Nasihat: Tentang Dunia
Selasa, 03 Januari 2017
Tambah Komentar
Taufik, dunia bagi kalangan muslim adalah alat untuk mencapai akhirat. Sekali pun alat, apakah alat akan didiamkan saja, tanpa diasah, tanpa dipakai? Ingatlah, kalau alat tanpa diasah, tanpa dipakai, ia akan jadi berkarat dan bahkan tidak ada harganya. Alat pun harus diasah dan dipakai, sebagaimana fungsinya alat. Artinya, tunaikanlah apa-apa yang menjadi hokum-dunia, caranya engkau bekerja.
Janganlah engkau beri kebencian kepada Negara dengan segala apa-apa yang terjadi padanya, anggap aturan Negara adalah angin lalu buatmu: pakai kalau perlu, kalau tidak jangan dilanggar.
Kenalilah, aturan Negara supaya mempermudah jalannya suatu daerah-daerah yang dikepalai Negara. Muslim sejati mempunyai Negara yang jauh lebih abadi: yakni Negeri akhirat. Itulah Negara muslim sesungguhnya. Oleh karenanya, di sini, di dunia ini, jadikanlah layaknya engkau musafir: bahkan ibumu, bapakmu, saudara-saudaramu, guru-gurumu, adalah jalan interaksi engkau ke akhirat. Tetaplah engkau layaknya musafir bagi mereka.
Jangan artikan terlalu galak dengan istilah musafir, seakan-akan engkau benar-benar layaknya musafir yang bercongkol pada akalmu: musafir adalah hatimu. Hatimu diserahkan kepada-Nya, yang mengusai semesta dan mengatur segala-Nya. Oleh karenanya, teruslah engkau jalankan keislamanmu, keislaman yang engkau ketahui.
Tutup saja lidahmu. Biarkan tubuhmu yang berbicara.
Tutup saja bibirmu. Biarkan tubuhmu yang berkata.
Engkau tahu, statusmu bukankanlah status yang dengan atas-nama agama. Statusmu bukan itu: jangan beratkan statusmu layaknya ‘Kiai’, jangan. Jangan beratkan statusmu layaknya ‘Dai’, jangan. Kenalilah, biarlah mereka yang menyandang gelar-gelar itu menjaganya. Biarlah mereka yang berbincang-bincang tentang agama.
Statusmu adalah pelajar. Itulah statusmu.
Kenanglah, status mereka diberikan karena mereka telah diumumkan menjadi seperti itu, ada tugas-tugas yang dijalankan dan mereka mendapatkan upah dari sisi keduniaan.
upah itulah yang semakin mengokohkan mereka ‘Kiai’. Tentu mereka mempunyai ilmu tentang kekiaian.
upah itulah yang semakin mengokohkan mereka ‘Dai. Tentu mereka mempunyai ilmu tentang keilslaman.
Mereka berbicara, mendapatkan upah. Mereka berkata, mendapatkan upah. Dan tugasmu adalah menjalankan keislamanmu, islam yang engkau tahu, itulah tugasmu.
Jangan buka keras-keras lidahmu tentang agama.
Jangan buka kencang-kencang bibirmu tentang nasihat.
Biarkan tukang-tukangnya yang berbicara. Biarkan tukang-tukangnya yang menasihati. Tugasmu adalah pelajar. Belajarlah:
Belajarlah menyikapi dunia dengan biasa. Jangan resahkan tentang rasa-rasa yang menyinggah pada dirimu: itu adalah manusiawi. Memang begitulah watak dari manusia pada umumnya.
Janganlah engkau keluh-keluhkan lebih tentang duniamu, kalau bisa.
Janganlah engkau keluh-keluhkan lebih tentang hatimu, kalau bisa.
Simaklah, apa yang engkau keluhkan terhadap duniamu? Katakan padaku, biar kujawab seluruh pertanyaanmu:
Kau mengeluh karena kau melihat manusia-muslim tidak menjalankan kemuslimannya secara sungguh?
Jawabku, bagaimana dengan dirimu? Bukankah kau juga bagian dari manusia-muslim?
Katamu, aku melihat manusia sibuk dengan urusan dunianya? Mereka lalai terhadap agamanya?
Jawabku, bagaimana dengan dirimu? Bukankah kau juga sibuk dengan perkara dunia, dan lalai dengan esensi agama?
Kenalilah, yang kau keluhkan adalah tentang perkara dunia, kau melihat dari sisi tentang bagian-bagian dalam hal negative. Sekarang, lihatlah hal-hal yang positif: kencangkan pemikiranmu tentang hal itu.
Kataku, banyak orang yang menjalankan kemuslimannya secara sungguh!
Banyak orang sibuk dengan urusan agamanya, mereka lalaikan dunianya.
Apakah engkau telah menemukan orang-orang seperti itu? Tidakkah itu masuk dalam kamus pemikiranmu? Sekarang:
Berapa banyak orang yang menjalankan kemuslimannya secara sungguh? Katakan padaku, Taufik!
Berapa banyak orang yang sibuk urusan agamanya, mereka melalaikan dunianya.
Saranku: aku tidak menganjurkanmu melalaikan dunia, tidak. Aku menganjurkanmu menikmati dunia, nikmatilah. Syukurilah. Namun, senantiasalah ingat, bahwa dunia adalah untuk akhirat.
Janganlah engkau beri kebencian kepada Negara dengan segala apa-apa yang terjadi padanya, anggap aturan Negara adalah angin lalu buatmu: pakai kalau perlu, kalau tidak jangan dilanggar.
Kenalilah, aturan Negara supaya mempermudah jalannya suatu daerah-daerah yang dikepalai Negara. Muslim sejati mempunyai Negara yang jauh lebih abadi: yakni Negeri akhirat. Itulah Negara muslim sesungguhnya. Oleh karenanya, di sini, di dunia ini, jadikanlah layaknya engkau musafir: bahkan ibumu, bapakmu, saudara-saudaramu, guru-gurumu, adalah jalan interaksi engkau ke akhirat. Tetaplah engkau layaknya musafir bagi mereka.
Jangan artikan terlalu galak dengan istilah musafir, seakan-akan engkau benar-benar layaknya musafir yang bercongkol pada akalmu: musafir adalah hatimu. Hatimu diserahkan kepada-Nya, yang mengusai semesta dan mengatur segala-Nya. Oleh karenanya, teruslah engkau jalankan keislamanmu, keislaman yang engkau ketahui.
Tutup saja lidahmu. Biarkan tubuhmu yang berbicara.
Tutup saja bibirmu. Biarkan tubuhmu yang berkata.
Engkau tahu, statusmu bukankanlah status yang dengan atas-nama agama. Statusmu bukan itu: jangan beratkan statusmu layaknya ‘Kiai’, jangan. Jangan beratkan statusmu layaknya ‘Dai’, jangan. Kenalilah, biarlah mereka yang menyandang gelar-gelar itu menjaganya. Biarlah mereka yang berbincang-bincang tentang agama.
Statusmu adalah pelajar. Itulah statusmu.
Kenanglah, status mereka diberikan karena mereka telah diumumkan menjadi seperti itu, ada tugas-tugas yang dijalankan dan mereka mendapatkan upah dari sisi keduniaan.
upah itulah yang semakin mengokohkan mereka ‘Kiai’. Tentu mereka mempunyai ilmu tentang kekiaian.
upah itulah yang semakin mengokohkan mereka ‘Dai. Tentu mereka mempunyai ilmu tentang keilslaman.
Mereka berbicara, mendapatkan upah. Mereka berkata, mendapatkan upah. Dan tugasmu adalah menjalankan keislamanmu, islam yang engkau tahu, itulah tugasmu.
Jangan buka keras-keras lidahmu tentang agama.
Jangan buka kencang-kencang bibirmu tentang nasihat.
Biarkan tukang-tukangnya yang berbicara. Biarkan tukang-tukangnya yang menasihati. Tugasmu adalah pelajar. Belajarlah:
Belajarlah menyikapi dunia dengan biasa. Jangan resahkan tentang rasa-rasa yang menyinggah pada dirimu: itu adalah manusiawi. Memang begitulah watak dari manusia pada umumnya.
Janganlah engkau keluh-keluhkan lebih tentang duniamu, kalau bisa.
Janganlah engkau keluh-keluhkan lebih tentang hatimu, kalau bisa.
Simaklah, apa yang engkau keluhkan terhadap duniamu? Katakan padaku, biar kujawab seluruh pertanyaanmu:
Kau mengeluh karena kau melihat manusia-muslim tidak menjalankan kemuslimannya secara sungguh?
Jawabku, bagaimana dengan dirimu? Bukankah kau juga bagian dari manusia-muslim?
Katamu, aku melihat manusia sibuk dengan urusan dunianya? Mereka lalai terhadap agamanya?
Jawabku, bagaimana dengan dirimu? Bukankah kau juga sibuk dengan perkara dunia, dan lalai dengan esensi agama?
Kenalilah, yang kau keluhkan adalah tentang perkara dunia, kau melihat dari sisi tentang bagian-bagian dalam hal negative. Sekarang, lihatlah hal-hal yang positif: kencangkan pemikiranmu tentang hal itu.
Kataku, banyak orang yang menjalankan kemuslimannya secara sungguh!
Banyak orang sibuk dengan urusan agamanya, mereka lalaikan dunianya.
Apakah engkau telah menemukan orang-orang seperti itu? Tidakkah itu masuk dalam kamus pemikiranmu? Sekarang:
Berapa banyak orang yang menjalankan kemuslimannya secara sungguh? Katakan padaku, Taufik!
Berapa banyak orang yang sibuk urusan agamanya, mereka melalaikan dunianya.
Saranku: aku tidak menganjurkanmu melalaikan dunia, tidak. Aku menganjurkanmu menikmati dunia, nikmatilah. Syukurilah. Namun, senantiasalah ingat, bahwa dunia adalah untuk akhirat.
Belum ada Komentar untuk "Nasihat: Tentang Dunia "
Posting Komentar