kau orang yang bermalas-malasan, malas atas tanggung jawabmu. 



Ataukah, kau terdesak dengan kepemilikan, dengan harta, dengan sesuatu yang bernama pekerjaan. 



Apakah kau lupa rumus-rumus dasar dari harta? Dari pekerjaan? Aku pikir, pemikiranmu telah matang. Telah dewasa. Tapi ternyata, pemikiranmu begitu lemah dan leseh terhadap fakta-fakta yang menghampiri, terhadpa kata-kata yang menyusup pada pemikiranmu.



Lalu, sekarang, kau anggap dirimu laksana tidak berguna. Tidak bermanfaat. Sangat-sangat tidak bermanfaat. Itu kan katamu, Taufik. Katamu karena kau ragu dengan apa-apa yang menjadi ketetapan untukmu. 



Tidakkah kau ingat bahwa rumus-rumus yang kau pelajari dariku adalah sesuatu yang simpel dan sederhana:



Kalau kau didera penyakit-harta? Jawabnya, carilah harta.

Kalau kau didera miskin? Jawabnya, jadilah kaya.

Kalau kau dikenai PR? Jawabnya, kerjakanlah.



Dan aku selalu tidak menuntutmu untuk menjadi sesuatu yang hebat, yang terpuji, yang terhormat, yang terkaya atau yang ter-ter-ter lainnya. Jadilah biasa. Biasa sajalah menyikapi seluruh gerak-gerik dunia, biasa sajalah menyikapi perubahan zaman. bukankah kau tahu bahwa manusia itu membutuhkan kerja? Maka kerjalah. Bukankah kau tahu bahwa manusia itu membutuhkan sentuhan rohani? Maka ibadahlah.



Lebih-lebih, terhadap watak manusia. Kau juga mengetahui: bahwa adakalanya manusia itu mengeluh, wajar, Taufik. Manusia itu bersedih, wajar, Taufik. Manusia itu gembira, wajar, Taufik. Oleh karena itu, nikmatilah kehidupanmu saat ini, Taufik. Dan tetaplah kau ingat, bahwa semua, ingat semua, Fik, semua itu adalah milik-Nya. Tanamkan itu di dalam pikiranmu. Tanamkan keimanan dasar kepada pemikiranmu: semua adalah milik-Nya. Maka jadilah, orang yang biasa, Taufik. Jadilah orang yang biasa.



2017 







Belum ada Komentar untuk "Biasa Sajalah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel