Kenangan dan Fakta
Minggu, 12 November 2017
Tambah Komentar
Kau berbicara tentang kenangan, tapi hidup bukan saja tentang kenangan, Taufik: kau mungkin berbangga dengan kenanganmu—entah itu tentang amal-amalmu atau prestasimu—tapi hidup itu bukan tentang kenangan, Taufik: hidup itu pembaruan terhadap setiap hal, godaan pada tiap-tiap waktu, yang dengan mudah menyerang pemikiranmu.
Entah itu pemikiran untuk kebanggaan.
Pemikiran untuk pamer.
Pemikiran untuk menguasai.
Pemikiran untuk menindas.
Pemikiran untuk memiliki.
Pemikiran yang menyeret pengunggulan diri dengan yang lain.
Pemikiran untuk menertawakan diri.
Pemikiran untuk menertawakan kenangan.
Pada dasarnya hidup itu selalu pembaruan, Taufik, itulah yang penting kau tanam pada pemikiranmu; artinya, aku mengajakmu untuk menjalani masa-sekarang, bukan tentang deretan masa-lalu atau bahkan tentang deretan masa depan, yang jauh tidak jelas kepastian.
Kau boleh berencana, namun ketahuilah, pada akhirnya Tuhanlah yang memutuskan.
Kalimat itu agaknya sederhana, namun kalau diamati sekali lagi, itu bukanlah kalimat yang sederhana. Di sana ditawarkan tentang bagaimana manusia di dayakan untuk memasrahkan rencana kepada Tuhan. Artinya, bila terjadi sesuatu yang itu diluar rencana, maka manusia tidak harus mengeluh dan resah, karena setiap rencana tidak ada yang benar-benar total mampu dilaksanakan.
Pastilah setiap rencana mempunyai kekurangan. Setiap rencana mempunyai sesuatu yang itu tidak sempurna. Amatilah-amatilah. Begitulah kerja rencana manusia. Dan untukmu, kau harus menjalani kehidupan yang realistis dan menerima kenyataan sebagaimana harus kau jalani pada kenyataannya. Dengan ini, maka saya meneguhkanmu untuk berpikir yang idealis, berpikir yang individualis—sekali pun kalau dipikirkan ulang, tentu sejak dini kau berpikir idealis, yakni berdaya diri menjalani hidup sesuai idemu. Dan kau berpikir individualis, tentu saja sejak dini, sejak kau dikenai mampu berpikir, pada dasarnya adalah pemikiran individualis; artinya, kau berpikir yang itu kaulah yang berpikir; dan orang-orang yang menawarkan pemikiran, merekalah menawarkan pemikiran, toh pada akhirnya kau juga yang membuat keputusan—
Sekarang: selamatkanlah faktamu, itulah rencanamu. Jangan muluk-muluk. Pokoknya, selamatkan faktamu. Itu dulu.
Apakah kau benar-benar mengamati perkataan itu, lebih-lebih pada kata ini: jangan muluk-muluk, pokoknya, selamatkanlah faktamu?
Fakta, sebagaimana kau alami dan jalani, tidak hanya berdiri sendiri, melainkan disana ditawarkan tentang proses kenangan dan ikatan tentang kemanusiaan; yang mempunyai aturan dan sturktur, yang mempunyai hokum tertulis dan tidak tertulis. Itulah fakta. Jangan muluk-muluk artinya, jangan melampaui kefaktaanmu, sekali pun itu tentang ‘akhirat’. Karena aku tahu, kau seakan tertakutkan atas nama ‘akhirat’, dan ketakutanmu itu menjadikanmu laksana tidak mementingkan ‘dunia’. Jangan seperti itu, jalanilah dunia seperti apa adanya dengan mengikuti ketentuan yang tidak ‘melanggar’ akhirat, begitu saja. Jangan diberat-beratkan sesuatu atas nama akhirat. Kenanglah, jika kau benar-benar takut dengan akhirat, tentunya, kau tidak akan melanggar sesuatu yang berkaitan dengan akhirat; namun faktanya, aku juga melihat kau masih menjalankan sesuatu yang itu menggiring untuk memasuki akhirat. Kataku, mengapa kau melakukan itu? Katanya kau takut dengan akhirat.
Artinya, saya hanya meneguhkan, bahwa kau itu tidak sepenuhnya takut dengan akhirat. Sehingga tidak menempel pada bekas-bekas amalmu untuk total hendak memasuki akhirat.
Dengan begitu, maka sekarang, jalanilah kehidupanmu biasa-biasa saja. Kalau kau takut sama akhirat, maka kau harus rajin untuk mendapatkan syarat ke akhirat. Karena kau sekarnag di dunia, maka jangan abaikan tentang keberadaanmu di dunia. Sekali pun dunia adalah alat, tetap saja, alat itu penting di asah, Taufik.
Jika sekarang, kau mengabaikan dunia, berarti kau mengabaikan alat untuk sampai ke akhirat. Atau jangan-jangan kau menjadikan akhirat itu kenangan belaka pada hidupmu. Maka penting juga kau tanamkan bahwa akhirat itu faktamu, yakni arah tujuanmu; sehingga, kau secara otomatis mempunyai rencana yang itu mengarahkanmu pada tujuan utamamu, yakni akhirat.
Wal-hasil, pemikiranmu akan digiring untuk menuju ke sana.
Pemikiranmu akan berdaya baik, untuk sampai ke sana.
Jika akhirat kau tempatkan menjadi target masa depan, tentu itu juga kurang pas, karena itu masa depan, artinya sesuatu yang belum jelas. Maka penempatan akhirat menjadi fakta, yakni sekarang.
Apakah bisa dimengerti apa yang aku sampaikan? Mungkin kau kepayahan menangkap benar maksudku, namun begitulah obat yang bisa aku berikan. Setidaknya aku mengabarkan; yang tujuan utama:
Jalani kehidupan yang sekarang ini (fakta) yang terjadi dan berorientasi tentang kabaikan. Begitu.
2017
Belum ada Komentar untuk " Kenangan dan Fakta "
Posting Komentar