Yang Menyangkal Kewajiban Shalat
Rabu, 22 November 2017
Tambah Komentar
Saya sendiri, belum merasakan bahwa shalat itu kewajiban, sekali pun saya mengetahui bahwa shalat itu benar-benar kewajiban, yakni sesuatu yang diwajibkan bagi orang muslim, bagi saya. Ini sebuah pengakuan. Pengakuan yang terbuka. Pengakuan bahwa saya belum merasakan sesuatu yang itu disebut dengan kewajiban.
Jika dilibatkan kenyataanku, dan ada yang berkata atau bicara, “Wah kuliahmu itu tidak benar. Kuliah filsafat, itu kuliah yang tidak benar. Sungguh tidak benar, masak hal yang dasar itu kau pertanyakan. Hal yang dasar itu kau tidak mengetahui. Bahkan kau mempertanyakan tentang dirimu, tentang shalatmu, jangan-jangan kelak kau akan mempertanyakan tentang Allah. Masyallah.”
Mendengar itu, saya tentu akan menerima apa yang dia katakan. Saya tidak akan membantah apa yang dia bicarakan. Toh itu pembicaraannya, sementara saya mengungkapkan lewat kata-kata. Jika dia terus meneterku dan berdaya diri untukku menjawab dengan jawaban yang praktis, yang dengan balasan kata-kata, atau balasa bicara. Maka saya akan lebih menghindar untuk menjawab bicara mereka.
Pikirku, mengapa kau tidak menuliskan kritikmu melalui tulisan. Tentu saya akan menerima nasihatmu. Bukankah kau hendak menasihatiku, tentu nasihatilah saya, sambil menuliskan:
Shalat fardu itu kewajiban, Taufik, maka baiknya kau tidak harus mempertanya atau bahkan menyangkal tentang kewajibannya. Dan orang-orang pun telah mengetahui itu. Jika kau melihat fakta, masih ada orang yang tidak menjalankan shalat wajib itu, maka tugasmu mengingatkan. Tugasmu memberi kabar bahwa shalat fardu itu wajib.
Kenalilah sejarah keberadaan shalat fardu, tidak seketika, mak-glezeg langsung diadakan. Melainkan ada proses sebelum terjadi keberadaan shalat fardu (ini tentang pengetahuan sejarah, Taufik. Pembicaraan terhadap kronology agama islam), yakni kaum muslim harus beriman dulu. Melakukan serangkaian proses keimanan. Itulah yang penting kau sadari, yang penting kau ketahui.
Saat keimanan orang telah sempurna, maka barulah bisa menerima dengan lapang tentang sesuatu yang diwajibkan. Jika belum sempurna, maka kepenerimaan tentang sesuatu yang telah disepakati akan menjadikan orang ‘turut serta’ menjalankan keislamannya. Apakah itu salah? Tentu, salah benar itu jawaban hokum, Taufik.
Secara teori, secara data-data keislaman, tidak menjalankan shalat fardu, itu hukumnya tidak boleh. Karena ini perkara fardu. Perkara yang wajib.
Namun untuk lebih memudahkanmu, tunaikanlah agama semampu dayamu, Taufik, artinya, jangan jadikan agama itu sesuatu yang memberatkan, tentu kau sambil berdoa keapda tuhah, supaya tidak memberatkan (dari beban-beban pikiranmu) dirimu menunaikan.
Kenanglah juga, bahwa Kanjeng Nabi itu orang yang bijak, Taufik. Andaikan, jika kau bertemu dengan kanjeng nabi, lalu apakah yang akan dikatakan padanya yang itu ditunjukan kepadamu.
Kira-kira apa yang akan dikatakan kanjeng nabi saat beliau melihatmu? Apa yang akan disampaikan kanjeng nabi tatkala kau mendatangi beliau, sambil mengatakan:
“Kanjeng Nabi, saya tahu bahwa shalat fardu, tentu itu shalat fardu, yakni shalat yang diwajibkan. Namun mengapa saya merasa belum membutuhkan bahwa itu sesuatu yang diwajibkan, seakan-akan aku laksana terpaksa untuk menjalankan. Maksudku, sesekali saya merasa terpaksa menjalankan, karena khawatir dianggap orang saya menentang ajaranmu. Dan sesekali saya merasa bahwa shalat itu menganggu aktiftasku, itulah kejadiannya, bahwa dengan keberadaan shalat saya merasa terikatkan dengan shalat itu; sekali pun saya mengetahui bahwa shalat fardu itu wajib. Namun saya belum ‘mendapatkan’ kewajiban itu. Ajarkanlah dan doakanlah kepadaku, supaya aku mampu menjalankan itu dengan tanpa keraguan.”
Pikirkanlah, kira-kira apa yang dikatakan kanjeng nabi untukmu. Pikirkanlah. Lebih tepatnya, Taufik, shalat wajib itu, awalnya terkesan mudah, namun itu tidak semudah yang orang-orang katakan. Mungkin si penceramah-penceramah itu, lebih-lebih mereka tidak begitu memahami ilmu-Nya secara sungguh, maka menyampaikannya pastilah terkesan menggampangkan. Padahal, ketika kau menjalani:
Shalat wajib, jika dilakukan satu hari. Mungkin biasa. Namun jika dilakukan terus menerus, tentu kau mengerti masalah yang terjadi di sana: entah itu godaan pemikiran, atau eluhan terhadap kenyataan, atau godaan yang datang untuk menghancurkan amal-amal dan bahkan menyombongkan, membanggakan apa yang dikerjakan.
Maka sekarang, saranku kepadamu: jalanilah menurut kadar kualitasmu. Kayaknya saranku itu terkesan sepele, namun amatilah sekali lagi tentang apa yang saya sampaikan. Begitu ya.
2017
Belum ada Komentar untuk " Yang Menyangkal Kewajiban Shalat "
Posting Komentar