ONTOLOGY
Selasa, 28 November 2017
Tambah Komentar
Sesuatu yang ada: mengapa itu menjadi ada? Mengapa harus ada? Apa sesungguhnya ada itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu, seringkali bersliweran di dalam pikiran manusia, yang itu biasa terjadi, ketika si manusia mulai tidak menyadari tentang kemanusiaannya; manusia mulai ditekan dengan perasaan-perasaan yang tidak-diharapkan dari fakta yang terjadi, dengan rangkaian pertanyaan:
Bagaimana ini bisa terjadi? (Bahasa lain yang ingin diungkapkan:) bagaimana keberadaan ini mampu terjadi? maka orang tersebut akan mencari asal-usul, mencari kronology (ilmu tentang rangkaian peristiwa) secara mendetail, mulai dari terjadinya perkenalan, sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Biasanya pembicaraan ini, bakal berlangung di saat manusia mulai tidak-menerima dari kenyataannya.
Manusia mulai protes terhadap ‘apa yang terjadi’ dan berkehendak ingin menjadikan ‘sesuatu yang terjadi tidaklah harus terjadi.’ ini dia, manusia berusaha protes terhadap apa yang terjadi dan berharap bahwa itu jangan harus terjadi.
Hasilnya: pembicaraan tentang ontology, itu berkaitan erat dengan proses kejadian. Kejadian yang terjadi. Apakah bisa dimengerti?
Begini: jika orang telah menjalani rutinitas dari kehidupan yang terjadi. menjalani tanpa protes. Menjalani dengan langsung menerima. Dengan segala apa-pun resikonya. Maka ia berkemungkinan tidak akan bertanya tentang kejadian-kejadian yang terus dijalani. Maksudnya begini: kehidupan di alaminya biasa. Serba biasa.
Pagi kerja, pulang kerja, bertemu isterinya, berkumpul dengan anak-anaknya. Lalu esok bekerja. Jika terjadi masalah pada anaknya, maka itu menjadi biasa. Wajar. Begitulah kehidupan. Intinya, ini berkaitan erat soal kemenerimaan fakta yang terjadi.
Mengapa saya katakan kemenerimaan fakta yang terjadi: sebab hidup kita, telah berada di tahun millennium, di abad 21. Abad yang bukan lagi sebentar. Abad yang bukan waktu pendek tentang kehidupan. Artinya, sebelum kita, telah banyak orang-orang yang menjalani kehidupan. Menjalani proses yang disebut dengan hidup. Dan itu ada.
Sekarang pun, kita telah ada. begitu kan? Pertanyaannya: Mengapa keberadaan ini ‘seakan’ penting untuk dipelajari?
Sebab tidak semua orang benar-benar menerima terhadap apa yang terjadi. tidak setiap orang benar-benar pasrah dengan apa yang terjadi. dalam hal ini, menerima bukan berarti sekedar menerima, namun ada proses yang disebut menerima. Kemudian, pasrah bukan berarti kita menggeletakkan diri dan sekedar berpasrah, tanpa melakukan apa-apa. Padahal, manusia dikenai alat yakni berpikir.
Berpikir ini, mampu terjadi karena bekas-bekas sejarah yang pernah dilewati. Yakni, suguhan pengetahuan dari orang-orang sebelumnya. Seperti contoh: bayi atau anak-anak. Anak-anak itu dibekali pengetahuan awalnya menurut lingkungannya. Ditambahkan pengetahuan menurut lingkungannya: yang mana alat untuk menyampaikan berpikir ialah gerak dan bahasa. Bukankah begitu? ketika kita menyampaikan sesuatu yang dipikirkan melalui gerak dan bahasa, gerak dan kata.
Oke, mari kita urai ulang tentang pelajaran ini, dengan metode dialog:
“Mengapa keberadaan ini harus ada?”
Jawab, “Karena kita telah ada, maka tentu harus diterima.”
“Tapi mengapa harus ada?”
Jawabnya, “Mengapa keberadaan harus dipertanya?”
“karena dengan keberadaan ini, manusia itu seakan berkehendak ingin menguasai, ingin memerintah, ingin merajai, ingin menindas, ingin mencelakai, ingin-ingin yang lain.”
Jawabnya, “Bukankah pada sejarahnya, manusia memang selalu seperti itu? namun dari hal itu, ada juga kok yang menentang perihal tersebut. tidak semua, menuruti kehendaknya itu.”
“Jadi mengapa keberadaan itu penting?”
Jawab, “Pertanyaanmu mulai kabur. Mulai tidak jelas. Karena memang berada itu telah ada. dan status kita yang dikenai pertanyaan itu; jawabannya, harus menerima tentang keberadaan ini.”
“Sekali pun kita berada pada kondisi yang itu dikuasai, yang diperintah, yang ditindas, yang dicelakai, dan lain-lain.”
Jawab, “kalau mau protes terhadap ‘keberadaan’ maka harus masuk di antara itu, tentang kuasa, tentang perintah, tentang tindasan itu, tentang sesuatu yang mencelakai. Protes dalam arti, perlawanan; dalam arti tidak menerima terhadap apa yang terjadi.”
“Jadi, apa yang didapatkan dari pelajaran ini?”
Jawabku, “Sebenarnya ini tentang dirimu yang berusaha untuk ‘memahami’ apa yang aku sampaikan. (ini dinamakan seni memahami: proses pemahaman) Lalu dirimu itu bertanya: apa yang kamu dapatkan? Dan jawaban begini: kenalilah, pelajaran kita ini tentang filsafat, yakni ilmu tentang kebenaran, tentang kebijaksaan, yang itu melampaui batas-batas dari apa-apa yang telah ditentukan. Bisa dimengerti dulu? Oke, lanjut: selanjutnya, dalam filsafat itu, ada bagiannya yang lain, yakni pembicaraan tentang ‘keberadaan’. Tentang sesuatu yang ada. itulah yang dibicarakan kita. Apakah seperti tidak masuk akal? Benar, seperti tidak masuk di akal. Namun, dalam diri kita, seringkali kita protes terhadap ‘keadaan.’ Bukankah begitu? bersamaan dengan itu, filsafat berusaha melerai bagaimana ‘keadaan’ mampu terjadi, dengan mencari asal-usul keberadaannya. Apakah sulit dipahami? Wajar. Jika telah memahami, maka selanjutnya: pastilah akan sampai pada kajian aksiology (ilmu tentang nilai). Artinya, ilmu tentang keberadaan itu sudah lagi tidak dipertanya. Sekarang giliran aksiologynya (ilmu tentang nilai). Lanjutan pertanyaannya: apa nilai dari keberadaan kita? Apa manfaat dari keberadaan kita? Apa gunanya dari keberadaan kita?
Dan untuk semua: harus diingat ulang, bahwa kajian filsafat itu selalu berkaitan pada tiga hal: yakni, epistemology, aksiology, dan ontology. Selalu: urutannya biasa, dari onotology ke epistemology ke aksiology. Artinya begini: dari keberadaan, maka cari ilmunya ada itu bagaimana (Epistemology), selanjutnya efek dari ilmu dan ada itu apa (aksiology)? Apakah bisa dimengerti. Demikian.”
Dan saya kabarkan juga, di sini, saya belum menyertakan tokoh-tokoh filsuf, yang special mengurai tentang ontology. Dengan begitu, maka saya tidak menggunakan diksi-diksi yang mereka tawarkan. Sekali pun kadang diksi itu untuk mempermudah apa yang kita pikirkan.
Alasan saya begini: mereka itu ada, tapi jauh dari fakta kita. Sementara ilmu tentang ada itu, ilmu yang terjadi pada tiap-tiap manusia. Dan kita mampu berpikir tentang hal itu. bahasa gampangnya: kita membicarakan tentang ‘keberadaan’ ini di warung kopi, sekedar refleksi, sekedar renungan terhadap realitas yang terjadi. yakni renungan yang ditambah renungan orang lain: maka jadilah pembicaran tentang keberadaan. Selanjutnya, orang-orang yang di warung kopi itu, tetap melanjutkan pekerjaanya.
Dan di zaman sekarang ini, obrolan warung kopi itu, dipindah tempatkan ke dalam kelas-kelas. lalu seringkali, orang-orang yang berada di dalam kelas, lupa daratan. Itu sebabnya sering dikatakan: orang filsafat berpikirnya terlalu angan-angan, lupa daratan, lupa pada kenyataan. Sebab ilmu itu menjadi suatu ilmu yang tidak praktis terhadap kehidupan. Atau lebih sibuk pada teks atau analisis, sebabnya, karena ada kertekungkungan kelas. begitu ya…
2017
Belum ada Komentar untuk "ONTOLOGY"
Posting Komentar