MENYIKAPI ORANG TUA


kau telah mengetahui tentang orang tuamu, tentang karakternya, tentang sifatnya, tentang pola-polanya,dan aku menyampaikan kepadamu—sebenarnya tidak perlu disampaikan, karena kau telah mengetahui, tepatnya mengingatkan—maka kasihanilah orangtuamu sebagaimana dulu dia mengasihimu di kala kecil. Kenanglah, proses-proses anak kecil, begitu jugalah yang dilakukan orang tua kepada dirimu. Dia mengandungmu selama 9 tahun, lalu saat proses setahun atau dua tahun, kau senantiasa berada pada didikan kedua orang tuamu; mereka melihatmu mengompol, berak, menyuapi, memamahkan makanan, menyusui dan membecandai dirimu. Begitulah peran orang tua.

Dia menjagamu dari orang-orang yang berusaha mencederaimu.

Dia menjagamu dari orang-orang yang berusaha mencelakaimu.

Begitulah peran orang tua, ingatlah-ingatlah. Lebih-lebih kehidupanmu itu, tergambarkan jelas tentang bagaimana proses orang tua mendidik, bagaimana orang tua mengasihi, pastilah tidak jauh-jauh seperti itu;maka sekarang, tugasmu adalah mengasihi orang tuamu sebagaimana dulu mereka mengasihimu di kala kecil.

Jika pada prosesnya—artinya engkau menjadi dewasa—dan terbiarkan bergitu adanya, yang kemudian membentuk watak dan sifatmu, dan segala jenis rangkaian kehidupanmu; itulah kehidupanmu. Kenanglah, tuntutan orang tua itu berdaya supaya anaknya menjadi lebih baik. anaknya menjadi orang yang berkehidupan baik. Tidak payah, tidak ribet. Tidak menderita, tidak sengsara. Tujuannya: supaya anak-anaknya sejahtera. Begitulah tuntutan orang tua.

Sejarahtera pada arti apa? Yakni sejahtera secara materi dan ruhani, itulah harapannya. Sejahtera materi adalah anak tercukupkan dengan materinya, yakni sesuatu yang berkaitan dengan penampakan. Anak tidak kepayahan menjalani tradisi kemanusiaan. Selain itu, anak sejahtera dari ruhani, yakni beragama, yang tentu taat kepada Allah, dan berujung pada taat kepada orang tua. Menyayangi orang tuanya. Dan hal itu terjadi, karena orang tua berbackrone orang beragama. Maka tuntutan utamanya juga tentang keagamaan. Dan setiap pembicaraan tentang keagamaan, pastilah berujung pada ruhani.

Sebagaimana kau telah mengkaji, bahwa proses kehidupan itu senantiasa diramaikan dua hal, yakni filsafat dan agama. Pembicaraan tentang filsafat, tentulah diarahkan pada materi, sementara agama di arahkan pada ruhani. Kebijakan yang ditawarkan filsafat, tentu kebijakan secara materi, dan kebijakan yang ditawarkan agama tentu diarahkan secara ruhani, yakni jiwa di dalam dirinya manusia.

Apakah berarti keagamaan selalu berkaitan dengan ruhani dan tidak memperhatikan tentang materi? Jawabnya, tentu agama itu juga berakaitan dengan keduanya. Sebab, materi itu wadahnya dari ruhani. Jika materi tidak ada, maka ruhani tidak dapat dikatakan ruh yang sempurna. Artinya, manusia tinggal menjadi ruh. Namun, hal itu dapat dikatakan manusia, jika terdapat: materi dan ruhani. Begitulah manusia.

Selanjutnya, apakah filsafat senantiasa diarahkan pada materi dan tidak memperhatikan tentang ruhani? Jawabnya, tentu filsafat itu juga berkaitan dengan keduanya. Hanya saja, dikemudiannya, seringkali—atau ada yang menyatakan—bahwa ruhani itu kurang terpentingkan, karena itu termasuk dunia yang ada di dalam. Namun kalau diperhatikan pada rangkaian filsafat, pastilah terdapat banyak aliran filsafat yang membahas tentang ruh. Yang kemudian, terpecahkan pada ilmu psikologi, yakni ilmu tentang kejiwaan. Itulah efek dari pembahasaan ruh.

Dan sekarang kembali ke tema awal, yakni orang tua. Begitulah yang diharapkan orang tua, Taufik, yakni berdaya diri untuk anaknya sejahtera. Sejahtera secara materi dan sejahtera secara ruhani. Begitulah peran orang tua, bukankah tugasnya orang tua itu baik: maka, kau upayakanlah untuk menyenangkan orang tuamu. Upayakan jangan memberatkan orang tuamu. Syukur-syukur kau menataatinya, itulah harapannya. Kau taat kepada orang tuamu. Jika kau tidak taat, maka jangan tampilkan kemarahan kepada orang tuamu. Artinya, kau dituntut waspada tatkala berbicara kepada orang tuamu.

Jika dikenang orang-orang dulu—orang-orang dikampungmu, atau kakekmu, atau buyutmu—maka anak jarang berani berbicara kepada orang tuanya, kecuali anak disuruh berbicara kepada orang tuanya. Kalau bisa, terapkanlah. Bukankah pembicaraan itu mudah. Maka mudahkanlah.

2017

Belum ada Komentar untuk " MENYIKAPI ORANG TUA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel