Tafsir Sabda Zarathustra: Dialog Antara Aku dengan Si Aku Yang Lain


Sebelumnya, prolog pertama, ‘Keadaan Diri dan Kebutuhan Untuk Ada’: Nietzsche, membuka dengan dialog dirinya di gunung, dan memutuskan untuk turun gurun; dan inilah kelanjutannya.



2.



Zarathustra menuruni gunung sendirian dan tidak seorang pun bertemu dengannya.. Ketika dia memasuki hutan, tiba-tiba tampaklah seorang tua berdiri di depannya, yang telah meninggalkan tempat sucinya untuk mencari akar-akaran. 



Dan berkatalah orang tua itu kepada Zarathustra: "Bukan orang asing bagiku pengembara ini: bertahun-tahun silam kau pernalh lewat di sini. Zarathustra, namamu. Tapi, kini kau telah banyak berubah.



Dulu kau membawa abumu sendiri ke atas gunung: akankah sekarang kaubawa apimu ke dalam lembah-lembah? Tidakkah kau takut akan nasib dari apa yang terbakar?

Ya, aku mengenali Zarathustra. Murni matanya dan tidak ada rasa muak berkeriapan di mulutnya. Tidakkah dia berjalan seperti seorang penari?



Telah berubah Zarathustra; kau telah menjadi seorang anak; kau telah menjadi seorang yang telah terbangunkan: dan apa yang akan kau lakukan di tanah orang-orang tidur ini?

Bagaikan di dalam laut kau tinggal sendiri, dan laut telah membawamu ke permukaan. Sekarang kau akan pergi ke daratan? Akankah kau seret tubuhmu sendiri?”



Zarathustra menjawab: “Aku mencintai umat manusia.”



Orang suci itu berkata, “Dan kau kira mengapakah aku pergi ke hutan dan padang gurun? Tidakkah karena aku terlalu mencintai manusia?

Sekarang aku mencintai Tuhan: manusia, tidak, aku tidak mencintai manusia. Manusia terlalu tak sempurna bagiku. Cinta kepada manusia akan mencelakakan aku.”



Zarathustra menjawab: “Apa kataku tadi tentang cinta! Aku membawa hadiah bagi manusia.”



“Jangan berikan apa pun kepada mereka,” kata sang orang suci. “Lebih baik mengambil beban dan ikut menanggulnya bersama mereka. Itu pun jika bisa menyenangkan hatimu!

Namun jika kau ingin memberikan sesuatu pada mereka, jangan berikan lebih dari sekadar sumbangan, dan biarkan mereka mengemis padamu dulu sebelum mendapatkannnya!”



“Tidak,” kata Zarathustra. “Aku tidak memberikan sumbangan. Aku tidak cukup miskin untuk itu.”



Orang suci itu tertawa dan berkata: “Maka, pastikan supaya mereka menerima harta bendamu! Mereka tidak percaya pada pertapa dan tidak percaya bahwa kita datang dengan membawa hadiah.

Suara kaki kita terdengar oleh mereka begitu jelas di jalanan. Dan pada malam hari ketika mereka sudah berada di peraduan dan mendengar ada orang di luar jauh sebelum matahari terbit, mereka bertanya-tanya: hendak kemanakah maling itu pergi?

Jangan pergi kepada manusia, tinggallah di dalam hutan! Pergilah kepada hewan! Mengapa tidak seperti aku—bagai beruang, bagai burung di antara burung?”



“Apa yang kau lakukan di dalam hutan?” tanya Zarathustra.



Jawab sang orang suci, “Aku membuat puji-pujian dan menyanyikannya; dan ketika membuat pujian ini, aku tertawa, menangis dan bergumam; dengan itu aku memuji Tuhan.

Dengan menyanyi, menangis, tertawa dan bergumam aku memuji Tuhan yang merupakan Tuhanku. Tapia pa yang kau bawa kepada kami sebagai hadiah?”



Ketika mendengar kata-kata ini, Zarathustra membungkuk kepada sang orang suci dan berkata, “Apa yang harus kuberikan padamu? Lebih baik aku bergegas pergi, jangan-jangan aku mengambil sesuatu darimu!” –dan mereka pun berpisah, orang tua itu dan Zarathustra, sambil tertawa seperti anak-anak sekolah.



Namun, ketika sudah sendiri lagi, Zarathustra berkata dalam hatinya: “Sungguhkah ini? Orang suci di tengah hutan itu belum mendengar, Tuhan telah mati.”



***



Bagian ini, adalah proses Zarathustra turun gunung, yang kemudian dia bertemu seseorang lalu mereka berdialog. Bertanya-tanya. Seringkas kata, ini adalah dialog, yang berlokasi di gunung, atau hutan; yang pasti di antara kedua itu; memang dikatakan, secara redaksi, pada hutan; yakni suatu tempat yang itu banyak pohon-pohon dan bisa jadi, tidak melulu posisi menukik; bisa jadi tempat itu adalah agak datar, bisa jadi bergelombang yang agak besar-besar. Sebagaimana saat kita berada di hutan; maksudku: apa yang kita ketahui tentang hutan? Itulah seting pembicaraan ini. apa yang kita ketahui tentang gunung? Itu juga seting pembicaraan ini. Awalnya: 

“Zarathustra menuruni gunung sendirian dan tidak seorang pun bertemu dengannya.. Ketika dia memasuki hutan, tiba-tiba tampaklah seorang tua berdiri di depannya, yang telah meninggalkan tempat sucinya untuk mencari akar-akaran.”



Zarathustra menuruni gunung sendirian (karena memang Zarathustra turun sendirian; tidak mengajak teman) dan tidak seorang pun bertemu dengannya (Bisa jadi, gunung yang sepi, gunung yang tidak ditanami; gunung yang tidak diurus. Atau gunung yang di urus tapi pas tidak dijenguk. Gunung yang ditanami, tapi tidak ada seorang pun. Atau gunung yang, berposisi menjulang lalu dibawahnya terdapat hutan, artinya gunung yang menjulang segitiga dan itu sepi dari tananam, lalu): ketika dia memasuki hutan (di sinilah hutan yang saya maksud; hutan yang lebat berserta pohon-pohon yang semberawut, pohon-pohon yang tidak ditanami, hutan liar, sehingga tatanan tanaman itu sembarang, dan orang menyatakan hutan; yang di situ banyak hewan liar, hewan tumbuh dengan bebasnya) tiba-tiba tampaklah seorang tua berdiri di depannya, yang telah meninggalkan tempat sucinya, untuk mencari akar-akar (Saya mengartikan bahwa ada seorang tua, yang itu Zarathustra mengetahui bahwa itu adalah seorang pertapa, seorang perenung, seorang seperti dirinya, yakni seorang yang menghindar dari keramaian kota, dan memilih ke gunung; sebab, bila pun itu seorang primitive, atau orang yang menetap di hutan, tentu gayanya berbeda, yakni seorang yang menghadang Zarathustra, atau seorang yang merampok atau menangkap Zarathustra;

Dan bagaimana Zarathustra mengetahui bahwa itu adalah seorang pertapa yang meninggalkan kepertapaannya?

Bagaimana Zarathustra mengetahui bahwa ‘gelegatnya’ adalah gelegat orang yang bertapa? 

Kecuali, dia adalah adalah realitas Nietzche, yang ketemuan; dan Zarathustra adalah Nietzche di sisi lain; ringkas kata, pertemuan ini adalah dialog diri yang dialihkan kepada nama yang berbeda padahal itu adalah satu kesatuan.)

Dan berkatalah orang tua itu kepada Zarathustra: "Bukan orang asing bagiku pengembara ini: bertahun-tahun silam kau pernah lewat di sini. Zarathustra, namamu. Tapi, kini kau telah banyak berubah.

Orang itu berkata, bukan orang asing bagiku pengembara ini (tidak asing bagi dirinya sendiri, karena sama-sama si pertapa, yang merengungi tentang alam manusia, tentang keberadaan dan pola-pola kemanusiaan, pola-pola zaman); bertahun-tahun silam kau pernah lewat di sini Zarathustra, namamu. Tapi, kini kau telah banyak berubah. (Zarathustra pernah melintasi di hutan itu; telah berjumpa dengan orang itu, atau setidaknya orang itu telah mengenal tentang Zarathustra. Telah mengetahui gerak-gerik atau cetusan-cetusan Zarathustra; setidaknya mengetahui. Dan kita, gerak-gerik atau pola-pola Zarathustra berubah; karena telah melakukan renungan, meditasi, mencari inspirasi, atau menenangkan diri; sehingga berefek pada sorot matanya, gayanya, dan juga sikapnya; sebab si orang tua ini, menilai Zarathustra secara eksistensi, secara penampakannya; entah itu pakaiannya, entah itu gaya dan seterusnya; sehingga ada perbedaan pada pertemuan sebelum pertemuan hari ini)



“Dulu kau membawa abumu sendiri ke atas gunung: akankah sekarang kaubawa apimu ke dalam lembah-lembah? Tidakkah kau takut akan nasib dari apa yang terbakar?

Ya, aku mengenali Zarathustra. Murni matanya dan tidak ada rasa muak berkeriapan di mulutnya. Tidakkah dia berjalan seperti seorang penari?”



Dulu kau membawa abumu sendiri ke atas gunung (yakni mematikan hasrat-kemanusiaannya sendiri dari keramaian; artinya, tatkala di bakar maka jadilah abu. Seperti orang-orang hindu-budha; karena pembicaraan ini terkait dengan gaya-gaya pencerahan Budha. Yakni, mematikan nafsu-kemanusiaan kota atau keramaian untuk ditenang, sejuk, dan sepi di atas gunung.) akankah sekarang kau bawa apimu ke dalam lembah-lembah? (orang tua itu membaca bahwa penururan ini, setelah kematian maka hidup kembali; kematian yang dimaksud adalah nafsu-kemanusiaan, dan hidup dengan nafsu-kemanusiaan yang baru; yang itu berbeda dari keadaan-diri yang sebelumnya) tidakkah kau takut akan nasib dari apa yang terbakar? (Kalimat-kalimat seperti inilah yang mendindikasikan bahwa Nietzsche adalah seorang skeptic. Yakni enggan menerima resiko; bahwa resiko itu harus ada. dan orang tua itu menilai Zarathustra sekaligus ‘ragu’ dengan dirinya sendiri. Artinya, menilai yang itu tidak selaras-pasti dengan apa yang dinilai) Ya, aku mengenali Zarathustra. Murni matanya dan tiada ada rasa muak berkeriap di muluk. (Ini keadaan kosong, laksana cermin yang aneh; sehingga membawakan kebahagiaan den kegembiraan sehingga di katakan:) tidakkah dia berjalan seperti seorang penari? (Sebuah perempuan yang disertakan adalah penari; yakni, manusia yang biasa melaksanakan dalam keadaan yang bertopeng dan seringnya menyampaikan sesuatu secara senang, riang, gembira, tapi tidak tahu apa yang ada di dalamnya; secara penampakan, seorang penari, laksana dipaksa atau memaksakan diri untuk riang, gembira, dan bahagia)



Telah berubah Zarathustra; kau telah menjadi seorang anak; kau telah menjadi seorang yang telah terbangunkan: dan apa yang akan kau lakukan di tanah orang-orang tidur ini?

Bagaikan di dalam laut kau tinggal sendiri, dan laut telah membawamu ke permukaan. Sekarang kau akan pergi ke daratan? Akankah kau seret tubuhmu sendiri?”

Zarathustra menjawab: “Aku mencintai umat manusia.”



Telah berubah Zarathustra; (Zarathustra telah berubah dari sebelum memulai untuk mendaki, sampai sekarang, turun dan sampai di hutan) kau telah menjadi seorang anak (menjadi anak; anak itu julukan status manusia yang masih anak-anak, yang kerjaannya adalah main-main, bersenda-gurau, berantem, serius, tidak serius, menjalani realitas yang itu sarat dengan nilai-nilai realitas. beban adalah beban sementara. Permaianan adalah focus utama; yang kemenangan hari ini adalah entah esok hari. Berantemnya hari ini adalah entah besok hari.) kau telah menjadi seorang yang telah terbangunkan (bangun dari bahwa ‘kenyataan’ harus disikapi laksana anak-anak, laksana rasa-rasa yang menyinggahi anak-anak) dan apa yang akan kau lakukan di tanah orang-orang tidur ini? (mengapa engkau melakukan perjalanan ini, sementara mereka itu tidur? Mengapa engkau tidak menetap di sini, menikmati kedirianmu, menikmatiapa-apa yang dapat engkau nikmati. Menikmati kebebasanmu. Mengapa engkau harus turun gunung? Mengapa? Toh, engkau telah mengetahui seluk beluk tentang kemanusiaan—inilah yang seringkali menjadi referensi bahwa Nietzsche adalah seorang eksistensialis. Yakni kebutuhan untuk ada.) Bagaikan di dalam laut kau tinggal sendiri, dan laut telah membawamu ke permukaan. (setelah mendapatkan ketenangan dan ketenangan itu mengapungkan engkau yang itu pada proses pencerahan, lalu engkau berada permukanaan dan gelombang diri mengajakmu) sekarang kau akan pergi ke daratan? (yakni, kemanusiaan demi kemanusiaan dengan segala soal dan pernak-pernik kehidupan) Akankah kau seret tubuhmu sendiri? (untuk sekali lagi menjumpai segala pernak-pernik tentang kehidupan) Zarathustra menjawab: “Aku mencintai umat manusia.” (katanya, kata Zarathustra: aku mencintai umat manusia. Yang kemudian, diri yang lain, atau orang tua itu berkata)



Orang suci itu berkata, “Dan kau kira mengapakah aku pergi ke hutan dan padang gurun? Tidakkah karena aku terlalu mencintai manusia?

Sekarang aku mencintai Tuhan: manusia, tidak, aku tidak mencintai manusia. Manusia terlalu tak sempurna bagiku. Cinta kepada manusia akan mencelakakan aku.”



Zarathustra menjawab: “Apa kataku tadi tentang cinta! Aku membawa hadiah bagi manusia.”









Sesungguhnya orang yang suci itu pun layak dipertanyakan tentang apa-apa yang diujarkan, “Dan kau kira mengapakah aku pergi ke hutan dan padang gurun? Tidakkah karena aku terlalu mencintai manusia?” ini adalah upaya untuk menguasai kemanusiaan, yang itu dirinya, ukuran nilai manusia adalah tentang dirinya, menurut ide yang ada di dalam dirinya, seakan-akan begitulah kemanusiaan. harusnya manusia begitu; sekali pun dia mengetahui bahwa manusia mempunyai tabiat-tabiat yang begitu; ringkas kata, orang tua itu pun, tidak menerima ‘kenyataan’ yang memang begitu kejadiannya. Hingga akhirnya, orang tua itu mengungsi, menepi, di hutan, memilih damai atas kemanusiaan; seakan-akan dirinyalah yang bertanggung jawab penuh terhadap apa-apa yang terjadi pada manusia. Sehingganya, orang itu mengakui salah, karena telalu besar menaruh harap kepada manusia; jadilah dia berkata: “Sekarang aku mencintai Tuhan: manusia, tidak, aku tidak mencintai manusia. Manusia terlalu tak sempurna bagiku. Cinta kepada manusia akan mencelakakan aku.” Jadi, orang tua itu sendiri yang memberhalakan atau menuhankan manusia, sehingga layak sungguh untuk dicintai, namun ternyata, salah bila terlalu mengungguli tentang manusia itu. “Cinta kepada manusia akan mencelakakan aku.” Maksudnya, melukai tentang dirinya, tentang perasaannya; itulah mengapa Nietzsche tidak menikah, dan dengan itu juga, dia sering dianggap orang yang ragu terhadap hidup, skeptic, karena alasannya; tatkala mencintai, maka akan dibebani pada sesuatu yang dicintai, bahkan menjadi budak terhadap apa yang dicintai, dan Nietzsche enggan merasakan itu; enggan merasakan menjadi manusia yang seutuhnya, yakni bersama kendala dan perasaan yang menyelimuti manusia. Hingga kemudian: “Zarathustra menjawab: “Apa kataku tadi tentang cinta! Aku membawa hadiah bagi manusia.” Yang dikatan: “Aku mencintai umat manusia.” Maksudnya, dengan cintaku itu, aku membawa hadiah bagi manusia. Itulah bukti kecintaanku kepada umat manusia. Hadiahnya adalah proses pencerahannya; yang kelak akan mengeluarkan kata-kata layak diikuti—itulah harapannya. Laksana budhisme; itulah yang hendak dianjurkan. Itulah yang sebenarnya hendak dimaunya.

Belum ada Komentar untuk " Tafsir Sabda Zarathustra: Dialog Antara Aku dengan Si Aku Yang Lain"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel